1PA18.Raffi Maulana.T1 Revisi Resume
MATA KULIAH PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
(PP-000207)
Disusun Oleh :
Nama : RAFFI MAULANA
NPM : 11522161
Link :
Kelas : 1PA18
Dhttps://raffimaulana27.blogspot.com/2022/11/1pa18raffi-maulanat1-revisi-resume.htmlosen : KURNIAWAN B.PRIANTO, S.KOM.SH.MM
Universitas
Gunadarma
‘Fakultas
Psikologi’
2022
Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Dalam
Mengembangkan Kemampuan Utuh Sarjana Atau Profesional
BAB I
PENDAHULUAN
i.
Latar Belakang
Pendidikan
kewarganegaraan adalah salah satu mata kuliah yang masuk dalam mata kuliah
dasar umum (MKDU) tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Tujuan disampaikan mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan pada akhirnya adalah menumbuhkan sikap mental peserta didik
yang cerdas dan tanggung jawab. Disertai perilaku beriman dan bertakwa, berbudi
pekerti luhur, disiplin dalam bermasyarakat, rasional, dinamis, sadar
akan hak-kewajiban warga negara, profesional, dan aktif memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.
ii.
Tujuan
Bertujuan menelusuri konsep dan urgensi pendidikan
kewarganegaraan dalam pencerdasan kehidupan bangsa, alasan mengapa diperlukan
pendidikan kewarganegaraan dan menggali sumber historis, sosiologis, dan
politis tentang pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Dan juga membangun
argumen tentang dinamika dan tantangan pendidikan kewarganegaraan. Serta
mendeskripsikan esensi dan urgensi pendidikan kewarganegaraan untuk masa depan.
Lalu merangkung tentang hakikat dan pentingnya pendidikan kewarganegaraan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Telah
diatur dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan ketetapan tersebut, pendidikan program
sarjana diharapkan menjadi tenaga ahli profesional yang sanggup menciptakan
lapangan pekerjaan.
Berdasarkan
Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang
dimaksud sebagai warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang - undangan. Pendidikan Kewarganegaraan adalah
program pendidikan yang berakar pada demokrasi, memberikan dampak positif pada
pendidikan di sekolah, masyarakat, dan orang tua. Serta diharapkan mahasiswa
menjadi manusia yang lebih unggul dan sesuai dengan nilai - nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Pendidikan Kewarganegaraan ditetapkan menjadi mata kuliah wajib sebagai
pembina jiwa nasionalis dan cinta tanah air.
Sekilas
menatap ke belakang, Pendidikan Kewarganegaraan telah digagas jauh sebelum
negara Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka. Dengan
lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang kemudian disepakati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan pada saat itulah diperingati sebagai awal
tumbuhnya jiwa nasionalisme.
Secara
sosiologis, Pendidikan Kewarganegaraan dilaksanakan oleh para pemimpin di
masyarakat yang mendorong semangat untuk cinta tanah air dan bangsa Indonesia.
Serta secara politis, Pendidikan Kewarganegaraan mulai diperkenalkan pada
kurikulum pendidikan tahun 1957. Dengan kandungan mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan membahas bagaimana cara memperoleh dan hilangnya
kewarganegaraan. Sementara dalam Civics yang mulai diterapkan dalam pendidikan
pada tahun 1961 lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional,
Undang - Undang Dasar, pidato - pidato politik kenegaraan yang khususnya
ditujukan untuk “ nation and character building ” bangsa Indonesia.
Pada
awal masa pemerintahan Orde Baru, dalam kurikulum baru tercantum mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan materi atau metode yang
menghilangkan sifat indoktrinatif dan diubah dengan materi dan metode
pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaran adalah suatu program pendidikan yang berusaha
menggabungkan unsur - unsur substatif yang meliputi demokrasi, hak - hak asasi
manusia, dan masyarakat madani melalui model pembelajaran yang demokratis,
interaktif, dan humanis dalam lingkungan yang demoktaris, untuk mencapai suatu
standar kompetensi yang telah ditentukan.
Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan agar mahasiswa memiliki wawasan kesadaran dalam bela
negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku untuk cinta
terhadap tanah air Indonesia, memiliki wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa
dan bernegara sehingga terbentuk daya tangkal sebagai ketahanan nasional, dan
memiliki pola sikap dan pola pikir yang komprehensif, integral pada aspek
kehidupan nasional. Dengan demikian maka lulusan program sarjana diharapkan
mampu menjadi intelektual atau ilmuwan yang terpelajar, berbudaya, mampu
memasuki dan menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi
individu yang profesional.
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan
dalam pencerdasan kehidupan bangsa.
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan jajang pendidikan
akademik bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Lulusan program
sarjana ini diharapkan dapat menjadi intelektual atau ilmuwan yang berbudaya,
dapat menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi
profesional.
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dapat menjadi penghasilan, keahlian, kemahiran, kecakapan,
mempunyai norma dan memperoleh pendidikan profesi. Perlu diketahui apapun
kedudukannya, sarjana atau profesional, bila memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundangan, maka orang tersebut berstatus warga negara.
Apakah
warga negara dan siapakah warga negara Indonesia (WNI) itu?
Konsep
warga negara (citizen; citoyen) dalam arti negara modern atau negara kebangsaan
(nation-state) dikenal sejak adanya perjanjian Westphalia 1648 di Eropa sebagai
kesepakatan mengakhiri perang selama 30 tahun di Eropa. Berbicara warga negara
biasanya terkait dengan masalah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara seperti
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan, Kepresidenan dan sebagainya. Dalam
pengertian negara modern, istilah “warga negara” dapat berarti warga, anggota
(member) dari sebuah negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok
manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu yang memiliki hak dan
kewajiban.
Di Indonesia, istilah “warga negara”
adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda, staatsburger. Selain istilah
staatsburger dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah onderdaan. Menurut
Soetoprawiro (1996), istilah onderdaan tidak sama dengan warga negara melainkan
bersifat semi warga negara atau kawula negara. Munculnya istiah tersebut karena
Indonesia memiliki budaya kerajaan yang bersifat feodal sehingga dikenal
istilah kawula negara sebagai terjemahan dari onderdaan.
Setelah Indonesia memasuki era
kemerdekaan dan era modern, istilah kawula negara telah mengalami pergeseran.
Istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Istilah “warga negara” dalam
kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah “civic”, “citizen”, atau “civicus”.
Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian belakang kata civic mejadi “civics”
berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.
Konsep warga negara Indonesia adalah
warga negara dalam arti modern, bukan warga negara seperti pada zaman Yunani
Kuno yang hanya meliputi angkatan perang, artis, dan ilmuwan/filsuf. Siapa saja
WNI? Menurut undang-undang yang berlaku saat ini, warga negara adalah warga
suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mereka
dapat meliputi TNI, Polri, petani, pedagang, dan profesi serta kelompok
masyarakat lainnya yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang.
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud warga negara adalah warga
suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ada dua
hal yang perlu diklarifikasi lebih dahulu tentang istilah PKn. Mari kita
perhatikan definisi pendidikan berikut ini.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU
No. 20 Tahun 2003 Pasal 1). Telusuri lagi istilah pendidikan dari berbagai
sumber. Apakah bedanya dengan pengertian di atas? Selanjutnya, lihat pula
istilah “kewarganegaraan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apa arti dari
istilah tersebut? Adakah sumber lain yang mengemukakan istilah kewarganegaraan?
Telusurilah sumber tersebut
Sampailah pada pertanyaan apakah Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) itu?
·
Secara etimologis
Untuk
mengerti konsep PKn, Anda dapat menganalisis PKn secara kata per kata. PKn
dibentuk oleh dua kata, ialah kata “pendidikan” dan kata “kewarganegaraan”.
Untuk mengerti istilah pendidikan, Anda dapat melihat Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI) atau secara lengkap lihat definisi pendidikan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1).
·
Secara Yuridis
Kewarganegaraan
adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. (Undang-Undang RI
No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2) Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air. (Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37)
·
Secara Konseptual
Istilah
kewarganegaraan tidak bisa dilepaskan dengan istilah warga negara. Selanjutnya
ia juga berkaitan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan. Dalam literatur
Inggris ketiganya dinyatakan dengan istilah citizen, citizenship dan
citizenship education.
·
Secara Teoritis
Definisi
PKn menurut M. Nu’man Somantri (2001) sebagai berikut: Pendidikan
Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik
yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh
positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu
diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan
bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas
pasal 37 ada 2 ayat, yaitu:
1) Huruf B yang
menyatakan bahwa kurikulum 8 pendidikan dasar dan menengah wajid memuat
pendidikan kewarganegaraan.
2) Huruf B menyatakan pendidikan kewarganegaraan wajib di
Pendidikan Tinggi.
Karena
dinyatakannya bahwa pendidikan kewarganegaraan ini adalah pendidikan yang
mencakup tentang Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, negara kesatuan RI dan
Bhinneka Tunggal Ika supaya dapat membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang
memiliki rasa kebangsaan dalam dirinya dan cinta terhadap tanah air.
B. Alasan Mengapa Diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan
Tujuan
pendidikan kewarganegaraan di mana pun umumnya bertujuan untuk membentuk warga
negara yang baik (good citizen). Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mewujudkan
warga negara sadar bela
negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan
kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Mahasiswa
adalah bibit unggul bangsa yang di mana pada masanya nanti bibit ini akan melahirkan
pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan moral danakademis yang akan
menunjang sosok pribadi mahasiswa. Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring
dengan waktu dan mengalami proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan
akhirnya pemutusan prinsip diri. Negara, masyarakat masa datang, diperlukan
ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu Negara.
Pendidikan
kewarganegaraan adalah sebuah sarana tepat untuk memberikan gambaran secara
langsung tentang hal-hal yang bersangkutan tentang kewarganegaraan pada
mahasiswa. Pendidikan Kewarganegaraan lah yang mengajarkan bagaimana seseorang
menjadi warga negara yang lebih bertanggung jawab. Karena kewarganegaraan itu
tidak dapat diwariskan begitu saja melainkan harus dipelajari dan di alami oleh
masing - masing orang. Apalagi negara kita sedang menuju menjadi negara yang
demokratis, maka secara tidak langsung warga negaranya harus lebih aktif dan
partisipatif. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus memepelajarinya,
agar kita bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi negara. Garda kokoh yang
akan terus dan terus melindungi Negara walaupun akan banyak aral merintang di
depan.
Kita semua
tahu bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan bagaimana warga negara itu
tidak hanya tunduk dan patuh terhadap negara, tetapi juga mengajarkan bagaimana
sesungguhnya warga negara itu harus toleran dan mandiri. Pendidikan ini membuat
setiap generasi baru memiliki ilmu pengetahuan, pengembangan keahlian, dan juga
pengembangan karakter publik. Pengembangan komunikasi dengan
lingkungan yang lebih luas juga tecakup dalam Pendidikan
Kewarganegaraan.
Meskipun
pengembangan tersebut bisa dipelajari tanpa menempuh Pendidikan Kewarganegaran,
akan lebih baik lagi jika Pendidikan ini di manfaatkan untuk pengambangan diri
seluas-luasnya.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh undang-undang RI Nomor
20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pada
pembentukan warga negara agar memiliki rasa kebangsaan dan cinta terhadap tanah
air.
C. Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia
1. Sumber Historis
Pendidikan Pancasila
Pendidikan
kewarganegaraan dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara
merdeka. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo
tahun 1908 disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah
dalam diri bangsa Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun
belum menamakan Indonesia. Lalu mulai muncul organisasi-organisasi pergerakan
kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, PSII, PKI, dan organisasi lainnya yang
tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Pada tahun 1928,
para pemuda yang berasal dari wilayah Nusantara berikrar menyatakan diri
sebagai bangsa Indonesia, bertanah air, dan berbahasa persatuan bahasa
Indonesia. Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara
terang-terangan maupun diam-diam. Secara umum, organisasi tersebut bergerak dan
bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita - citakan Indonesia merdeka
sebagai negara yang mandiri yang lepas dari penjajahan dan ketergantungan
terhadap kekuatan asing. Inilah cita - cita yang dapat dikaji dari karya para
Pendiri Negara-Bangsa (Soekarno dan Hatta).
Akhirnya
Indonesia merdeka setelah melalui perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan
raga, pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia masih harus
berjuang mempertahankan kemerdekaan karena ternyata penjajah belum mengakui
kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah
jajahannya.Oleh karena itu, periode pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1945
sampai saat ini, bangsa Indonesia telah berusaha mengisi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai cara, baik perjuangan fisik maupun
diplomatis. Jadi proses perjuangan untuk menjaga eksistensi negara-bangsa,
mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri negara-bangsa (the founding
fathers), belumlah selesai bahkan masih panjang. Oleh karena itu, diperlukan
adanya proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga negara yang dapat
memelihara semangat perjuangan kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah
air.
Dilihat dari sisi historisnya,
Pancasila tidak lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui
proses panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, dengan
melihat pengalaman-pengalaman bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan besar
dunia, dengan tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan besar bangsa
kita sendiri .
Nilai-nilai
essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan dalam kenyataannya secara objektif telah
dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan Negara.
Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah
yang cukup panjang yaitu sejak zaman kerajaan-kerajan.nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi
dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri. Sehingga asal nilainilai Pancasila tersebut tidak lain
adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa
materialis Pancasila.
Dalam era
reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat
(nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional.
Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah
bangsa.
Dengan demikian,
berdasarkan keterangan yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Pancasila memilki landasan historis yang kuat. Secara
histories, sejak zaman kerajaan unsur Pancasila sudah muncul dalam
kehidupan bangsa kita. Agar nilai-nilai Pancasila selalu melekat dalam
kehidupan bangsa Indonesia, maka . nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
Pancasila tersebut kemudian dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara.
Sebagai sebuah dasar Negara, Pancasila harus selalu dijadikan acuan dalam
bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Semua
peraturan perundang-undangan yang ada juga tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila.
2. Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila
Upaya
pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di
sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia
dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics)
Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan,
Prijono (1960), menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali
kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan pendidikan nasional. Tim
Penulis diberi tugas membuat buku pedoman mengenai kewajiban - kewajiban dan
hak hak warga negara Indonesia dan sebab-sebab sejarah serta tujuan Revolusi
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Prijono, buku Manusia dan
Masjarakat Baru Indonesia identik dengan istilah “Civics” (Inggris), atau
“Kewarganegaraan” (Indonesia).
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan
antarmanusia. Didalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola
kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat.
Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, suatu
masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu.
Melalui pendekatan sosiologis ini pula, Anda diharapkan dapat mengkaji struktur
sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah
sosial yang patut disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai
yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila. Berbeda
dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu asas kultural yang
dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan
kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil
konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia
sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara
(Kaelan, 2000: 13).
3. Sumber Politik Pendidikan Pancasila
Salah satu sumber pengayaan materi
pendidikan Pancasila adalah berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa
Indonesia. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan
jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang mana dalam berpolitik
harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai
alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis
untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah
dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna
sila-sila Pancasila.
Etika
politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara
konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif,
legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus
menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus
berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki
oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini.
Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit
politik yang menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika
politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala,
yaitu :
a. Etika
politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik
sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya,
baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa
etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam
mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila
merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik
Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika
politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik
itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun
demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau
cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara
membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi
dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua
dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila
terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih
umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.
D. Dinamika dan Tantangan Pendidikan
Kewarganegaraan
Telah
diuraikan terdahulu bahwa ketiga rezim pemerintahan memiliki perhatian yang
begitu signifikan terhadapPKn. Hal itu dapat dilihat dari berbagi kebijakan
pendidikan khususnya tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang seolah -olah amat
dipengaruhi oleh perubahan - perubahan situasi politik dan kenegaraan. Pada
masa - masa yang lalu yang jika tujuannya dicermati senantiasa menempatkan PKn
tersebut sebagai “alat politik” bukan sebagai “alat pendidikan politik” yang
didasari oleh nilai - nilai demokrasi tetapi justru untuk mengarahkan dan
mendominasi nilai - nilai yang memungkinkan sebuah rezim untuk mempertahankan
“kemapanan” yang mendukung kekuasaan yang ada.
Perubahan
- perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan dalam sistem sosial
politik, dan kenegaraan yang memang semakin menuntut pada kemantapan dalam PKn
untuk menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adanya tuntutan - tuntutan perubahan kearah kehidupan yang lebih demokratis
harus diakui sebagai hasil positif dari pendidikan PKn belakangan ini termasuk
ekses yang sekaligus merupakan tantangan bagi proses demokratisasi itu sendiri.
Tuntutan
perubahan itu selain disebabkan oleh hal - hal seperti disebutkan di atas, dan
juga karena beberapa sebab lain yang amat fundamental seperti dikemukakan oleh
Aziz Wahab (1998) dengan mengatakan bahwa : Bidang Studi PKn sesuai fungsi dan
tujuannya selama ini menjadi sarana untuk membina warganegara untuk lebih
mengetahui hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun
sejalan dengan terjadinya reformasi diperlukan kajian ulang terhadap relevansi
meteri PKn dalam kurikulum karena beberapa alasan, di antaranya:
(1) Selama Orde Baru yang lalu ada kekacauan pengertian
antara negara dan pemerintah/rezim yang berkuasa; seakan - akan keduanya
menjadi identik. Hal itu mengakibatkan penerjemahan PKnke dalam kurikulum pun
banyak diwarnai oleh perspektif dan
kepentingan pemerintah dengan mengatasnamakan perspektif dan kepentingan
negara. Hal yang sama sesungguhnya bukan hanya berlaku untuk PKntetapi juga
untuk bidang - bidang studi
lainnya seperti Sejarah, Ekonomi, dan Geografi.
(2) Karena alasan pertama di atas, topik - topik tertentu
lebih banyak diangkat (misalnya soal kepatuhan, kesetiaan pada pemerintah yang
berkuasa, keamanan nasional) yang bertujuan menguatkan kedudukan pemerintah
yang berkuasa; sedangkan topik - topik lain seperti hakasasi manusia, demokrasi
politik, demokrasi ekonomi, hak - hak
rakyat, kewajiban pemerintah kepada publik, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kurang ditampilkan secara
proporsional.
(3) PKn adalah sarana pendidikan
politik bangsa. Namun pendidikan politik yang dimaksud selama ini cenderung
“sepihak” dan “monolog”, yaitu mendukung kelanggengan kekuasaan orde yang
berkuasa. Akibatnya siswa tidak disiapkan untuk berpikir secara dewasa,
bertanggung jawab dan jujur bahkan terhadap dirinya sendiri. Produk akhirnya
adalah peserta didik yang “tanpa pilihan”, harus menerima apa adanyatanpa dapat
dan mampu mempertanyakan hal - hal di luar koridor yang telah ditentukan
sebelumnya. Dari sudut perkembangan moral, hal ini tidak menguntungkan karena
membuat siswa menjadi kerdil dalam berpikir. PKn lebih menekankan segi “to tell
students about what are desiable behaviors”dan bukan “to ask and let student to
think and to find...”.
(4) Dalam kenyataan, terjadi
berbagai kebingungan peserta didik akibat apa yang diajarkan di sekolah berbeda
kenyataannya. Akibat lanjutnya adalah secara tidak disadari kita menyiapkan
generasi yang memiliki kepribadian terpecah.
Berdasarkan alasan - alasan di atas, kaji ulang dan
peninjauan kembali terhadap materi dan metodologi PKn dalam kurikulum 1994
merupakan suatu keharusan dalam Era Reformasi sekarang ini. Kaji ulang
diarahkan terhadap hal hal berikut ini:
1. Sejauh manakah materi yang ada dalam kurikulum masih
relevan dengan semangat bangsa kita yang dengan memanfaatkan momentum reformasi
sedang memformulasikan kembali format dan implementasi nilai - nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Banyak keluhan selama ini tentang padat dan banyaknya
materi yang mesti dipelajari oleh siswa. Hal ini pun perlu dikaji ulang, materi
manakah yang dapat dikeluarkan, digabungkan, dirampingkan, dan materi mana yang
benar - benar esensial bagi anak, masyarakat, dan kehidupan bangsa.
3. Dari segi metodologi, metode yang
cenderung doktriner dan monolog selama ini, perlu ditinjau ulang dari segi
karakter belajar dan tahap - tahap perkembangan peserta didik. Sudah cukup lama
kita mengetahui bahwa PKn adalah pelajaran yang “membosankan” bahkan cenderung
“tidak disukai” siswa karena materi dan metodenya memang tidak menantang siswa
secara intelektual, di samping amat sarat dengan pesan - pesan ideologis rezim
yang berkuasa.Dalam era reformasi dan dalam kehidupan demokrasi setiap orang
sebagai warganegara memperoleh kebebasan dan diperlakukan secara adil. Untuk
itu setiap warganegara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang baik. Dalam pendewasaan dan sikap keterbukaan dan kebebasan itu
baik politik maupun ekonomi itu harus dijelaskan secara tuntas bahwa: dasar -
dasar demokrasi itu sebagaimana dikemukakan oleh Chapin dan Messick (1989:114)
diantaranya adalah seperti berikut: “Each person has one vote; Citizens have
equal protection under the law; Decuisions and laws can be reviewed and amended
by lawful process; Decisions and government acts are based on law”.
Tujuannya adalah agar setiap
warganegara menjadi cerdas, dapat berpikir kritis dan kreatif serta memiliki
sikap disiplin pribadi dan dapat berpartisipasi dalam mengatasi berbagai
persoalan baik pribadi, maupun masyarakat lingkungannya. Lahirnya warganegara
seperti itu menuntut perubahan - perubahan mendasar dalam pendidikan pada
umumnya dan pendidikan kewarganegaraan khususnya.
E.
Alasan penting pendidikan pancasila
Dalam
Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara
termasuk dalam kelompok pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa
Indonesia dan Pendidikan Olah Raga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di SMA
berintikan: (1) Pancasila dan UUD 1945; (2) Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan
selanjutnya; dan (3) Pengetahuan umum tentang PBB.
Dalam
Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata
pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan
bermakna.
Kurikulum
Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun
1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan
kajian materi secara khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang
dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang
menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral
Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan
Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk
manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP
semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4
bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas
tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982), dan mengemukakan beberapa
hal penting sebagai berikut. “Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal dengan adanya TAP MPR
No. lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan
adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Paneasila (P4), maka materi PMP didasarkan pada isi P4 tersebut. Oleh karena
itu, TAP MPR No. II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap
dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta
bernegara. Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978 dijadikanlah sumber, tempat
berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian, hakikat PMP tiada lain adalah
pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di
sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4
lewat berbagai penataran. “... dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan
P4 dan GBHN 1978, ... mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid dan guru
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) ... usaha itu yang telah menghasilkan Buku Paket PMP...."
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (l) P4 merupakan sumber dan tempat
berpijak, baik isi maupun cara evaluasi mata pelajaran PMP melalui pembakuan
kurikulum 1975; (2) melalui Buku Paket PMP untuk semua jenjang pendidikan di
sekolah maka Buku Pedoman Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan
Masyarakat Baru lndonesia (Civics) dinyatakan tidak berlaku lagi; dan (3) bahwa
P4 tidak hanya diberlakukan untuk sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat
pada umumnya melalui berbagai penataran P4.
Sesuai
dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat, kurikulum
sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama mata pelajaran
PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) yang terutama didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat 2
undangundang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan
Agama; dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan.
Menurut
saya, mata kuliah Pendidikan pancasila itu adalah sangat penting dan berguna
untuk mahasiswa/mahasiswi di Perguruan Tinggi, karena mata kuliah tersebut
tidak hanya dididapat atau dipelajari saat kita berada di bangku SD, SMP, &
SMA bahkan saat kita sudah tidak mengenyam pendidikan pun, Pendidikan Pancasila
atau Kewarganegaraan haruslah kita pelajari dan gunakan dalam kehidupan
sehari-hari, karena kita harus tahu tentang hak & kewajiban yang di dapat
sebagai warga Negara Indonesia.
Pancasila
adalah sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bagi bangsa Indonesia. Sebab itu seluruh tatanan kehidupan masyarakat
, bangsa, dan Negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan
tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perubahan dan tingkah
laku sebagai bangsa Indonesia
Hal-hal
yang harus bisa para Mahasiswa/Mahasiswi lakukan saat telah sudah mendapatkan
Mata Kuliah Pendidikan Pancasila saat di Perguruan Tinggi :
Agar mahasiswa mampu
menjadi warga negara yang memiliki pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi
dan HAM.
Agar mahasiswa mampu
berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan
dengan cara cerdas dan damai.
Agar mahasiswa memiliki
kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat
dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama, dan nilai-nilai universal.
Agar
mahasiwa mampu berpikir kritis dan objektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM,
dan demokrasi.
Agar mahasiswa mampu
memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
Agar mahasiswa mampu
meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban).
Pentingnya pendidikan Pancasila juga
dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi dorongan pokok
(leitmotive) dan bintang penunjuk jalan (leitstar) bagi calon pemegang tongkat
estafet kepemimpinan bangsa di berbagai bidang dan tingkatan. Selain itu, agar
calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa tidak mudah terpengaruh oleh
pahampaham asing yang dapat mendorong untuk tidak dijalankannya nilai-nilai
Pancasila.
Pentingnya pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi adalah untuk menjawab tantangan dunia dengan mempersiapkan
warga negara yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, penghargaan, penghayatan,
komitmen, dan pola pengamalan Pancasila. Hal tersebut ditujukan untuk
melahirkan lulusan yang menjadi kekuatan inti pembangunan dan pemegang estafet
kepemimpinan bangsa dalam setiap tingkatan lembaga-lembaga negara, badan-badan
negara, lembaga daerah, lembaga infrastruktur politik, lembaga-lembaga bisnis,
dan profesi lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
F. Konsep warga negara yang bangga dan
cinta nasionalisme serta rasa tanggung jawab pada negara dan bangsa
Bela negara adalah
sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara
tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu
negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut.
Secara fisik, hal
ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau
agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara
non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam
memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan
kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut.
Landasan konsep
bela negara adalah adanya wajib militer. Subyek dari konsep ini adalah tentara
atau perangkat pertahanan negara lainnya, baik sebagai pekerjaan yang dipilih
atau sebagai akibat dari rancangan tanpa sadar (wajib militer).
Beberapa negara
(misalnya Israel, Iran) dan Singapura memberlakukan wajib militer bagi warga
yang memenuhi syarat (kecuali dengan dispensasi untuk alasan tertentu seperti
gangguan fisik, mental atau keyakinan keagamaan). Sebuah bangsa dengan relawan
sepenuhnya militer, biasanya tidak memerlukan layanan dari wajib militer
warganya, kecuali dihadapkan dengan krisis perekrutan selama masa perang.
Di beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Spanyol dan Inggris, bela negara
dilaksanakan pelatihan militer, biasanya satu akhir pekan dalam sebulan. Mereka
dapat melakukannya sebagai individu atau sebagai anggota resimen, misalnya
Tentara Teritorial Britania Raya. Dalam beberapa kasus milisi bisa merupakan bagian
dari pasukan cadangan militer, seperti Amerika Serikat National Guard.
Di negara lain,
seperti Republik China (Taiwan), Republik Korea, dan Israel, wajib untuk
beberapa tahun setelah seseorang menyelesaikan dinas nasional.
Sebuah pasukan
cadangan militer berbeda dari pembentukan cadangan, kadang-kadang disebut
sebagai cadangan militer, yang merupakan kelompok atau unit personel militer
tidak berkomitmen untuk pertempuran oleh komandan mereka sehingga mereka
tersedia untuk menangani situasi tak terduga, memperkuat pertahanan negara.
Bela
Negara di Indonesia
Bela negara adalah
sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Peran penting Bela
Negara dapat dikuak secara lebih jernih dan mendalam melalui perspektif
pertahanan. Keutuhan wilayah Indonesia, beserta seluruh sumber daya, kedaulatan
dan kemerdekaannya, selalu terancam oleh agresi asing dari luar dan pergolakan
bersenjata dari dalam. Kalau ancaman ini menjadi nyata dan Indonesia tidak
siap, semuanya bisa kembali ke titik nol.
Antisipasi para
pendiri bangsa tercantum dalam salah satu poin tujuan nasional yaitu
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Pernyataan
tersebut menjadi dasar dari tujuan pertahanan. Ia tidak berdiri sendiri tetapi
berbagi ruang dengan tujuan keamanan atau ketertiban sipil dan berdampingan 3
(tiga) tujuan lainnya, yakni tujuan kesejahteraan (memajukan kesejahteraan
umum), tujuan keadaban (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan tujuan kedamaian
(berpartisipasi aktif dalam perdamaian dunia yang adil dan abadi).
Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan
Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.
Kesadaran bela
negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban
membela negara. Spektrum bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus,
hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai
bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.Tercakup di dalamnya
adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Unsur
Dasar Bela Negara
1. Cinta Tanah
Air;
2. Kesadaran Berbangsa & bernegara;
3. Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara;
4. Rela berkorban untuk bangsa & negara;
5. Memiliki kemampuan awal bela negara.
Adapun
contoh-Contoh Bela Negara, yaitu:
a. Melestarikan budaya;
b. Belajar dengan rajin bagi para pelajar
c. Taat akan hukum dan aturan-aturan negara;
d. Mencintai produk-produk dalam negeri.
Pemerintah
Indonesia saat ini menjalankan program pelatihan Bela Negara yang terbuka bagi
seluruh lapisan masyarakat. Pada tanggal 22 Oktober 2015, Menteri Pertahanan
(Menhan) Ryamizard Ryacudu meresmikan pembukaan program bela negara. Program
tersebut dimaksudkan untuk memperteguh keyakinan berdasarkan 5 unsur tersebut
di atas, dan program ini bukanlah sebuah bentuk wajib militer.
Pada tanggal 23
Februari 2016, Menhan Ryamizard Ryacudu kembali meresmikan peluncuran website
resmi. Portal tersebut dimaksudkan untuk menjadi sumber penyebaran informasi
kepada masyarakat tentang program Bela Negara, dan masyarakat juga bisa
memberikan saran dan masukan di portal tersebut.
Adapun
sifat-sifat bela negara, yaitu:
1. Sifat lunak
Psycological:
a. Pemahaman
ideologi negara (Pancasila dan UUD 1945)
b. Nilai-nilai luhur bangsa
c. Wawasan kebangsaan
d. Persatuan dan kesatuan bangsa
e. Kesadaran bela negara
Physical:
a. Perjuangan
mengisi kemerdekaan
b. Pengabdian sesuai profesi
c. Menjunjung tinggi nama Indonesia di dunia internasional
d. Penanganan bencana dan menghadapi ancaman non militer lainnya (ekonomi,
sosial, budaya, dsb).
2. Sifat Keras
Menghadapi ancaman
militer:
a. Komponen Utama
b. Komponen Cadangan (kombatan)
c. Komponen Pendukung (Non kombatan).
Nilai
nilai bela negara:
Cinta tanah air:
Mengenal dan
mencintai tanah air agar selalu waspada dan siap membela tanah air Indonesia
terhadap segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Indikator cinta tanah air
meliputi:
1. menjaga tanah
dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia;
2. bangga sebagai bangsa Indonesia;
3. menjaga nama baik bangsa dan negara Indonesia;
4. memberikan kontribusi dan kemajuan pada bangsa dan negara Indonesia;
5. mencintai produk dalam negeri, budaya, dan kesenian Indonesia.
Kesadaran
berbangsa dan bernegara
Sadar sebagai
warna bangsa negara Indonesia dalam bentuk tingkah laku, sikap, dan kehidupan
pribadi agar dapat bermasyarakat sesuai dengan kepribadian bangsa. Indikator
nilai kesadaran berbangsa dan bernegara meliputi:
1. memiliki
kesadaran keragaman budaya, suku, agama, bahasa dan adat istiadat;
2. melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku;
3. mengenal keragaman individu di rumah dan di lingkungannya;
4. berpikir, bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia;
5. berpartisipasi menjaga kedaulatan bangsa dan negara;
Yakin
akan Pancasila:
Pancasila sebagai
pedoman dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara guna mencapai tujuan nasional. Rasa yakin akan Pancasila
sebagai ideologi negara dicapai dengan menumbuhkan kesadaran:
1. yang didasari
pada Pancasila, pada kebenaran negara kesatuan republik Indonesia;
2. bahwa hanya dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, negara
bangsa Indonesia akan tetap jaya;
3. setiap perbedaan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat;
4. bahwa Pancasila dapat membentengi mental dan karakter bangsa dalam
menghadapi ancaman baik dari dalam maupun luar negeri.
Adapun indikator
nilai yakin pada Pancasila sebagai ideologi bangsa meliputi:
1. memahami
nilai-nilai dalamPancasila.
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari;
2. menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara Indonesia;
3. senantiasa mengembangkan nilai-nilai Pancasila;
4. setia pada Pancasila dan meyakini sebagai dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Rela
berkorban:
Rela berkorban
untuk bangsa dan negara. Bersedia mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta
benda untuk kepentingan umum sehingga pada saatnya nanti siap mengorbankan jiwa
raga bagi kepentingan bangsa dan negara. Indikator rela berkorban bagi bangsa
dan negara meliputi:
1. bersedia
mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara;
2. siap membela bangsa dan negara dari berbagai macam ancaman;
3. memiliki kepedulian terhadap keselamatan bangsa dan negara;
4. memiliki jiwa patriotisme terhadap bangsa dan negaranya;
5. mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
dan/atau golongan.
Kemampuan
awal bela negara:
Secara Psikis
(mental) memiliki sifat disiplin, ulet, menaati segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku, percaya akan kemampuan diri sendiri, tahan
uji, pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuan
nasional.
Secara Fisik
(jasmani) memiliki kondisi kesehatan dan keterampilan jasmani yang dapat
mendukung kemampuan awal bela negara yang bersifat psikis.
Adapun Indikator
nilai memiliki kemampuan awal bela negara meliputi:
1. memiliki
kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan dalam bertahan hidup atau mengatasi kesulitan;
2. senantiasa memelihara kesehatan jiwa dan raganya;
3. ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan;
4. terus membina kemampuan jasmani dan rohani; dan
5. memiliki keterampilan bela negara dalam bentuk keterampilan.
Hari
Bela Negara:
Hari Bela Negara
atau HBN adalah hari bersejarah Indonesia yang jatuh pada tanggal 19 Desember
untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia oleh Mr.
Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat pada tahun 19 Desember 1948.
Keputusan ini ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres
No.28.
Esensi Dan Urgensi
Identitas Nasional Sebagai Salah Satu Determinan Pembangunan Bangsa Dan
Karakter
A.
Konsepsi dan urgensi Identitas nasional
Apa itu identitas nasional ? Secara etimologis identitas nasioal
berasal dari dua kata “identitas” dan “nasional”. Kata identitas berasal dari
kata “identy” (inggris) yang dalam Oxford Advance Learner’s Dictionary
berarti: (1) (C,U) who or what sb/sth is;
(2) (C,U) the characteristics, feeling or beliefs that distinguish people from
others; (3) the state of feeling of being very similar to and able to understand
sb/sth. Dalam kamus maya Wikipedia dikatakan “identy is an umbrella term
used throught the social sciences
to describe a person’s conception and expression of their individuality or
group affiliations (such as national
identy and cultural identy).”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas berarti ciri-ciri atau
keadaan khusus seseorang atau jati diri.
Dengan demikian, identitas menunjuk pada ciri atau penanda yang
dimiliki oleh seseorang, pribadi dan dapat pula kelompok. Penanda yang dimiliki
oleh seseorang, pribadi dan dapa pula kelompok. Penanda pribadi misalkan
diwujudkan dalam beberapa bentuk identitas diri, misal dalam Kartu Tanda
Penduduk, ID Card, Surat Ijin Mengemudi, Kartu Pelajar, dan Kartu Mahasiswa.
Satu lagi identitas penting yang harus dimiliki oleh setiap
warga negara Indonesia saat ini adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setiap
warga negara indonesia yang telah memiliki penghasilan wajib memiliki NPWP
sebagai sarana melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. NPWP merupakan tanda
pengenal diri dan identitas wajib pajak bagi warga negara Indonesia.
Figure
1 dewasa ini NPWP termasuk indentitas diri warga negara
indonesia yang penting. Apakah anda sudah memiliki?
Sumber:https://www.talenta.co/blog/payroll/contoh-kartu-npwp-terbaru-dan-cara-cetak-baru-npwp/
Kata nasional berasal dari kata “national” (inggris) yang dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1)
connected with a particular nation; shared by a whale nation; (2) owned,
controlled or financially supported by the federal, government. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, “nasional” berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau
berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan, identitas nasional lebih dekat dengan arti jati diri yakni
ciri-ciri atau karakteristik, perasaan atau keyakinan tentang kebangsaan yang
membedakan bangsa indonesia dengan bangsa lain. Apabila bangsa Indonesia
memiliki identitas nasional maka bangsa lain akan dengan mudah mengenali dan
mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
B.
Alasan mengapa diperlukan Identitas nasional.
Identitas
Nasional, kata identitas menurut KBBI artinya jati diri, ciri khas. Nasional
adalah sekelompok orang atau organisasi besar berdasarkan kesamaan berbagai
budaya, ragam bahasa, cita-cita, sejarah, serta tujuan. Identitas nasional
adalah suatu ciri khas yang tumbuh dan berkembang yang terjadi dalam sekelompok
orang yang meliputi berbagai macam aspek kehidupan, baik dari ratusan suku atau
budaya yang disatukan menjadi satu kesatuan, seperti Indonesia. Identitas
nasional Indonesia mengacu pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Fungsi
indentitas nasional adalah untuk mempersatukan bangsa, digunakan sebagai
panduan dan pemersatu agar bisa mewujudkan cita cita dan tujuan negara
tersebut. Indonesia merupakan negara yang majemuk (negara yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa).
Identitas
naisonal merupakan hal yang dinamis dan sangat dibutuhkan dengan beberapa
alasan tertentu. Alasan terbesar yang pertama adalah keberagaman suku bangsa,
karena kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat beragam dengan
banyak suku bangsa didalamnya. Setiap suku bangsa memiliki bahasa, agama, dan
kebudayan mereka masing-masing. Tantangan zaman dan persaingan dunia
Internasional dibutuhkan identitas nasional untuk mengahadapi tantangan zaman
yang semakin dinamis dengan persaingan dunia Internasional yang semakin ketat.
Negara yang tidak kuat dengan tantangan zaman, maka negara tersebut
terombang-ambing serta kesulitan dalam menggapai suatu cita-cita bersama.
Sebagai warga negara Indonesia, kita membutuhkan suatu identitas yang jelas,
agar warga negara Indonesia menjadi bangga menjadi penduduk warga negara
Indonesia.
Identitas nasional bertujuan untuk mempertahankan kesatuan sebuah
negara, pembeda dari negara lain, landasan negara, dan alat pemersatu bangsa.
Indonesia memiliki berbagai macam suku, ras, agama dan kebudayaan.
Identitas nasional kemudian hadir untuk mempersatukan keberagaman
masyarakat tersebut. Identitas nasional juga menjadi salah satu ciri khas
sebuah negara. Dari ciri khas tersebut, Indonesia dapat mudah dikenali oleh
negara-negara lain yang ada di dunia.
Selain itu, Identitas Nasional juga menjadi landasan negara
Indonesia. Landasan negara Indonesia adalah Pancasila yang berasal dari budaya
dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Identitas nasional tercipta dari berbagai macam faktor yakni agama
yang menciptakan ideologi yang menciptakan sebuah identitas, tokoh bangsa dan
pemimpin bangsa yang berperan penting yang dianggap sebagai simbol persatuan
dan sejarah bangsa yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap masa
lalu yang telah dialaminya.
* Bentuk Identitas Nasional di Indonesia
Dalam buku Rosmawati dan Hasanal Mulkan yang berjudul Pendidikan
Kewarganegaraan (2020), menjelaskan bentuk-bentuk identitas nasional Indonesia, antara lain sebagai berikut.
1. Bahasa
nasional atau bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
2. Bendera
negara, yaitu Sang Merah Putih.
3. Lagu
Kebangsaan, yaitu Indonesia Raya.
4. Lambang
negara, yaitu Garuda Pancasila.
5. Semboyan
negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
6. Dasar
falsafah negara, yaitu Pancasila
7. Konstitusi
negara, yaitu UUD 1945.
8. Bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
9. Konsepsi
Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan
daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional
C.
Faktor Pembentuk Identitas Nasional
Terdapat dua faktor
penting dalam pembentukan identitas nasional yaitu faktor primodial dan faktor
kondisional. Faktor primodial atau faktor objektif adalah faktor bawaan yang
bersifat alamiah yang melekat pada bangsa tersebut seperti geografi, ekologi
dan demografi. Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai
wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan
komunikasi anta rwilayah dunia di Asia Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan
kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia. Sedangkan
faktor kondisional atau faktor subyektif adalah keadaan yang mempengaruhi
terbentuknya identitas nasional. Faktor subyektif meliputi faktor historis,
sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Faktor historis
ini mempengaruhi proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia, beserta identitasnya,
melalui interaksi berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Hasil dari
interaksi dari berbagai faktor tersebut.
Selain itu terdapat factor
lain yaitu faktor sakral dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk masyarakat
atau ideologi doktriner yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Agama
dan ideologi merupakan faktor sakral yang dapat membentuk bangsa negara. Faktor
sakral ikut menyumbang terbentuknya satu nasionalitas baru. Negara Indonesia
diikat oleh kesamaan ideologi Pancasila. Tokoh kepemimpinan dari para tokoh
yang disegani dan dihormati oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang
menyatukan bangsa negara. Pemimpin di beberapa negara dianggap sebagai
penyambung lidah rakyat, pemersatu rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang
bersangkutan. Contohnya Soekarno di Indonesia, Nelson Mandela di Afrika
Selatan, Mahatma Gandhi di India, dan Tito di Yugoslavia.
Prinsip kesediaan warga
bangsa bersatu dalam perbedaan (unity in deversity) juga menjadi faktor
pembentuk identitas nasional. Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah
kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan
pemerintahnya tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras,
agamanya. Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda (multiloyalities).
Warga setia pada identitas primordialnya dan warga juga memiliki kesetiaan pada
pemerintah dan negara, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang lebih besar pada
kebersamaan yang terwujud dalam bangsa negara di bawah satu pemerintah yang
sah. Mereka sepakat untuk hidup bersama di bawah satu bangsa meskipun berbeda
latar belakang. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu memiliki kesadaran akan
arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama yang tujuannya
adalah menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan (unity in
deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan (civility).
Faktor yang tak kalah
penting yaitu sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat tentang
sejarah mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi yang sama
tentang pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita karena penjajahan,
tidak hanya melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan tekad dan tujuan yang
sama antar anggota masyarakat itu.
Perkembangan ekonomi
(industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan
aneka kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan
masyarakat, semakin saling tergantung diantara jenis pekerjaan. Setiap orang
akan saling bergantung dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin kuat saling
ketergantungan anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, akan semakin
besar solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi
karena perkembangan ekonomi oleh Emile Durkheim disebut Solidaritas Organis.
Faktor ini berlaku di masyarkat industri maju seperti Amerika Utara dan Eropa
Barat.
Lembaga-lembaga
pemerintahan dan politik. Lembaga-lembaga itu seperti birokrasi, angkatan
bersenjata, pengadilan, dan partai politik. Lembaga-lembaga itu melayani dan
mempertemukan warga tanpa membeda-bedakan asal usul dan golongannya dalam
masyarakat. Kerja dan perilaku lembaga politik dapat mempersatukan orang
sebagai satu bangsa.
Faktor persamaan turunan,
bahasa, daerah, kesatuan politik, adat-istiadat dan tradisi, atau persamaan
agama. Akan tetapi teranglah bahwa tiada satupun di antara faktor – faktor ini
bersifat hakiki untuk menentukan ada - tidaknya atau untuk merumuskan bahwa
mereka harus seketurunan untuk merupakan suatu bangsa.
D.
Menggali sumber historis, sosiologis, dan politik tentang Identitas nasional
Indonesia
Identitas nasional bagi bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut dan
norma dasar yang dijadikan pedoman untuk
berperilaku. Semua identitas ini akan menjadi
ciri yang membedakan bangsa Indonesia dari
bangsa lain. Identitas nasional dapat
diidentifikasi baik dari sifat lahiriah yang
dapat dilihat maupun dari sifat batiniah yang
hanya dapat dirasakan oleh hati nurani. Bagi
bangsa Indonesia, jati diri tersebut dapat tersimpul
dalam ideologi dan konstitusi negara, ialah Pancasila
dan UUD NRI 1945.
Jati
diri bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia
tentang kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak, dan ciri masyarakat Indonesia. Ada sejumlah ciri yang menjadi corak dan watak bangsa yakni sifat religius, sikap menghormati bangsa dan manusia lain, persatuan, gotong royong dan musyawarah, serta ide tentang keadilan sosial.
Nilai-nilai dasar itu dirumuskan sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan sebagai jati diri bangsa sekaligus identitas nasional.
Bangsa Indonesia yang
memiliki identitas primer atau etnis atau suku bangsa lebih dari 700 suku
bangsa telah bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Identitas
etnis yang terwujud antara lain dalam bentuk budaya etnis yang dikembangkan
agar memberi sumbangan bagi pembentukan budaya nasional dan akhirnya menjadi
identitas nasional.
Secara
historis, khususnya pada tahap embrionik, identitas nasional Indonesia ditandai
ketika munculnya kesadaran rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sedang dijajah
oleh asing pada tahun 1908 yang dikenal dengan masa Kebangkitan Nasional
(Bangsa). Rakyat Indonesia mulai sadar akan jati diri sebagai manusia yang
tidak wajar karena dalam kondisi terjajah. Pada saat itu muncullah kesadaran
untuk bangkit membentuk sebuah bangsa. Kesadaran ini muncul karena pengaruh
dari hasil pendidikan yang diterima sebagai dampak dari politik etis (Etiche
Politiek). Dengan kata lain, unsur pendidikan sangatlah penting bagi
pembentukan kebudayaan dan kesadaran akan kebangsaan sebagai identitas nasional.
Pembentukan
identitas nasional melalui pengembangan kebudayaan Indonesia telah dilakukan
jauh sebelum kemerdekaan. Menurut Nunus Supardi (2007) kongres kebudayaan di
Indonesia pernah dilakukan sejak 1918 yang diperkirakan sebagai pengaruh dari
Kongres Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh dr. Radjiman Widyodiningrat.
Kongres ini telah memberikan semangat bagi bangsa untuk sadar dan bangkit
sebagai bangsa untuk menemukan jati diri. Kongres Kebudayaan I diselenggarakan
di Solo tanggal 5-7 Juli 1918 yang terbatas pada pengembangan budaya Jawa.
Namun dampaknya telah meluas sampai pada kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali.
Kongres bahasa Sunda diselenggarakan di Bandung tahun 1924. Kongres bahasa
Indonesia I diselenggarakan tahun 1938 di Solo. Peristiwa-peristiwa yang
terkait dengan kebudayaan dan kebahasaan melalui kongres telah memberikan
pengaruh positif terhadap pembangunan jati diri dan/atau identitas nasional.
Setelah
proklamasi kemerdekaan, Kongres Kebudayaan diadakan di Magelang pada 20-24
Agustus 1948 dan terakhir di Bukittinggi Sumatera Barat pada 20-22 Oktober
2003. Menurut Tilaar (2007) kongres kebudayaan telah mampu melahirkan
kepedulian terhadap unsur-unsur budaya lain. Secara historis, pengalaman
kongres telah banyak memberikan inspirasi yang mengkristal akan kesadaran
berbangsa yang diwujudkan dengan semakin banyak berdirinya organisasi
kemasyarakatan dan organisasi politik. Pada tahun 1920-1930-an pertumbuhan
partai politik di nusantara bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Berdirinya
sejumlah organisasi kemasyarakatan bergerak dalam berbagai bidang, seperti
bidang perdagangan, keagamaan hingga organisasi politik. Tumbuh dan berkembangnya
sejumlah organisasi kemasyarakatan mengarah pada kesadaran berbangsa. Puncaknya
para pemuda yang berasal dari organisasi kedaerahan berkumpul dalam Kongres
Pemuda ke2 di Jakarta dan mengumandangkan Sumpah Pemuda.
Pada saat itulah
dinyatakan identitas nasional yang lebih tegas bahwa “Bangsa Indonesia mengaku
bertanah air yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Identitas
nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional.
Setiap kelompok bangsa di dalam negara umumnya menginginkan identitasnya
dijadikan atau diangkat sebagai identitas nasional yang mungkin saja belum
tentu diterima oleh kelompok bangsa yang lain. Inilah yang menyebabkan sebuah
negara bangsa yang baru merdeka mengalami pertikaian internal yang
berlarut-larut untuk saling mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi
identitas nasional.
Contoh; kasus
negara Srilanka yang diliputi pertikaian terus menerus antara bangsa Sinhala
dan Tamil sejak negara itu merdeka. Setelah bangsa Indonesia lahir dan
menyelenggarakan kehidupan bernegara selanjutnya mulai dibentuk dan disepakati
apa saja yang dapat dijadikan identitas nasional Indonesia. Dengan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini, dapat dikatakan bangsa
Indonesia relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya. Demikian pula
dalam proses pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas nasional. Setelah
melalui berbagai upaya keras dan perjuangan serta pengorbanan di antara
komponen bangsa bahkan melalui kegiatan saling memberi dan menerima di antara
warga bangsa, maka saat ini Pancasila telah diterima sebagai dasar negara.
Secara
sosiologis, identitas nasional telah terbentuk dalam roses interaksi,
komunikasi, dan persinggungan budaya secara alamiah baik melalui perjalanan
panjang menuju Indonesia merdeka maupun melalui pembentukan intensif pasca
kemerdekaan. Identitas nasional pasca kemerdekaan dilakukan secara terencana
oleh Pemerintah dan organisasi kemasyarakatan melalui berbagai kegiatan seperti
upacara kenegaraan dan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal atau
non formal. Dalam kegiatan tersebut terjadi interaksi antaretnis, antarbudaya,
antarbahasa, antargolongan yang terus menerus dan akhirnya menyatu berafiliasi dan
memperkokoh NKRI.
Apabila
negara diibaratkan sebagai individu manusia, maka secara sosiologis, individu
manusia Indonesia akan dengan mudah dikenali dari atribut yang melekat dalam
dirinya. Atribut ini berbeda dari atribut individu manusia yang berasal dari
bangsa lain. Perbedaan antarindividu manusia dapat diidentifikasi dari aspek
fisik dan psikis. Aspek fisik dapat dikenali dari unsur- unsur seperti tinggi
dan berat badan, bentuk wajah/muka, kulit, warna dan bentuk rambut, dan
lain-lain. Sedangkan aspek psikis dapat dikenali dari unsur-unsur seperti
kebiasaan, hobi atau kesenangan, semangat, karakter atau watak, sikap, dan
lain-lain.
Konsep jati diri atau identitas diri
sebagai refleksi dari seorang ahli berikut ini :
Soemarno Soedarsono (2002) telah
megungkapkan tentang jati diri atau identitas diri dalam konteks individual.
BagAda suatu ungkapan yang menyatakan bahwa baiknya sebuah negara ditentukan
oleh baiknya keluarga, dan baiknya keluarga sangat ditentukan oleh baiknya individu.
Merujuk pada ungkapan tersebut maka dapat ditarik simpulan bahwa identitas
individu dapat menjadi representasi dan penentu identitas nasional. Oleh karena
itu, secara sosiologis keberadaan identitas etnis termasuk identitas diri
individu sangat penting karena dapat menjadi penentu bagi identitas nasional.
Secara politis, beberapa bentuk
identitas nasional Indonesia yang dapat menjadi penciri atau pembangun jati
diri bangsa Indonesia meliputi: bendera negara Sang Merah Putih, bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa negara, lambang negara Garuda
Pancasila, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bentuk-bentuk identitas nasional
ini telah diatur dalam peraturan perundangan baik dalam UUD maupun dalam
peraturan yang lebih khusus.
Bentuk-bentuk identitas nasional
Indonesia pernah dikemukakan pula oleh Winarno (2013) sebagai berikut:
(1) Bahasa nasional atau bahasa
persatuan adalah Bahasa Indonesia;
(2) Bendera negara adalah Sang Merah
Putih;
(3) Lagu kebangsaan adalah Indonesia
Raya;
(4) Lambang negara adalah Garuda
Pancasila;
(5) Semboyan negara adalah Bhinneka
Tunggal Ika;
(6) Dasar falsafah negara adalah Pancasila;
(7) Konstitusi (Hukum Dasar) Negara
adalah UUD NRI 1945;
(8) Bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
(9) Konsepsi Wawasan Nusantara; dan
(10) Kebudayaan daerah yang telah
diterima sebagai kebudayaan nasional.
Semua bentuk identitas nasional ini
telah diatur dan tentu perlu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Empat identitas nasional pertama meliputi bendera, bahasa,
dan lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam peraturan perundangan
khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dasar pertimbangan tentang
bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia diatur
dalam undang-undang karena (1) bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi
bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
(2) bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia
merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa,
kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut sumber legal-formal, empat
identitas nasional pertama meliputi:
1. Bendera negara Sang Merah Putih
Ketentuan tentang Bendera Negara
diatur dalam UU No.24 Tahun 2009 mulai Pasal 4 sampai Pasal 24. Bendera warna
merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah
ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928. Bendera Negara yang
dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka
Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih saat ini disimpan dan
dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
2. Bahasa Negara Bahasa Indonesia
Ketentuan tentang Bahasa Negara
diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri
NKRI. Bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan
sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dan kemudian diangkat dan diikrarkan
sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa
Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus
sebagai jati diri danidentitas nasional Indonesia.
3. Lambang Negara Garuda Pancasila
Ketentuan tentang Lambang Negara
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 46 sampai Pasal 57.
Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di
tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan
dasar Pancasila sebagai berikut :
a) dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang
bersudut lima
b) dasar Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian
kiri bawah perisai
c) dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai
d) dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan
kepala banteng di bagian kanan atas perisai
e) dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas
perisai.
Dengan demikian, lambang negara
Garuda Pancasila mengandung makna simbol sila-sila Pancasila. Dengan kata lain,
Lambang Negara yang dilukiskan dengan seekor burung Garuda merupakan satu
kesatuan dengan Pancasila. Artinya, lambang negara tidak dapat dipisahkan dari
dasar negara Pancasila.
4. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Ketentuan tentang Lagu kebangsaan
Indonesia Raya diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 58 sampai Pasal
64. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada
Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Lagu Indonesia Raya selanjutnya
menjadi lagu kebangsaan yang diperdengarkan pada setiap upacara kenegaraan.
5. Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika artinya
berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the
founding fathers mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis
yang dinamakan oleh Herbert Feith (1960), seorang Indonesianist yang menyatakan
bahwa Indonesia sebagai mozaic society. Seperti halnya sebuah lukisan mozaic
yang beraneka warna namun karena tersusun dengan baik maka keanekaragaman tersebut
dapat membentuk keindahan sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang
melihatnya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna juga bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara atau bangsa lain yang
menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap berkeinginan untuk
menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
6. Dasar Falsafah Negara Pancasila
Pancasila memiliki sebutan atau
fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila berfungsi
sebagai dasar negara, ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup
bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi Pancasila. Rakyat Indonesia
menganggap bahwa Pancasila sangat penting karena keberadaannya dapat menjadi
perekat bangsa, pemersatu bangsa, dan tentunya menjadi identitas nasional.
Pancasila hanya ada di Indonesia.
Pancasila telah menjadi kekhasan Indonesia, artinya Pancasila menjadi penciri
bangsa Indonesia. Siapa pun orang Indonesia atau yang mengaku sebagai warga
negara Indonesia, maka ia harus punya pemahaman, bersikap, dan berperilaku
sesuai dengan Pancasila. Dengan kata
lain, Pancasila sebagai identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh rakyat
Indonesia seyogianya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir, bersikap,
dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpikir, bersikap, dan
berperilaku bangsa Indonesia tersebut menjadi pembeda dari cara berpikir,
bersikap, dan berperilaku bangsa lain.
E. Menumbuhkan sikap
anti korupsi sebagai perwujudan dari nasionalisme dan
bela negara
Kesadaran bela negara menjadi
bagian penting dari strategi nasional bangsa dan negara Indonesia guna menghadapi berbagai ancaman,
gangguan, hambatan, dan tantangan. Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang
diperoleh melalui perjuangan panjang dan penuh pengorbanan, tidak dapat dilepaskan dari peran dan
kontribusi dari seluruh komponen bangsa. Negara dan bangsa Indonesia mengerahkan segenap daya upayanya
dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Rakyat Indonesia bersama-sama berupaya mencapai tujuan nasional
tersebut guna meraih cita- cita bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Dalam rangka mencapai tujuan
nasional dan cita-cita bangsa Indonesia tersebut dibutuhkan suatu strategi nasional guna menghadapi dinamika
perkembangan lingkungan strategis, baik pada tataran global, regional, maupun nasional. Setiap negara
perlu memiliki strategi nasional, mengingat dinamika perkembangan lingkungan strategis tersebut
tidak hanya dapat memberikan pengaruh positif berupa peluang, namunjuga dapat berpengaruh
negatif berupa ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, atau yang dikenal sebagai hakikat ancaman bagi
negara Indonesia.
Strategi pertahanan negara yang
dapat menjamin tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus untuk merespon tantangan
pertahanan negara ke depan, adalah penerapan Sistem Pertahanan Semesta dalam wujud Strategi
Pertahanan Berlapis yang menyinergikan lapis pertahanan militer dengan lapis pertahanan
nirmiliter. Strategi Pertahanan Berlapis yang memadukan lapis
pertahanan militer dan lapis pertahanan nirmiliter, merupakan manifestasi dari keikutsertaan seluruh warga negara
Indonesia dalam upaya pertahanan negara dengan mendayagunakan segenap sumber daya nasional
secara maksimal. Hal yang mendasar dari pertahanan negara yang bersifat semesta tersebut adalah perlunya
kesadaran bela negara dari seluruh warga negara Indonesia dari semua lapisan masyarakat.
Kesadaran
bela negara telah diamanatkan dalam Pasal 27 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“Setiap warga negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945, berbunyi “Setiap Warga Negara Berhak dan Wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
Selanjutnya dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945,
berbunyi
“Tiap-tiap Warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan
negara
dan“.
Penjabaran
lebih lanjut tentang pembelaan
negara
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara
Pasal 9, yang menyebutkan bahwa bela negara adalah sikap dan
perilaku warga negara yang dijiwai
oleh
kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
dalam
menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sikap
dan perilaku tersebut tidak begitu saja muncul menjadi
kesadaran setiap warga negara sejak lahir, sehingga
perlu ditumbuhkembangkan sejak dini serta senantiasa
dipelihara dan dikembangkan secara
berkesinambungan
melalui pembinaan kesadaran bela
negara.
Hakikat
pembinaan kesadaran bela negara adalah upaya untuk
membangun karakter bangsa Indonesia yang memiliki
jiwa nasionalisme dan patriotisme
serta
memiliki ketahanan nasional yang tangguh guna menjamin tetap
tegaknya NKRI yang berdasarkan
Pancasila
dan UUD 1945 dan terpeliharanya
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam mencapai tujuan nasional.
Terkait dengan hakikat tersebut, ada tiga pertanyaan
mendasar tentang bela negara yang
perlu
dijawab guna lebih memahami makna dari bela negara itu
sendiri.
Pertama,
“Apa yang harus dibela dari negara?”. UU Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara
Pasal
4 menyebutkan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk
menjaga dan melindungi kedaulatan
negara,
keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala bentuk ancaman.
( Materi 4 )
Esensi Dan Urgensi
Identitas Nasional Sebagai Salah Satu Determinan Pembangunan Bangsa Dan
Karakter
Setiap negara yang merdeka dan
berdaulat sudah dapat dipastikan berupaya memiliki identitas nasional agar
negara tersebut dapat dikenal oleh negara-bangsa lain dan dapat dibedakan
dengan bangsa lain. Identitas nasional mampu menjaga eksistensi dan kelangsungan
hidup negara-bangsa. Negara-bangsa memiliki kewibawaan dan kehormatan sebagai
bangsa yang sejajar dengan bangsa lain serta akan menyatukan bangsa yang
bersangkutan.
A. Konsep dan Urgensi Identitas
Nasional
Konsep identitas nasional dibentuk
oleh dua kata dasar, ialah “identitas” dan “nasional”. Kata identitas berasal
dari kata “identity” (Inggris) yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary
berarti: (1) (C,U) who or what sb/sth is; (2) (C,U) the characteristics,
feelings or beliefs that distinguish people from others; (3) the state of feeling
of being very similar to and able to understand sb/sth. Dalam kamus maya Wikipedia
dikatakan “identity is an umbrella term used throughout the social sciences to
describe a person's conception and expression of their individuality or group affiliations
(such as national identity and cultural identity). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), identitas berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati
diri.
Dengan demikian identitas menunjuk
pada ciri atau penanda yang dimiliki oleh sesorang, pribadi dan dapat pula
kelompok. Penanda pribadi misalkan diwujudkan dalam beberapa bentuk identitas
diri, misal dalam Kartu Tanda Penduduk, ID Card, Surat Ijin Mengemudi, Kartu
Pelajar, Kartu Mahasiswa dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi penduduk yang
telah memiliki penghasilan. Kata nasional berasal dari kata “national” (Inggris)
yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1) connected with a
particular nation; shared by a whole nation; (2) owned, controlled or
financially supported by the federal, government. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “nasional” berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari
bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan, identitas nasional lebih dekat dengan arti jati diri yakniciri-ciri
atau karakeristik, perasaan atau keyakinan tentang kebangsaan yang membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Apabila bangsa Indonesia memiliki identitas
nasional maka bangsa lain akan dengan mudah mengenali dan mampu membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain C. Soedarsono (2002) menyatakan “Jati diri
adalah siapa diri Anda sesungguhnya.”
Makna identitas dalam konteks ini
digambarkan sebagai jati diri individu manusia. Jati diri sebagai sifat dasar
manusia. Dinyatakannya bahwa jati diri merupakan lapis pertama yang nantinya
menentukan karakter seseorang dan kepribadian seseorang. Identitas nasional
bagi bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut dan
norma dasar yang dijadikan pedoman untuk berperilaku. Semua identitas ini akan
menjadi ciri yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia,
jati diri tersebut dapat tersimpul dalam ideologi dan konstitusi negara, ialah
Pancasila dan UUD NRI 1945. Menurut Kaelan (2002) jati diri bangsa Indonesia adalah
nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia
tentang kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak, dan ciri
masyarakat Indonesia. Ada sejumlah ciri yang menjadi corak dan watak bangsa
yakni sifat religius, sikap menghormati bangsa dan manusia lain, persatuan,
gotong royong dan musyawarah, serta ide tentang keadilan sosial. Nilai-nilai
dasar itu dirumuskan sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan
sebagai jati diri bangsa sekaligus identitas nasional. Pancasila sebagai jati
diri bangsa akan menunjukkan identitas kita selaku bangsa Indonesia yakni ada
unsur kesamaan yang memberi ciri khas kepada masyarakat Indonesia dalam
perkembangannya dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kepribadian tersebut
mampu memunculkan keunikan masyarakat Indonesia ketika berhubungan dengan
masyarakat bangsa lain. Dengan demikian, Pancasila sebagai jati diri bangsa
yang bermakna kepribadian, identitas dan keunikan, dapat terwujud sebagai satu
kesatuan
B. Alasan Mengapa Diperlukan
Identitas Nasional
Identitas nasional rakyat Indonesia
telah dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh rakyat Indonesia sehingga
manusia Indonesia yang berkepribadian Pancasila tersebut memiliki pembeda bila
dibandingkan dengan bangsa lain. Pembeda yang dimaksud adalah kekhasan positif,
yakni ciri bangsa yang beradab, unggul, dan terpuji,
bukanlah sebaliknya yakni kekhasan yang negatif, bangsa yang
tidak beradab, bangsa yang miskin, terbelakang, dan tidak terpuji.
C. Menggali Sumber Historis,
Sosiologis, Politik tentang Identitas Nasional Indonesia
Sebelum kita membahas lebih jauh
tentang identitas nasional menurut sumber historis, sosiologis, dan politis,
kita terlebih dahulu akan mencermati dahulu dua jenis identitas, yakni
identitas primer dan sekunder (Tilaar, 2007; Winarno, 2013). Identitas primer
dinamakan juga identitas etnis yakni identitas yang mengawali terjadinya identitas
sekunder, sedangkan identitas sekunder adalah identitas yang dibentuk atau direkonstruksi
berdasarkan hasil kesepakatan bersama.
Secara historis, identitas nasional
Indonesia ditandai ketika munculnya kesadaran rakyat Indonesia sebagai bangsa
yang sedang dijajah oleh asing pada tahun 1908 yang dikenal dengan masa
Kebangkitan Nasional (Bangsa). Pada saat itu muncullah kesadaran untuk bangkit
membentuk sebuah bangsa. Kesadaran ini muncul karena pengaruh dari hasil
pendidikan yang diterima sebagai dampak dari politik etis (Etiche Politiek).
Dengan kata lain, unsur pendidikan sangatlah penting bagi pembentukan kebudayaan
dan kesadaran akan kebangsaan sebagai identitas nasional. Pembentukan identitas
nasional melalui pengembangan kebudayaan Indonesia telah dilakukan jauh sebelum
kemerdekaan. Menurut Nunus Supardi (2007) kongres kebudayaan di Indonesia
pernah dilakukan sejak 1918 yang diperkirakan sebagai pengaruh dari Kongres
Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh dr. Radjiman Widyodiningrat.
·
Kongres
Kebudayaan I diselenggarakan di Solo tanggal 5-7 Juli 1918 yang terbatas pada pengembangan
budaya Jawa. Namun dampaknya telah meluas sampai pada kebudayaan Sunda, Madura,
dan Bali. Kongres bahasa Sunda diselenggarakan di Bandung tahun 1924.
·
Kongres
bahasa Indonesia I diselenggarakan tahun 1938 di Solo. Peristiwa- peristiwa
yang terkait dengan kebudayaan dan kebahasaan melalui kongres telah memberikan
pengaruh positif terhadap pembangunan jati diri dan/atau identitas nasional.
·
Setelah
proklamasi kemerdekaan, Kongres Kebudayaan diadakan di Magelang pada 20-24
Agustus 1948 dan terakhir di Bukittinggi Sumatera Barat pada 20-22 Oktober
2003.
Menurut Tilaar (2007) kongres
kebudayaan telah mampu melahirkan kepedulian terhadap unsur-unsur budaya lain.
Secara historis, pengalaman kongres telah banyak memberikan inspirasi yang
mengkristal akan kesadaran berbangsa yang diwujudkan dengan semakin banyak
berdirinya organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik. Pada tahun 1920-1930-an berdirinya sejumlah
organisasi kemasyarakatan bergerak dalam berbagai bidang, seperti bidang
perdagangan, keagamaan hingga organisasi politik. Tumbuh dan berkembangnya
sejumlah organisasi kemasyarakatan mengarah pada kesadaran berbangsa. Puncaknya
para pemuda yang berasal dari organisasi kedaerahan berkumpul dalam Kongres
Pemuda ke-2 di Jakarta dan mengumandangkan Sumpah Pemuda. Pada saat itulah
dinyatakan identitas nasional yang lebih tegas bahwa “Bangsa Indonesia mengaku
bertanah air yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Identitas nasional
Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional.
Secara sosiologis, identitas
nasional telah terbentuk dalam proses interaksi, komunikasi, dan persinggungan
budaya secara alamiah baik melalui perjalanan panjang menuju Indonesia merdeka
maupun melalui pembentukan intensif pasca kemerdekaan. Identitas nasional pasca
kemerdekaan dilakukan secara terencana oleh Pemerintah dan organisasi
kemasyarakatan melalui berbagai kegiatan seperti upacara kenegaraan dan proses
pendidikan dalam lembaga pendidikan formal atau non formal. Dalam kegiatan tersebut
terjadi interaksi antaretnis, antarbudaya, antarbahasa, antargolongan yang
terus menerus dan akhirnya menyatu berafiliasi dan memperkokoh NKRI.
Secara politis, Bentuk-bentuk
identitas nasional ini telah diatur dalam peraturan perundangan baik dalam UUD
maupun dalam peraturan yang lebih khusus. Bentuk - bentuk identitas nasional
Indonesia pernah dikemukakan pula oleh Winarno (2013) sebagai berikut:
(1) Bahasa nasional atau bahasa
persatuan adalah Bahasa Indonesia;
(2) Bendera negara adalah Sang Merah
Putih;
(3) Lagu kebangsaan adalah Indonesia
Raya;
(4) Lambang negara adalah Garuda
Pancasila;
(5) Semboyan negara adalah Bhinneka
Tunggal Ika;
(6) Dasar falsafah negara adalah
Pancasila;
(7) Konstitusi (Hukum Dasar) Negara
adalah UUD NRI 1945;
(8) Bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
(9) Konsepsi Wawasan Nusantara; dan
(10) Kebudayaan daerah yang telah
diterima sebagai kebudayaan nasional.
Semua bentuk identitas nasional ini
telah diatur dan tentu perlu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Empat identitas nasional pertama meliputi bendera, bahasa, dan
lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam peraturan perundangan khusus
yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
ØBendera Negara Sang Merah Putih
Ketentuan tentang Bendera Negara
diatur dalam UU No.24 Tahun 2009 mulai Pasal 4 sampai Pasal 24. Bendera warna
merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah
ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928.
ØBahasa Negara Bahasa Indonesia
Ketentuan tentang Bahasa Negara
diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri
NKRI. Bahasa Indonesia berasal dari rumpun
bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dan
kemudian diangkat dan diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda
II tanggal 28 Oktober 1928.
ØLambang Negara Garuda Pancasila
Ketentuan tentang Lambang Negara
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 46 sampai Pasal 57.
Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di
tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan
dasar Pancasila sebagai berikut :
a. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang
bersudut lima;
b. Dasar Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian
kiri bawah perisai;
c. Dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai;
d. Dasar Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan
kepala banteng dibagian kanan atas perisai; dan
e. Dasar Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan
atas perisai.
ØLagu Kebangsaan Indonesia Raya
Ketentuan tentang Lagu kebangsaan
Indonesia Raya diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 58 sampai Pasal
64. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada
Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.
ØSemboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika artinya
berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the founding
fathers mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis yang
dinamakan oleh Herbert Feith (1960), Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung
makna juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara
atau bangsa lain yang menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap
berkeinginan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
ØDasar Falsafah Negara Pancasila
Pancasila memiliki sebutan atau
fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila berfungsi
sebagai dasar negara, ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup
bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi Pancasila. Pancasila sebagai identitas nasional memiliki
makna bahwa seluruh rakyat Indonesia seyogianya menjadikan Pancasila sebagai
landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Cara
berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa Indonesia tersebut menjadi pembeda
dari cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa lain
D. Membangun Argumen tentang
Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional Indonesia
Kasus dan peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari yang merupakan tantangan dan masalah yang dihadapi terkait dengan
Pancasila, sebagai berikut
·
Nilai-nilai
luhur dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (contoh: rendahnya
semangat gotong royong, kepatuhan hukum, kepatuhan membayar pajak, kesantunan,
kepedulian, dan lainlain)
·
Nilai
–nilai Pancasila belum menjadi acuan sikap dan perilaku sehari-hari (perilaku
jalan pintas, tindakan serba instan, menyontek, plagiat, tidak disiplin, tidak
jujur, malas, kebiasaan merokok di tempat umum, buang sampah sembarangan, dan
lain-lain)
·
Rasa
nasionalisme dan patriotisme yang luntur dan memudar (lebih menghargai dan
mencintai bangsa asing, lebih mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga
dengan prestasi bangsa sendiri, lebih bangga menggunakan produk asing daripada
produk bangsa sendiri, dan lain-lain)
·
Lebih
bangga menggunakan bendera asing dari pada bendera merah putih, lebih bangga
menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Indonesia.
·
Menyukai
simbol-simbol asing daripada lambang/simbol bangsa sendiri, dan lebih
mengapresiasi dan senang menyanyikan lagu-lagu asing daripada mengapresiasi
lagu nasional dan lagu daerah sendiri.
Disadari bahwa rendahnya pemahaman
dan menurunnya kesadaran warga negara dalam bersikap dan berperilaku
menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
khususnya pada era reformasi bangsa Indonesia bagaikan berada dalam tahap disintegrasi
karena tidak ada nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama. Padahal bangsa
Indonesia telah memiliki nilainilai luhur yang dapat dijadikan pegangan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yakni Pancasila. Warisan
agung yang tak ternilai harganya dari para the founding fathers adalah Pancasila.
Bangsa Indonesia perlu didorong agar menjadi bangsa yang beretos kerja tinggi, rajin,
tekun, ulet, tidak malas, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Semua
nilai-nilai tersebut telah tercakup dalam Pancasila sehingga pada akhirnya
semua permasalahan akan terjawab apabila bangsa Indonesia mampu dan berkomitmen
untuk mengamalkan Pancasila.
Pada hakikatnya, semua unsur formal
identitas nasional, baik yang langsung maupun secara tidak langsung diterapkan,
perlu dipahami, diamalkan, dan diperlakukan sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku. Permasalahannya terletak pada sejauh mana warga
negara Indonesia memahami dan menyadari dirinya sebagai warga negara yang baik yang
beridentitas sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, warga negara yang
baik akan berupaya belajar secara berkelanjutan agar menjadi warga negara bukan
hanya baik tetapi cerdas (to be smart and good citizen).
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi
Identitas Nasional Indonesia
Mengapa identitas nasional itu
penting bagi sebuah negara-bangsa? Pada dasarnya, jawabannya hampir sama dengan
pentingnya identitas bagi diri individu manusia.
·
Pertama,
agar bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa lain. Apabila kita sudah dikenal oleh
bangsa lain maka kita dapat melanjutkan perjuangan untuk mampu eksis sebagai
bangsa sesuai dengan fitrahnya.
·
Kedua,
identitas nasional bagi sebuah negara-bangsa sangat penting bagi kelangsungan
hidup negarabangsa tersebut. Tidak mungkin negara dapat hidup sendiri sehingga
dapat eksis. Setiap negara memiliki keterbatasan sehingga perlu
bantuan/pertolongan negara/bangsa lain. Oleh karena itu, identitas nasional
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan nasional negara -
bangsa Indonesia.
·
Ketiga,
identitas nasional penting bagi kewibawaan negara dan bangsa Indonesia. Dengan
saling mengenal identitas, maka akan tumbuh rasa saling hormat, saling
pengertian (mutual understanding), tidak ada stratifikasi dalam kedudukan antarnegara-bangsa.
Dalam berhubungan antarnegara tercipta hubungan yang sederajat / sejajar,
karena masingmasing mengakui bahwa setiap negara berdaulat tidak boleh
melampaui kedaulatan negara lain.
(Materi
5)
Nilai Dan Norma
Konstitusional UUD NRI 1945 Dan Konstitusionalitas Ketentuan Perundang -
Undangan Di Bawah UUD
A.
Konsep dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
1. Pengertian konstitusi
Menurut pandangan Lord James Bryce
yang dimaksud dengan Konstitusi adalah suatu kerangka negara yang
diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang
tetap dengan mengakui fungsi-fungsi dan hak-haknya. Pendek kata bahwa
konstitusi itu menurut pandangannya merupakan kerangka negara yang diorganisasikan
melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap
(permanen), dan yang menetapkan fungsi-fungsi dan hak-hak dari lembaga-lembaga permanen
tersebut. Sehubungan dengan itu C.F. Strong yang menganut paham modern secara
tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar.
Rumusan yang dikemukakannya adalah
konstitusi itu merupakan satu kumpulan asas-asas mengenai kekuasaan pemerintah,
hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya (pemerintah dan yang
diperintah dalam konteks hak-hak asasi manusia). Konstitusi semacam ini dapat
diwujudkan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan
zaman, tetapi dapat pula berupa a bundle of separate laws yang diberi otoritas
sebagai hukum tata negara. Rumusan C.F. Strong ini pada dasarnya sama dengan
definisi Bolingbroke (Astim Riyanto, 2009).
Pengertian tentang konstitusi dalam
arti sempit dan konstitusi dalam arti luas:
a. Dalam arti sempit, konstitusi
merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan
dasar untuk menyelenggarakan negara.
b. Dalam arti luas, konstitusi
merupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan
bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan
2. Tujuan Konstitusi
1. Konstitusi berfungsi sebagai
landasan kontitusionalisme. Landasan konstitusionalisme adalah landasan
berdasarkan konstitusi, baik konstitusi dalam arti luas maupun konstitusi dalam
arti sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi undang-undang dasar, undang - undang
organik, peraturan perundang-undangan lain, dan konvensi. Konstitusi dalam arti
sempit berupa Undang-Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).
2. Konstitusi berfungsi untuk
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak
warganegara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme,
yang oleh Carl Joachim Friedrich dijelaskan sebagai gagasan bahwa pemerintah
merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama
rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin
bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Thaib dan Hamidi, 1999).
3. Konstitusi berfungsi:
(a) membatasi atau mengendalikan
kekuasaan penguasa agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya;
(b) memberi suatu rangka dasar hukum
bagi perubahan masyarakat yang dicitacitakan tahap berikutnya;
(c) dijadikan landasan
penyelenggaraan negara menurut suatu sistem ketatanegaraan tertentu yang
dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya;
(d) menjamin hak-hak asasi warga
negara.
B.
Alasan Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Konstitusi diperlukan dalam
kehidupan berbangsa-negara yaitu agar dapat membatasi kekuasaan pemerintah atau
penguasa negara. Konstitusi negara di satu sisi dimaksudkan untuk membatasi
kekuasaan penyelenggaran negara dan di sisi lain untuk menjamin hak - hak dasar
warga negara. Seorang ahli konstitusi berkebangsaan Jepang Naoki Kobayashi mengemukakan
bahwa undang-undang dasar membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk
menjamin hak-hak rakyat.Melalui fungsi ini undang-undang dasar dapat memberi
sumbangan kepada perkembangan dan pembinaan tatanan politik yang demokratis
(Riyanto, 2009).Aturan dasar yang terdapat dalam UUD NKRI 1945 Pasal 7 Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. UUD NKRI
Tahun 1945.Dalam rentetan sejarah penegakkan HAM akan di temukan beberapa peristiwa
yang melahirkan berbagai dokumen HAM.
Eksistensi konstitusi dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara merupakan sesuatu hal yang sangat krusial,karena
tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara.Dalam lintasan
sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang tidak memiliki
konstitusi.Hal ini menunjukkan betapa urgenya konstitusi sebagai suatu
perangkat negara. Konstitusi dan negara ibarat dua sisi mata uang yang satu
sama lain tidak terpisahkan.
Konstitusi menjadi sesuatu yang
urgen dalam tatanan kehidupan ketatanegaraan,karena konstitusi merupakan
sekumpulan aturan yang mengatur organisasi negara,serta hubungan antara negara
dan warga negara sehingga saling menyesuaikan diri dan saling bekerjasama
Dr.A.Hamid S.Attamimi menegaskan – seperti yang dikutip Thaib – bahwa konstitusi
atau Undang –Undang Dasar merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai pemberi
pegangan dan pemberi batas, sekaligus dipakai sebagai pegangan dalam mengatur
bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.
Sejalan dengan perlunya konstitusi
sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan dalam suatu negara, Meriam Budiardjo
mengatakan:
“Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas
demokrasi konstitusional,Undang – undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenwng –wenang .Dengan demikian diharapkan hak-hak
warga negara akan lebih terlindungi”.(Budiardjo,1978:96)
Dalam konteks pentingnya konstitusi
sebagai pemberi batas kekuasaan tersebut, Kusnardi menjelaskan
“bahwa konstitusi dilihat dari fungsinya terbagi dalam dua
(2) bagian, yakni membagi kekuasaan dalam negara, dan membatasi kekuasaan
pemerintah atau penguasa dalam negara”.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa bagi mereka yang memandang negara dari sudut
kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan,maka konstitusi dapat dipandang
sebagai lembaga atau kumpulan asas yang mendapatkan bagaimana kekuasaan dibagi
diantara beberapa lembaga kenegaraan,seperti antara lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Selain sebagai pembatas kekuasaan ,konstitusi juga
dugunakan sebagai alat untuk menjamin hak hak warga negara. Hak hak tersebut
mencakup hak-hak asasi, seperti hak untuk hidup, kesejahteraan hidup hak kebebasan.
Dari beberapa pakar yang menjelaskan
mengenai urgensi konstitusi dalam sebuah negara,maka secara umum dapat
dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam suatu negara merupakan suatu
keniscayaan,karena dengan adanya konstitusi akan tercipta pembatasan kekuasaan
melain pembagian wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan negara.Selain
itu,adanya konstitusi juga menjadi suatu hal sangat penting untuk menjamin
hak-hak asasi warga negara,sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang
–wenang dari pemerintah.
Konstitusi adalah sarana dasar untuk
mengawasi proses kekuasaan. Oleh karena itu, Setiap konstitusi mempunyai
beberapa peranan yaitu :
·
Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap
kekuasaan politik
·
untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa,dan
menetapkan bagi penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka, sehingga tidak
terdapat kekuasaan yang semena – mena.
·
Untuk membatasi kesewenang-wenangan tindakan pemerintah
untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan
yang berdaulat.
·
Konstitusi bertujuan untuk mengatur organisasi negara dan
susunan pemerintahan. Sehingga dimana ada organisasi negara dan kebutuhan
menyusun suatu pemerintahan negara, maka akan diperlukan konstitusi.
·
Konstitusi mempunyai posisi yang sangat penting dalam
kehidupan ketatanegaraan suatu negara karena konstitusi menjadi
barometer(ukuran) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, juga merupakan
ide-ide dasar yang digariskan penguasa negara untuk mengemudikan suatu negara.
·
Konstitusi menggambarkan struktur negara dan sistem kerja
yang ada diantara lembaga-lembaga negara.Konstitusi menjelaskan kekuasaan dan
kewajiban pemerintah sekaligus membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak
sewenang- wenang dalam bertindak.
·
Dari berbagai penjelasan tentang tujuan konstitusi diatas,
dapat dikatakan bahwa tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur
jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari
terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta
memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara.
Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai
alat untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara.
C.
Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Contoh dalam Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara memuat aturan-aturan dasar sebagai berikut:
1. Pedoman bagi Presiden dalam memegang
kekuasaan pemerintahan (Pasal 4, Ayat 1).
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Pasal 6 Ayat 1).
3. Pembatasan masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 7)
4. Pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B).
5. Presiden tidak dapat membekukan
dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C).
6. Pernyataan perang, membuat
pedamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat
3).
7. Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12)
8. Mengangkat dan menerima duta negara
lain (Pasal 13 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat3).
9. Pemberian grasi dan rehabilitasi
(Pasal 14 Ayat 1).
10. Pemberian amnesti dan abolisi (Pasal
14 Ayat 2).
11. Pemberian gelar, tanda jasa, dan
lain-lan tanda kehormatan (Pasal 15).
12. Pembentukan dewan pertimbangan
(Pasal 16).
Semua pasal tersebut berisi aturan
dasar yang mengatur kekuasaan Presiden, baik sebagai kepala negara maupun
kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara
Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintah seharihari.
Aturan-aturan dasar dalam UUD NRI
1945 tersebut merupakan bukti adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan di
Indonesia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana jadinya jika kekuasaan
pemerintah tidak dibatasi. Tentu saja penguasa akan memerintah dengan sewenang
- wenang.
Setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang - wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely”. Inilah alasan mengapa diperlukan konstitusi dalam kehidupan
berbangsa-negara Indonesia, yakni untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar
tidak memerintah dengan sewenang-wenang.Konstitusi juga diperlukan untuk membagi
kekuasaan dalam negara.
Pandangan ini didasarkan pada fungsi
konstitusi yang salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan dalam
Negara.Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap
sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga
atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara
beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu
bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam negara.
J. G. Steenbeek mengemukakan bahwa
sebuah konstitusi sekurang-kurangnya bermuatan hal-hal sebagai berikut
(Soemantri, 1987):
§Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
Negara
§Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yg bersifat fundamental
§Adanya pembagian dan pembatasan tugas kenegaraan yg juga bersifat
fundamental. K.C. Wheare menegaskan bahwa dalam sebuah negara kesatuan yang
perlu diatur dalam konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri,
1987)
K.C. Wheare menegaskan bahwa dalam
sebuah negara kesatuan yang perlu diatur dalam
konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri,
1987):
§Struktur umum negara, seperti pengaturan kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudisial.
§Hubungan – dalam garis besar – antara kekuasaan-kekuasaan
tersebut satu sama
lain.
§Hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut dengan rakyat
atau warga Negara.
A.A.H. Struycken menyatakan bahwa
konstitusi dalam sebuah dokumen formal berisikan hal-ahal sebagai berikut
(Soemantri, 1987):
§Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yg lampau
§Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
§Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
untuk waktu sekarang maupun untuk masa
yang akan datang
§Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Miriam Budiardjo (2003) mengemukakan
bahwa setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan tentang:
§Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. (b) Hak-hak asasi manusia.
§Prosedur mengubah UUD.
§Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari UUD.
Hal-hal yang dimuat dalam konstitusi
atau UUD
1. Organisasi negara, misalnya
pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif: Pada negara federal,
pembagian kekuasaan antara pemerintah
federal dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur menyelesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan.
2. Hak-hak asasi manusia. Dalam UUD
NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XA, Pasal 28A sampai
Pasal 28 J.
3. Prosedur mengubah UUD. Dalam UUD
NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XVI, Pasal 37 tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar.
4. Ada kalanya memuat larangan untuk
mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun
UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi,
seperti misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. UUD
Federal Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme dari UUD oleh karena
dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya
kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam UUD NRI 1945, misalnya diatur
mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak akan mengubah bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).
5. Memuat cita-cita rakyat dan
asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat (spirit) yang
oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga mewarnai seluruh naskah
UUD itu. Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan keinginan untuk memperkokoh
penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan dalam Permulaan UUD:“Kami,
rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu Uni yang lebih
sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika Serikat”.
D.
Argument tentang Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara Konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
§UUD NRI 1945(Masa Kemerdekaan) 18 Agustus 1945 sampai dengan
Agustus 1950, dengan catatan, mulai 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus
hanya berlaku di wilayah RI Proklamasi
§Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 sampai dengan 17Agustus
1950
§UUDS 1950 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959
§UUD NRI 1945 (Masa Orde Lama) 5 Juli 1959 sampai dengan 1965
§UUD NRI 1945 (Masa Orde Baru) 1966 sampai dengan 1998
Pada pertengahan 1997, negara kita
dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat. Krisis ekonomi dan
moneter yang melanda Indonesia ketika itu merupakan suatu tantangan yang sangat
berat. Akibat dari krisis tersebut adalah harga-harga melambung tinggi,
sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar Rupiah terhadap
mata uang asing, terutama Dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi
seperti itu, pemerintah berusaha
menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung
membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah.
Krisis yang terjadi meluas pada
aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai pemerintah. Maka
timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara
besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut
dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya.
Pemerintah sudah tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998
Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya. Berhentinya Presiden
Soeharto menjadi awal era reformasi di tanah air. Pada awal era reformasi
(pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan
tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan
pemuda.
Beberapa tuntutan reformasi itu
adalah:
a. mengamandemen UUD NRI 1945,
b. menghapuskan doktrin Dwi Fungsi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
c. menegakkan supremasi hukum,
penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN),
d. melakukan desentralisasi dan
hubungan yang adil antara pusat dan daerah,
e. mewujudkan kebebasan pers,
f. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Dalam perkembangannya, tuntutan
perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Berdasarkan
hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam
Pasal 37 UUD NRI 1945 melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam
empat kali perubahan, yakni:
a. Perubahan Pertama, pada Sidang
Umum MPR 1999.
b. Perubahan Kedua, pada Sidang
Tahunan MPR 2000.
c. Perubahan Ketiga, pada Sidang
Tahunan MPR 2001.
d. Perubahan Keempat, pada Sidang
Tahunan MPR 2002.
Perubahan UUD NRI 1945 yang
dilakukan oleh MPR, selain merupakan perwujudan dari tuntutan reformasi,
sebenarnya sejalan dengan pemikiran pendiri bangsa (founding father) Indonesia.
E.
Esensi dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Hasil
perubahan UUD NRI 1945
a. Perubahan Pertama UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Umum MPR 1999 (tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999).
b. Perubahan Kedua UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2000 (tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000).
c. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR
d. 2001 (tanggal 1 sampai 9 November
2001)
e. Perubahan Keempat UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2002 (tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002).
Setelah disahkannya Perubahan
Keempat UUD NRI 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2002, agenda reformasi konstitusi
Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Perubahan UUD
NRI 1945 yang berhasil dilakukan mencakup 21 bab, 72 pasal, 170 ayat, 3 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Ada enam pasal yang tidak
mengalami perubahan, yaitu Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 25, Pasal 29, dan
Pasal 35.
Dalam negara modern, penyelenggaraan
kekuasaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (konstitusi). Dengan
demikian konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu
negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi adalah konstitusi mempunyai
kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara. UUD NRI 1945 sebagai
konstitusi negara Indonesia memiliki kedudukan sebagai hukum tertinggi dan
hukum dasar negara. Sebagai hukum tertinggi negara, UUD NRI 1945 menduduki
posisi paling tinggi dalam
jenjang norma hukum di Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD NRI 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Sebagai hukum dasar dan hukum
tertinggi negara, maka peraturan perundangan di bawah UUD NRI 1945, isinya
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengannya. Misal isi norma suatu pasal
dalam undangundang, tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI. Dengan demikian
UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara menjadi batu uji apakah isi peraturan di
bawahnya bertentangan atau tidak. Undang-undang pada dasarnya adalah pelaksanaan
daripada norma-norma yang terdapat dalam undang-undang dasar. Misal Pasal 31
Ayat 3 UUD NRI 1945 menyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undangundang”.
Berdasar hal di atas, disusunlan
undang-undang pelaksanaanya yakni Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Oleh karena Secara normatif undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka jika ditemukan suatu norma dalam
undangundang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dapat melahirkan persoalan konstitusionalitas
undang-undang tersebut terhadap UUD NRI 1945.
Dalam sistem hukum di Indonesia,
lembaga negara yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap
UUD NRI 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusionalitas
undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang
itu baik dari segi formal ataupun material terhadap
UUD.
Uji material menyangkut pengujian UU
yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang
dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Uji formal menyangkut pengujian UU
yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak
termasuk pengujian material.
Warga negara baik secara
perseorangan atau kelompok dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas suatu
undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 ke Mahkamah
Konstitusi.
Salah satu contoh nyata hasil
perubahan konstitusi kita yang sangat penting bagi upaya penyediaan dana
pembangunan nasional yakni dalam hal pajak di mana dalam Pasal 23A berbunyi “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pasal ini menegaskan perihal pentingnya pajak bagi keberlangsungan kehidupan
negara-bangsa. Oleh karenanya setiap warga negara hendaknya menyadari atas
kewajibannya dalam membayar pajak tersebut.
(Materi 6 – 7)
Harmoni Kewajiban Dan Hak Negara Dan Warganegara Dalam Demokrasi Yang
Bersumbu Pada Kedaulatan Rakyat Dan Musyawarah
Untuk Mufaka
A.
Menelusuri Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
Dalam tradisi budaya
Indonesia semenjak
dahulu, tatkala wilayah Nusantara ini diperintah raja-raja, kita lebih mengenal
konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Konsep kewajiban selalu menjadi
landasan aksiologis dalam hubungan rakyat dan penguasa. Rakyat wajib patuh
kepada titah raja tanpa reserve sebagai bentuk penghambaan total. Keadaan yang
sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara, baik pada masa
penjajahan Belanda yang demikian lama maupun masa pendudukan Jepang yang
relatif singkat. Horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek
kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Lambat laun terbentuklah mekanisme mengalahkan diri dalam
tradisi budaya nusantara. Bahkan dalam tradisi Jawa, alasan kewajiban
mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka masih asing terhadap
diskursus hak.
Istilah kewajiban jauh
lebih akrab dalam dinamika kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan
hal ini dalam buku-buku sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara. Walaupun
demikian dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan
petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik
melawan petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011).
Aksi-aksi perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli
dalam buku Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka.
Tak hanya itu, ide tentang
Ratu Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis.
Perjuangan melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan
kita tidak hanya berkutat pada ranah kewajiban an sich. Para pejuang
kemerdekaan melawan kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan
dijarah. Situasi perjuangan merebut kemerdekaan yang berpanta rei, sambung
menyambung dan tanpa henti, sejak perjuangan yang bersifat kedaerahan,
dilanjutkan perjuangan menggunakan organisasi modern, dan akhirnya perang
kemerdekaan memungkinkan kita sekarang ini lebih paham akan budaya hak daripada
kewajiban. Akibatnya tumbuhlah mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika
perlu dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi
ketika dituntut untuk menunaikan kewajiban malah tidak mau.
Dalam sosiologi konsep
ini dikenal dengan istilah “strong sense of entitlement”. Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan hak dan kewajiban itu dan bagaimanakah hubungan keduanya. Hak
adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau
dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain mana pun juga
yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Wajib adalah beban
untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak
tertentu tidak dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat
dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban dengan demikian
merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro, 1975). Hak dan kewajiban
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut “teori korelasi”
yang dianut oleh pengikut utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara hak
dan kewajiban. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak
orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru
dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak
yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Hal
ini sejalan dengan filsafat kebebasannya Mill (1996) yang menyatakan bahwa
lahirnya hak Asasi Manusia dilandasi dua hak yang paling fundamental, yaitu hak
persamaan dan hak kebebasan. Hak kebebasan seseorang, menurutnya, tidak boleh
dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri.
Kebebasan menurut Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas
atas dasar kemauan sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, namun
pebuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan
merugikan orang lain.
Atas dasar pemikiran
tersebut, maka jika hanya menekankan pada hak dan mengabaikan kewajiban maka akan
melahirkan persoalan-persoalan. Persoalan-persoalan apa sajakah yang akan
muncul? Akankah hal itu merugikan solidaritas dalam masyarakat? Akankah hak
menempatkan individu di atas masyarakat? Akankah hal itu kontraproduktif untuk
kehidupan sosial? Akankah ia memberi angin pada individualsme? Padahal, manusia
itu merupakan anggota masyarakat dan tidak boleh tercerabut dari akar
sosialnya.
Hanya dalam lingkungan
masyarakatlah, manusia menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dalam
sejarah peradaban umat manusia inovasi hanya muncul ketika manusia berhubungan
satu sama lain dalam arena sosial. Contoh, Roda pertama kali ditemukan di
Mesopotamia, yakni roda pembuat tembikar di Ur pada 3500 tahun SM. Selanjutnya
pemakaian roda untuk menarik kereta kuda ditemukan di selatan Polandia pada
tahun 3350 SM. Roda pada awalnya hanya terbuat dari kayu cakram yang dilubangi
untuk as. Sampai Celtic memperkenalkan pemakaian pelek besi di sekitar roda.
Model Celtic ini digunakan sampai tahu 1870-an tanpa perubahan yang berarti
sampai ditemukakannya ban angin dan ban kawat. Sampai sekarang roda digunakan
secara luas mulai dari sepeda sampai turbin pesawat.
Muncul pertanyaan, apakah
dengan mengakui hak-hak manusia berarti menolak masyarakat? Mengakui hak
manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti masyarakat itu
dengan suatu kumpulan individu tanpa hubungan satu sama lain. Yang ditolak
dengan menerima hak-hak manusia adalah totaliterisme, yakni pandangan bahwa
negara mempunyai kuasa absolut terhadap warganya. Paham ini sempat dianut oleh
negara Fasis Jerman dibawah Hitler dan Italia dibawah Musolini, di mana negara
mempunyai kuasa absolut terhadap seluruh warga negaranya, serta Jepang pada
masa Teno Heika, yang menempatkan Kaisar sebagai pemilik kuasa absolut terhadap
rakyatnya (Alisjahbana, 1978). Dengan demikian pengakuan hak-hak manusia
menjamin agar negara tidak sampai menggilas individu-individu.
Kalah dan Menang
menceritakan peristiwa-peristiwa selama Perang Dunia II, pendudukan Jepang di
Indonesia serta perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Roman
ini mempertentangkan jiwa humanisme dalam bentuk seorang cendekiawan Swiss
dengan Roman jiwa bushido Jepang dalam bentuk seorang samurai. Bagaimana kisah
selanjutnya? Berdasarkan uraian di atas, konsep apa yang perlu diusung dalam
kehidupan sosial dan politik Indonesia? Konsep yang perlu diusung adalah
menyeimbangkan dalam menuntut hak dan menunaikan kewajiban yang melekat
padanya.
Yang menjadi persoalan
adalah rumusan aturan dasar dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak-hak
dasar warga negara, sebagian besar tidak dibarengi dengan aturan dasar yang
menuntut kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Padahal sejatinya dalam
setiap hak melekat kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban menghormati hak orang
lain. Coba Anda periksa naskah UUD NRI Tahun 1945, pasal-pasal mana saja yang
berisi aturan dasar tentang hak dan sekaligus juga berisi aturan dasar mengenai
kewajiban warga negara. Jika hubungan warga negara dengan negara itu bersifat
timbal balik, carilah aturan atau pasal–pasal dalam UUD NRI 1945 yang menyebut
hak-hak negara dan kewajiban negara terhadap warganya.
Sebagai contoh hak dan
kewajiban warga negara yang bersifat timbal balik atau resiprokalitas adalah
hak warga negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 Ayat
2, UUD 1945). Atas dasar hak ini, negara berkewajiban memberi pekerjaan dan
penghidupan bagi warga negara. Untuk merealisasikan pemenuhan hak warga negara
tersebut, pemerintah tiap tahun membuka lowongan pekerjaan di berbagai bidang
dan memberi subsidi kepada rakyat. Guna merealisasikan kewajiban warga negara,
negara mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengikat warga negara
dan menjadi kewajiban warga negara untuk memenuhinya.
Salah satu contoh
kewajiban warga negara terpenting saat ini adalah kewajiban membayar pajak
(Pasal 23A, UUD 1945). Hal ini dikarenakan saat ini pajak merupakan sumber
penerimaan negara terbesar dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan.
Tanpa adanya sumber pendapatan pajak yang besar maka pembiayaan pengeluaran
negara akan terhambat. Pajak menyumbang sekitar 74,63 % pendapatan negara.
Jadi membayar pajak
adalah contoh kewajiban warga negara yang nyata di era pembangunan seperti
sekarang ini. Dengan masuknya pendapatan pajak dari warga negara maka
pemerintah negara juga akan mampu memenuhi hak warga negara yakni hak
mendapatkan penghidupan yang layak. Gambar resiprokal hak dan kewajiban
masyarakat vs negara terlihat pada Gambar V.4 dan Gambar V.5.
B.
Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga
Negara Indonesia
Pada uraian di atas Anda
telah memperoleh pemahaman bahwa tradisi budaya Indonesia semenjak zaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan
konsep hak. Mekanismenya adalah kepatuhan tanpa reserve rakyat terhadap
penguasa dalam hal ini raja atau sultan sebagai bentuk penghambaan secara
total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara di
mana horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai
postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dua kekuatan inilah yang
mengkonstruksi pemikiran rakyat di Nusantara untuk mengedepankan kewajiban dan
dalam batas-batas tertentu melupakan pemerolehan hak, walaupun pada
kenyataannya bersifat temporal karena sebagaimana terekam dalam Max Havelaar
rakyat yang tertindas akhirnya memberontak menuntut hak-hak mereka. Pergerakan
budaya rupanya mengikuti dinamika kehidupan sosial politik di mana tatkala
hegemoni kaum kolonial mulai dipertanyakan keabsahannya maka terjadilah
perlawanan kaum tertindas dimana-mana menuntut hakhaknya yang dirampas.
Sejak itulah konsep hak
mulai lebih mengemuka dan menggantikan konsep kewajiban yang mulai meredup.
Dewasa ini kita menyaksikan fenomena yang anomali di mana orang-orang menuntut
hak dengan sangat gigih dan jika perlu dilakukan dengan kekerasan, namun pada
saat tiba giliran untuk menunaikan kewajiban mereka itu tampaknya kehilangan
gairah.
Dari dua keadaan yang
kontras tersebut tentu saja memunculkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, lebih
penting manakah kewajiban atau hak? Mana yang benar melaksanakan kewajiban
terlebih dahulu baru menuntut hak? Atau sebaliknya menikmati hak terlebih
dahulu baru menunaikan kewajiban? Atau mengharmonikan kewajban dengan hak?
Bagaimana caranya mengharmonikan kewajiban dengan hak tersebut?
C.
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban dan Hak
Negara dan Warga Negara Indonesia
1.
Sumber Historis
Secara historis
perjuangan menegakkan hak asasi manusia terjadi di dunia Barat (Eropa). Adalah
John Locke, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang pertama kali
merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri
manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Coba Anda pelajari
lebih jauh ihwal kontribusi John Locke terhadap perkembangan demokrasi dan hak
asasi manusia.
Perkembangan selanjutnya
ditandai adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta,
Revolusi Amerika, dan Revolusi Perancis. Anda tentu saja telah mengenal ketiga
peristiwa besar tersebut. Namun agar pemahaman Anda semakin baik, simaklah
ulasan singkat dari ketiga peristiwa tersebut berikut ini.
a. Magna Charta (1215)
Piagam perjanjian antara
Raja John dari Inggris dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian jaminan
beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak
untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu
diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan
oleh para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan
menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.
b. Revolusi Amerika
(1276)
Perang kemerdekaan rakyat
Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika.
Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat menjadi
negara merdeka tanggal 4 Juli1776 merupakan hasil dari revolusi ini.
c. Revolusi Prancis
(1789)
Revolusi Prancis adalah
bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah
bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des droits de I’homme et du
citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi
Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan
(egality), dan persaudaraan (fraternite).
Dalam perkembangannya,
pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi
berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedoms). Konsep ini
pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D.
Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi: a. kebebasan untuk beragama
(freedom of religion),
b. kebebasan untuk
berbicara dan berpendapat (freedom of speech),
c. kebebasan dari
kemelaratan (freedom from want), dan
d. kebebasan dari
ketakutan (freedom from fear).
Hak asasi manusia kini
sudah diakui seluruh dunia dan bersifat universal, meliputi berbagai bidang
kehidupan manusia dan tidak lagi menjadi milik negara Barat. Sekarang ini, hak
asasi manusia telah menjadi isu kontemporer di dunia. PBB pada tanggal 10
Desember 1948 mencanangkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia).
Bagaimana dengan sejarah
perkembangan HAM di Indonesia? Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan
nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya
berlangsung sudah cukup lama. Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di
Indonesia dibagi dalam dua periode (Manan, 2001), yaitu periode sebelum
kemerdekaan (1908–1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945–sekarang).
Pada tahun 1997,
Interaction Council mencanangkan suatu naskah, berjudul Universal Declaration
of Human Responsibilities (Deklarasi Tanggung Jawab Manusia). Naskah ini
dirumuskan oleh sejumlah tokoh dunia seperti Helmut Schmidt, Malcom Fraser,
Jimmy Carter, Lee Kuan Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi
yang bekerja selama sepuluh tahun sejak bulan Maret 1987. Mengapa muncul
deklarasi ini? Dinyatakan bahwa deklarasi ini diadakan karena di Barat ada
tradisi menjunjung tinggi kebebasan dan individualis, sedang di dunia Timur,
konsep tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Konsep kewajiban berfungsi
sebagai penyeimbang antara kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih terkait
dengan kebebasan, sedang kewajiban terkait dengan tanggung jawab. Tanggung
jawab merupakan sikap moral berfungsi sebagai kendala alamiah dan sukarela
terhadap kebebasan yang dimiliki orang lain.
Dalam setiap masyarakat
tiada kebebasan tanpa pembatasan. Maka dari itu lebih banyak kebebasan yang
kita nikmati, lebih banyak pula tanggung jawab terhadap orang lain maupun diri
sendiri. Lebih banyak bakat yang kita miliki lebih besar tanggung jawab kita
untuk mengembangkannya. Dihimbau agar hak atas kebebasan tidak menuju pada
sikap hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan kebebasan orang lain.
Dianjurkan agar orang yang memiliki hak juga berusaha aktif agar orang lain
juga dapat menikmati hak itu. Dikatakan pula bahwa “kita harus melangkah dari
‘kebebasan untuk tidak peduli’ menuju ‘kebebasan untuk melibatkan diri’”.
Prinsip dasar deklarasi
ini adalah tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi pada saat yang sama
berkembang rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu
tumbuh. Untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah
emas (Golden Rule) yang perlu diperhatikan yakni. “Berbuatlah terhadap orang lain, seperti Anda ingin mereka berbuat
terhadap Anda”.
Dalam bagian Preambule
naskah dikatakan bahwa terlalu mengutamakan hak secara ekslusif dapat
menimbulkan konflik, perpecahan, dan pertengkaran tanpa akhir, di lain pihak
mengabaikan tanggung jawab manusia dapat menjurus ke chaos (Budiardjo, 2008).
2.
Sumber Sosiologis
Akhir-akhir ini kita
menyaksikan berbagai gejolak dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan, yakni
munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita
yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal
penyabar, ramah, penuh sopan santun, dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong
menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan
tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anakanak kita
yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti. Bagaimana
kita dapat memahami situasi semacam ini? Situasi yang bergolak serupa ini dapat
dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial
dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu.
Mencoba membaca situasi
pasca reformasi sekarang ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental
yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita
(Wirutomo, 2001). Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah
tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru
ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana kekuasaan
terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos)
tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi,
pendidikan, dan sebagainya). Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam
masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya
terselubung (sociocultural animosity).
Gejala ini muncul dan
semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru
berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi
antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru
meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung,
dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas
bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga
konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan
fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang
menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).
Ciri lain dari konflik
yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest
conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi
(latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah
suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan
perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung
unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena
terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh
pranata sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat
ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).
Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada
kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif
(integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi
koersif).
Atas dasar kenyataan
demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus
dilakukan dengan cara apa? Bagaimana pandangan Anda tentang hal tersebut? Ada
satu pandangan bahwa Indonesia baru harus dibangun dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut
adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang mampu mengharmonikan kewajiban
dan hak negara dan warga negara. Entitas negara persatuan dari bangsa
multikultur seperti Indonesia hanya bisa bertahan lebih kokoh jika bediri di
atas landasan pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin kesimbangan antara
pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi
segenap warga dan elemen kebangsaan.
Tuntutan bukan hanya
tentang pemenuhan hak-hak individu (individual rights) dan kelompok masyarakat
(collective rights), melainkan juga kewajiban untuk mengembangkan solidaritas
sosial (gotong royong) dalam rangka kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bangsa
secara keseluruhan (Latif, 2011). 3. Sumber Politik Sumber politik yang
mendasari dinamika kewajiban dan hak negara dan warga negara Indonesia adalah
proses dan hasil perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi.
Pada awal era reformasi
(pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan
tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan
pemuda. Masih ingatkan Anda butir-butir yang menjadi tuntutan reformasi itu?
Beberapa tuntutan reformasi itu adalah:
a. mengamandemen UUD NRI
1945,
b. penghapusan doktrin
Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
c. menegakkan supremasi
hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN),
d. melakukan
desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah,
e. (otonomi daerah),
f. mewujudkan kebebasan
pers,
g. mewujudkan kehidupan
demokrasi.
Mari kita fokuskan
perhatian pada tuntutan untuk mengamandemen UUD NRI 1945 karena amat berkaitan
dengan dinamika penghormatan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Adanya tuntutan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI 1945 belum
cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan
penghormatan HAM.
Di samping itu, dalam
tubuh UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran beragam,
atau lebih dari satu tafsir (multitafsir) dan membuka peluang bagi
penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, berpotensi
tumbuhnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan negara
yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya kemerosotan kehidupan nasional.
Salah satu bukti tentang hal itu adalah terjadinya krisis dalam berbagai bidang
kehidupan (krisis multidimensional).
Tuntutan perubahan UUD
NRI 1945 merupakan suatu terobosan yang sangat besar. Dikatakan terobosan yang
sangat besar karena pada era sebelumnya tidak dikehendaki adanya perubahan
tersebut. Sikap politik pemerintah yang diperkuat oleh MPR berkehendak untuk
tidak mengubah UUD NRI 1945. Apabila muncul juga kehendak mengubah UUD NRI
1945, terlebih dahulu harus dilakukan referendum (meminta pendapat rakyat)
dengan persyaratan yang sangat ketat. Karena persyaratannya yang sangat ketat
itulah maka kecil kemungkinan untuk berhasil melakukan perubahan UUD NRI 1945.
Dalam perkembangannya,
tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan kewenangannya yang
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NRI 1945 melakukan perubahan secara
bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan, yakni (1) Perubahan
Pertama, pada Sidang Umum MPR 1999; (2) Perubahan Kedua, pada Sidang Tahunan
MPR 2000; (3) Perubahan Ketiga, pada Sidang Tahunan MPR 2001; dan (4) Perubahan
Keempat, pada Sidang Tahunan MPR 2002. Dari empat kali perubahan tesebut
dihasilkan berbagai aturan dasar yang baru, termasuk ihwal hak dan kewajiban
asasi manusia yang diatur dalam pasal 28 A sampai dengan 28 J.
D.
Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni Kewajiban dan Hak
Negara dan Warga Negara
Aturan dasar ihwal
kewajiban dan hak negara dan warga negara setelah Perubahan UUD NRI 1945
mengalami dinamika yang luar biasa. Berikut disajikan bentuk-bentuk perubahan
aturan dasar dalam UUD NRI 1945 sebelum dan sesudah Amandemen tersebut.
1. Aturan Dasar Ihwal
Pendidikan dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ketentuan mengenai hak
warga negara di bidang pendidikan semula diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI
1945. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuannya tetap diatur dalam Pasal 31
Ayat (1) UUD NRI 1945, namun dengan perubahan. Perhatikanlah rumusan naskah
asli dan rumusan perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 31, (1)
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Rumusan perubahan Pasal
31, (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Perhatikanlah kedua
rumusan tersebut. Apa yang mengalami perubahan dari pasal tersebut? Perubahan
pasal tersebut terletak pada penggantian kata tiap-tiap menjadi setiap dan kata
pengajaran menjadi pendidikan. Perubahan kata tiap-tiap menjadi setiap
merupakan penyesuaian terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Adapun perubahan
kata pengajaran menjadi pendidikan dimaksudkan untuk memperluas hak warga
negara karena pengertian pengajaran lebih sempit dibandingkan dengan pengertian
pendidikan.
Pendidikan adalah proses
menanamkan nilai-nilai, sedangkan pengajaran adalah proses mengalihkan
pengetahuan. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada peserta didik lebih dari
sekedar pengetahuan. Aspek lainnya meliputi keterampilan, nilai dan sikap. Di
samping itu, proses pendidikan juga dapat berlangsung di tiga lingkungan
pendidikan, yaitu di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedang pengajaran
konotasinya hanya berlangsung di sekolah (bahkan di kelas). Dengan demikian,
perubahan kata pengajaran menjadi pendidikan berakibat menjadi semakin luasnya
hak warga negara.
Perubahan UUD NRI Tahun
1945 juga memasukkan ketentuan baru tentang upaya pemerintah dalam memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Rumusannya terdapat dalam Pasal 31 Ayat (5) UUD
NRI Tahun 1945: “Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Adanya rumusan tersebut
dimaksudkan agar pemerintah berupaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh
persatuan bangsa. Pencapaian bangsa di bidang iptek adalah akibat dihayatinya
nilai-nilai ilmiah. Namun, nilai-nilai ilmiah yang dihasilkan tetap harus
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan bangsa. Setujukah
Anda dengan pernyataan tersebut? Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
budaya harus bersiap menyambut perkembangan dan kemajuan IPTEK.
Oleh karena budaya bangsa
kita sebagian besar masih berdasarkan budaya etnik tradisional, sedangkan IPTEK
berasal dari perkembangan budaya asing yang lebih maju, maka apabila
pertumbuhan budaya bangsa kita tidak disiapkan akan dapat terjadi apa yang
disebut kesenjangan budaya (cultural lag), yakni keadaan kehidupan bangsa
Indonesia yang bergumul dengan budaya baru yang tidak dipahaminya.
Dapatkah Anda memberikan
contoh-contoh kesenjangan budaya yang kerap kali muncul pada masyarakat kita?
Mengapa hal demikian terjadi? Kesenjangan budaya sudah diprediksi oleh William
F. Ogburn (seorang ahli sosiologi ternama), bahwa perubahan kebudayaan material
lebih cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non material (sikap,
perilaku, dan kebiasaan). Akibatnya akan terjadi kesenjangan budaya seperti
diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, budaya bangsa dan setiap orang
Indonesia harus disiapkan untuk menyongsong era atau zaman kemajuan dan
kecanggihan IPTEK tersebut.
Negara juga wajib
memajukan kebudayaan nasional. Semula ketentuan mengenai kebudayaan diatur dalam
Pasal 32 UUD NRI 1945 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945 ketentuan
tersebut masih diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 namun dengan dua ayat.
Perhatikanlah perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 32:
“Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Rumusan perubahan: Pasal
32, (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”. (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional”. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh
kebutuhan untuk menempatkan kebudayaan nasional pada derajat yang tinggi.
Kebudayaan nasional
merupakan identitas bangsa dan negara yang harus dilestarikan, dikembangkan,
dan diteguhkan di tengah perubahan dunia. Benarkah demikian? Mengapa? Perubahan
dunia itu pada kenyataannya berlangsung sangat cepat serta dapat mengancam
identitas bangsa dan negara Indonesia. Kita menyadari pula bahwa budaya kita
bukan budaya yang tertutup, sehingga masih terbuka untuk dapat ditinjau kembali
dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemajuan zaman. Menutup diri pada era
global berarti menutup kesempatan berkembang. Sebaliknya kita juga tidak boleh
hanyut terbawa arus globalisasi. Karena jika hanyut dalam arus globalisasi akan
kehilangan jati diri kita.
Jadi, strategi kebudayaan
nasional Indonesia yang kita pilih adalah sebagai berikut:
a. menerima sepenuhnya:
unsur-unsur budaya asing yang sesuai dengan kepribadian bangsa;
b. menolak sepenuhnya:
unsur-unsur budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa;
c. menerima secara
selektif: unsur budaya asing yang belum jelas apakah sesuai atau bertentangan
dengan kepribadian bangsa.
2.
Aturan Dasar Ihwal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bagaimana Ketentuan
Mengenai Perekonomian Nasional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah,
ketentuan ini diatur dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial dan
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 33 dengan 3 ayat dan Pasal 34 tanpa ayat.
Setelah perubahan UUD NRI 1945, judul bab menjadi Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 33 dengan 5 ayat dan
Pasal 34 dengan 4 ayat.
Ambillah naskah UUD NRI
1945 dan bacalah dengan seksama pasal-pasal yang dimaksud tersebut. Salah satu
perubahan penting untuk Pasal 33 terutama dimaksudkan untuk melengkapi aturan
yang sudah diatur sebelum perubahan UUD NRI 1945, sebagai berikut:
a. Pasal 33 Ayat (1) UUD
NRI 1945: menegaskan asas kekeluargaan;
b. Pasal 33 Ayat (2) UUD
NRI 1945: menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara;
c. Pasal 33 Ayat (3) UUD
NRI 1945: menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya harus dikuasai negara.
Adapun ketentuan baru
yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan tentang
prinsip-prinsip perekonomian nasional yang perlu dicantumkan guna melengkapi
ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945.
Mari kita bicarakan
terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perekonomian nasional
yang sudah ada sebelum perubahan UUD NRI 1945. Bagaimana masalah kesejahteraan
rakyat diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah Pasal 34 UUD NRI 1945
ditetapkan tanpa ayat. Setelah dilakukan perubahan UUD NRI 1945 maka Pasal 34
memiliki 4 ayat. Perubahan ini didasarkan pada kebutuhan meningkatkan jaminan
konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial.
Adapun ketentuan mengenai
kesejahteraan sosial yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sebelumnya
merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan
(welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk lebih
mendekatkan gagasan negara tentang kesejahteraan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 ke dalam realita kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945, perihal tujuan negara disebutkan: “...melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,...”. Maka dalam Pasal 34 UUD NRI 1945 upaya memajukan kesejahteraan umum
lebih dijabarkan lagi, ke dalam fungsi-fungsi negara untuk:
a. mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat;
b. memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu;
c. menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan yang layak;
d. menyediakan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
Dalam hal ini negara
Indonesia, sebagai negara kesejahteraan, memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta
meningkatkan kualitas pelayanan umum yang baik.
3.
Aturan Dasar Ihwal Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara
Semula ketentuan tentang
pertahanan negara menggunakan konsep pembelaan terhadap negara [Pasal 30 Ayat
(1) UUD NRI 1945]. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 konsep pembelaan negara
dipindahkan menjadi Pasal 27 Ayat (3) dengan sedikit perubahan redaksional.
Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai hak dan kewajiban
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945]
merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945. Mengapa
demikian? Karena upaya membela negara mengandung pengertian yang umum.
Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya? Penerapannya adalah dengan
memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.
Bagaimana usaha
pertahanan dan keamanan negara dilakukan? Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945
menegaskan sebagai berikut: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai komponen utama, dan
rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Dipilihnya sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta (Sishankamrata) dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah bangsa
Indonesia sendiri. Pengalaman yang bagaimana yang melatarbelakangi dipilihnya
Sishankamrata itu? Mari kita melakukan kilas balik sejarah (flash back) pada
salah satu faktor penting suksesnya revolusi kemerdekaan tahun 1945 dan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terletak pada bersatu-padunya
kekuatan rakyat, kekuatan militer, dan kepolisian.
Dalam perkembangannya
kemudian, bersatu-padunya kekuatan itu dirumuskan dalam sebuah sistem
pertahanan dan keamanan negara yang disebut sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta. Dengan dasar pengalaman sejarah tersebut maka sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta tersebut dimasukkan ke dalam ketentuan UUD NRI
Tahun 1945. Tahukah Anda apa maksud upaya tersebut? Jawabannya adalah untuk
lebih mengukuhkan keberadaan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
tersebut.
Di samping itu juga
kedudukan rakyat dan TNI serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara makin dikukuhkan. Dalam hal ini
kedudukan rakyat adalah sebagai kekuatan pendukung, sedang TNI dan Polri
sebagai kekuatan utama. Sistem ini menjadi salah satu ciri khas sistem
pertahanan dan keamanan Indonesia yang bersifat semesta, yang melibatkan
seluruh potensi rakyat warga negara, wilayah, sumber daya nasional, secara
aktif, terpadu, terarah, dan berkelanjutan.
4.
Aturan Dasar Ihwal Hak dan Kewajiban Asasi Manusia
Penghormatan terhadap hak
asasi manusia pasca Amandemen UUD NRI 1945 mengalami dinamika yang luar biasa.
Jika sebelumnya perihal hakhak dasar warganegara yang diatur dalam UUD NRI 1945
hanya berkutat pada pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34, setelah Amandemen
keempat UUD NRI 1945 aturan dasar mengenai hal tersebut diatur tersendiri di
bawah judul Hak Asasi Manusia (HAM).
Di samping mengatur
perihal hak asasi manusia, diatur juga ihwal kewajiban asasi manusia. Aturan
dasar perihal hak asasi manusia telah diatur secara detail dalam UUD NRI Tahun
1945. Coba Anda analisis pasal-pasal tersebut di atas. Hakhak asasi apa saja
yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945? Anda bandingkan dengan Deklarasi Hak
Asasi Manusia Sedunia (Universal Declaration of Human Rights). Adakah kesamaan
(commonality) di antara keduanya? Adakah hal yang spesifik yang diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945 yang berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam The
Universal Declaration of Human Rights? Dianutnya rezim HAM yang detail dalam
UUD NRI Tahun 1945 menunjukan bahwa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa bersungguh-sungguh melakukan penghormatan terhadap HAM.
E.
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga
Negara
UUD NRI Tahun 1945 tidak
hanya memuat aturan dasar ihwal kewajiban dan hak negara melainkan juga
kewajiban dan hak warga negara. Dengan demikian terdapat harmoni kewajiban dan
hak negara di satu pihak dengan kewajiban dan hak warga negara di pihak lain.
Apa esensi dan urgensi adanya harmoni kewajiban dan hak negara dan warganegara
tersebut? Untuk memahami persoalan tersebut, mari kita pergunakan pendekatan
kebutuhan warga negara yang meliputi kebutuhan akan agama, pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat, serta pertahanan dan keamanan.
1. Agama
Bangsa Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang religius. Kepercayaan bangsa kita kepada Tuhan Yang Maha
Esa telah ada semenjak zaman prasejarah, sebelum datangnya pengaruh agama-agama
besar ke tanah air kita. Karena itu dalam perkembangannya, bangsa kita mudah
menerima penyebaran agama-agama besar itu. Rakyat bangsa kita menganut berbagai
agama berdasarkan kitab suci yang diyakininya. Undang-Undang Dasar merupakan
dokumen hukum yang mewujudkan cita-cita bersama setiap rakyat Indonesia. Dalam
hal ini cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan beragama juga merupakan
bagian yang diatur dalam UUD. Ketentuan mengenai agama diatur dalam UUD NRI
1945 Pasal 29. Bacalah pasal tersebut. Mengapa negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa? Bukankah dasar negara kita Pancasila? Mengapa hanya didasarkan
pada satu sila saja? Jika tidak memahami dasar pemikirannya, maka Anda akan
merasa bingung. Susunan dasar negara kita yaitu Pancasila bersifat hierarkis
piramidal. Artinya, urut-urutan lima sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian
tingkat dalam luasnya dan isi dalam sifatnya yang merupakan pengkhususan dari
sila-sila di mukanya.
Jadi, di antara lima sila
Pancasila ada hubungan yang mengikat satu dengan yang lainnya, sehingga
Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Kesatuan sila-sila Pancasila
yang memiliki susunan hierarkis piramidal itu harus dimaknai bahwa sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar dari:
a. sila kemanusiaan yang
adil dan beradab,
b. persatuan Indonesia,
c. kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
d. keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dari uraian tersebut
tampak bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila
Pancasila lainnya. Jadi, paham Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pandangan dasar
dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan
kenegaraan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya Pasal 29 Ayat (1) UUD NRI 1945
menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya adalah
bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa (jiwa keberagamaan) harus diwujudkan dalam
kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam UUD NRI 1945. Apa makna negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu? Adanya jaminan
kemerdekaan memeluk agama dan beribadat selain diatur dalam Pasal 29 Ayat (2)
juga dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945.
Seperti telah diungkapkan
pada uraian terdahulu, bahwa dalam perubahan UUD NRI 1945 dilakukan penambahan
ketentuan mengenai HAM. Satu di antaranya adalah ketentuan Pasal 29 Ayat (2)
mengenai kebebasan beragama dan beribadat yang dipertegas oleh Pasal 28E Ayat
(1) yang salah satu substansinya mengatur hal yang sama. Hal yang perlu kita
pahami adalah apa makna negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama itu?
2. Pendidikan dan
Kebudayaan
Pendidikan dan kebudayaan
merupakan dua istilah yang satu sama lain saling berkorelasi sangat erat.
Pendidikan adalah salah satu bentuk upaya pembudayaan. Melalui proses,
pendidikan kebudayaan bukan saja ditransformasikan dari generasi tua ke
generasi muda, melainkan dikembangkan sehingga mencapai derajat tertinggi
berupa peradaban. Dalam konteks ini apa sebenarnya tujuan pendidikan nasional
kita? Penjelasan tentang tujuan pendidikan nasional dapat kita temukan dalam
Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945. Cari dan bacalah pasal tersebut.
Rumusan pasal ini mengakomodasi
nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa yang religius. Maknanya adalah bahwa
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
harus dilakukan dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Dari rumusan Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945 juga terdapat konsep fungsi negara,
dalam hal ini pemerintah, yakni mengusahakan dan sekaligus menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional. Jika kita menengok fungsifungsi negara (function of
the state) dalam lingkup pembangunan negara (state-building) cakupannya
meliputi hal-hal berikut ini.
a. Fungsi minimal:
melengkapi sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan
keamanan, hukum, kesehatan, dan keadilan.
b. Fungsi madya:
menangani masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan
monopoli.
c. Fungsi aktivis:
menetapkan kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan.
Berdasarkan klasifikasi
fungsi negara tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi madya dari
negara. Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi tertinggi dari
negara, penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya sekedar
pelaksanaan fungsi minimal negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan
sangatlah penting. Pendidikan nasional merupakan perwujudan amanat UUD NRI
tahun 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam UUSPN lebih lanjut
dirinci bahwa penyelenggaraan sistem pendidikan nasional itu harus melahirkan
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkeinginan bahwa pada tahun 2025
pendidikan nasional menghasilkan INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF (Insan
Kamil/Insan Paripurna).
Kecerdasan yang kita
maksud adalah kecerdasan yang komprehensif. Artinya, bukan hanya cerdas
intelektualnya, melainkan juga memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial,
bahkan kinestetis. Bersamaan dengan dimilikinya kecerdasan secara komprehensif,
insan Indonesia juga harus kompetitif.
3.
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Rakyat
Sesuai
semangat Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 asas perekonomian nasional adalah
kekeluargaan. Apa makna asas kekeluargaan? Kekeluargaan merupakan asas yang
dianut oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan yang salah
satunya kegiatan perekonomian nasional. Asas kekeluargaan dapat diartikan
sebagai kerja sama yang dilakukan lebih dari seorang dalam menyelesaikan
pekerjaan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.
Hasil
pekerjaan bersama memberikan manfaat yang dapat dinikmati secara adil oleh
banyak orang. Tujuannya adalah agar pekerjaan dapat cepat selesai dan memberi
hasil lebih baik. Penerapan asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional
adalah dalam sistem ekonomi kerakyatan. Apa makna sistem ekonomi kerakyatan
itu? Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi nasional yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah
sistem ekonomi yang bertumpu pada kekuatan mayoritas rakyat. Dengan demikian
sistem ini tidak dapat dipisahkan dari pengertian “sektor ekonomi rakyat”,
yakni sektor ekonomi baik sektor produksi, distribusi, maupun konsumsi yang
melibatkan rakyat banyak, memberikan manfaat bagi rakyat banyak, pemilikan dan
penilikannya oleh rakyat banyak.
4.
Pertahanan dan Keamanan
Berdasarkan
aturan dasar ihwal pertahanan dan keamanan Negara Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri),
sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Dengan demikian
tampak bahwa komponen utama dalam Sishankamrata adalah TNI dan Polri.
Coba
Anda jelaskan apa tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri dalam sistem pertahanan
keamanan rakyat semesta? Adanya pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi TNI
dan Polri, baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam undang-undang terkait,
diharapkan akan mampu meningkatkan profesionalisme kedua lembaga yang bergerak
dalam bidang pertahanan dan keamanan negara. Mengenai adanya ketentuan dalam
Pasal 30 Ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedudukan dan susunan TNI
dan Polri lebih lanjut diatur dengan undangundang, merupakan dasar hukum bagi
DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang. Pengaturan dengan undang-undang
mengenai pertahanan dan keamanan negara merupakan konsekuensi logis dari
prinsip yang menempatkan urusan pertahanan dan keamanan sebagai kepentingan
rakyat.
(Materi 8
– 9)
Hakikat, instrumentasi
dan praksis demokrasi Indonesia berlandaskan
Pancasila dan UUD NRI 1945
A. Memahami Konsep dan
Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
1.
Hakikat Demokrasi
Apa yang dimaksud dengan demokrasi? Silahkan Anda
deskripsikan yang ada dipikiran Anda ketika
mendengar kata demokrasi. Seringkali dalam kehidupan
sehari-hari kita mendengar ungkapan mengenai demokrasi. Dalam (Bintoro, 2006) istilah demokrasi secara sederhana sering
muncul dalam ungkapan, cerita atau mitos.
Misalnya, orang Minangkabau membanggakan tradisi demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan: “Bulat
air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Orang
Jawa, secara samar-samar menunjukkan tentang gagasan
demokrasi dengan mengacu kebiasaan rakyat Jawa untuk pepe (berjemur) di muka keraton bila mereka ingin mengungkapkan persoalan
hidupnya kepada Raja. Ada juga yang mencoba
menjelaskan dari cerita wayang, bahwa Bima atau Werkudara memakai mahkota yang dinamai Gelung Mangkara
Unggul, artinya sanggul (dandanan rambut) yang
tinggi di belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang itu sebenarnya unggul atau tinggi,
artinya: berkuasa.
Berdasarkan
beberapa pengantar di atas, sesungguhnya secara etimologis,
demokrasi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, yang
terdiri atas dua kata, yaitu “ demos” dan
“kratein”. Kata demos memiliki arti rakyat dan cratos memiliki makna pemerintahan. Jika kita hubungkan, maka dapat
dipahami bahwa secara etimologi atau bahasa
demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Selain
dari segi bahasa, pengertian demokrasi juga dikemukakan oleh banyak ahli. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of
Current English (Hornby, 1995) dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah “(1)
country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatives; (2) country with
government which encourages and allows rights
of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law,
majority rule, accompanied by respect for the
rights of minorities. (3) society in which there is treatment of
each other by citizens as equals”. Dari kutipan pengertian tersebut
tampak bahwa kata demokrasi merujuk pada pengertian kehidupan bernegara atau bermasyarakat
di mana warganegara dewasa diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemerintahan
melalui wakilnya yang dipilih. selanjutnya pemerintahan yang dalam hal ini
merupakan wakil rakyat dapat memberikan jaminan kebebasan/ kemerdekaan
berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya
pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan
masyarakat yang warganegaranya saling memberi perlakuan yang sama. Makna
demokrasi di atas sesunggyhnya senada dengan yang disampaikan oleh Abraham
Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi
adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the
government from the people, by the people, and for the people”. Dalam hal ini
“people” yang menjadi pusatnya.
Selanjutnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan
yang memiliki paradigma “otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah
(people) yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi. Sebagai suatu konsep
demokrasi diterima sebagai “...seperangkat gagasan dan prinsip tentang
kebebasan, yang juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk
melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah
pelembagaan dari kebebasan” (USIS,1995).
Selanjutnya, sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995) menyimpulkan
bahwa demokrasi sebagai sistem memiliki sebelas pilar atau soko guru, yakni
“Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah,
Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak Azasi
Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum
yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme Sosial,
Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan
Mufakat.”
Dalam hal lainnya, , Sanusi (2006) mencoba untuk mencoba menidentifikasi
sepuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakni :
1. Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Demokrasi Dengan Kecerdasan,
3. Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat,
4. Demokrasi dengan “Rule of Law”,
5. Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara,
6. Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia,
7. Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka,
8. Demokrasi dengan Otonomi Daerah,
9. Demokrasi Dengan Kemakmuran,
10. Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.”
Bila kita amati, sesungguhnya secara
esensial terdapat persamaan antara sebelas pilar demokrasi universal ala USIS
(1995) dengan 9 dari 10 pilar demokrasi Indonesia ala Sanusi (2006). Namun, ada
satu hal yang membedakan pilar demokrasi universal dengan pilar demokrasi
Indonesia , yaitu adanya pilar demokrasi Indonesiayang menyebutkan bahwa
Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan inilah justru yang menjadi
ciri khas dan dasar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pilar demokrasi
Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa merupakan kunci yang mendasari
pilar - pilar lainnya sebagaimana diambil dalam dasar negara Indonesia sila
pertama. Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa sila pertama Dasar
NegaraIndonesia yaitu Ketuhanan yang Maha Esa melingkupi sila-sila lain di
bawahnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
perbedaannya dengan pilar demokrasi universal lainnya tidak bisa dianggap
sebagai sesuatu yang biasa. Selanjutnya, perbedaan medasar demokrasi Indonesia
dengan demokrasi universal juga dikemukakan oleh Maududi dan kaum muslim
(Esposito dan Voll,1996) disebut “teodemokrasi”, yakni demokrasi dalam konteks kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain demokrasi universal adalah demokrasi yang
bernuansa sekuler, sedangkan demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Tiga Tradisi Pemikiran Politik
Demokrasi
Secara konseptual, Carlos Alberto Torres (1998) mencoba mengemukakan pengertian
demokrasi yang dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical
Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi
pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan,
yakni “...the government of all citizens who enjoy the benefits of
citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan.
Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan
“Roman law” dan konsep “popular souverignty” menempatkan “...a foundation for
the exercise of power, leaving the supreme power in the hands of the people”,
atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan
dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai
“...the most genuinely popular form of government”, atau konsep republik
sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Selanjutnya,, Torres (1998) juga
memberikan pandangan mengenai demokrasi dari dua aspek, yakni “formal
democracy” “substantive democracy” dan “Formal democracy” yang kedua aspek
tersebut menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat
dilihat dari dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara. Dalam
suatu negara demokrasi, suatu negara dapat melaksanakan pemerintahannya dengan menggunakan
system parlementer ataupun presindensial. Seperti kita ambil contoh Negara
Indonesia yang dalam pelaksanaan pemerintahannya menerapkan system pemerintahan
presidensial.
3. Pentingnya Demokrasi sebagai
Sistem Politik Kenegaraan Modern
Sebelum kita berbicara mengenai pentingnya pelaksanaan demokrasi sebagai suatu
system politik kenegaraan modern maka muncul pertanyaan Mengapa demokrasi yang
dipilih sebagai jalan bagi bentuk pemerintahan guna mencapai tujuan bernegara
yakni kesejahteraan? Awalnya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, dimulai
dari sejarah Yunani Kuno. Namun pengertian demokrasi saat itu belumlah seideal
seperti saat ini. Demokrasi saat itu masih sebatas pemberian pemberian
kebebasan berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki dewasa yang hal
tersebut sangat jauh dari pengertian demokrasi yang ideal.
Selanjutnya, Demokrasi di mata para
pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles justru memberikan penilaian
yang berbeda . mereka mengemukakan bahwa demokrasii bukanlah bentuk
pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh
orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu
selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya
negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17. Namun demikian, pada akhir
abad ke-17 lahirlah demokrasi “ modern” yang disemai oleh para pemikir Barat
seperti Thomas Hobbes, Montesqueau, dan J. J. Rousseau, bersamaan dengan
munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Demokrasi mengalami perkembangan yang
makin pesat dan makin diterima di banyak negara terlebih sesudah Perang Dunia
II. Suatu penelitian dari Unesco tahun 1949 menyatakan “ mungkin bahwa untuk
pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling
baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung - pendukungnya yang berpengaruh” (Budiardjo, 2008)
Berdasarkan beberapa pendapat yang
telah dibahas di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak perbedaan
mengenai mengenai pemikiran demokrasi, namun sampai saat ini, sistem demokrasi
khususnya dalam pelaksanaan system pemerintahan tetap diyakini dan diterima
sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir
semua negara modern medeklarasikan dirinya telah melaksanakan sistem demokrasi
dalam pemerintahannya dan sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai
negara
yang “undemocracy”
4. Mengapa kehidupan demokrasi sangat
penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat?
Membahas mengenai demokrasi sangat penting dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat maka jawabannya adalah demokrasilah yang memegang peran penting
dalam masyarakat dan dalam tata aturan suatu negara... dapat dibayangkan
kehidupan masyarakat anpa adanya demokrasi di suatu negara, dan segala
sesuatunya di atur oleh pemerintah, maka hilanglah kesejahteraan masyarakat dan
kacaulah negara tersebut. Demokrasi sangatlah penting dan di perlukan
masyarakat, tidak hanya sekedar pemerintah yang memegang kendali dalam
pengaturan suatu negara, perlu adanya masyarakat yang komplemen, mendukung, dan
masyarakat perlu terlibat dalam pembangunan suatu negara demi terciptanya
kemakmuran dan kesejahteraan negara. Hal tersebut tentu sesuai dengan
pengertian demokrasi secara etimologis, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
takyat, dan untuk rakyat.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami
bahwa dalam pelaksanaan kehidupan berdemokrasi tidak ada keinginan untuk menang
sendiri, saling memaksakan kehendak, menghina, melecehkan, menjatuhakan. Justru
yang diperjuangkan adalah nada saling menghargai, menghormati, mengerti,
menerima pendapat orang lain, lapang dada, tenggang rasa. Dengan demikian
diharapkan mampu mewujudkan kehidupan yang nyaman dan tentram.
Untuk dapat lebih memahami betapa pentingnya
menerapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat melihat berbaga
contoh kasus yang ada di media massa bak cetak maupun elektronik. Banyak
permasalahan dalam masyarakat yang muncul disebabkan oleh kurangnya penerapan
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang hanya mencoba memperjuangkan
aspirasi individu atau kelompoknya sendiri dan mengabaikan aspirasi dari kelompok
lain
B. Menggali Sumber
Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang
Bersumber dari Pancasila
Terdapat
tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam
kalbu Bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme
dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam
yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan
antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik
perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar
perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Berdasarkan ketiga
tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia tetap
mempertahankan jati diri Bangsa Indonesia yang bersumber dari dasar negara
Pancasila, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa, selanjutnya sila keempat yaitu
nilai permusyawaratan dan yang ketiga adalah mengadopsi nilai-nilai yang
bersumber pada pada paham sosialis barat.
1. Sumber Nilai yang Berasal dari
Demokrasi Desa
Istilah demokrasi yang rumuskan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia ketika merdeka.
Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai
oleh raja-raja autokrat. Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu
sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit
politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di
Bali (Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita
akan meminjam dua macam analisis berikut.
Pertama, paham kedaulatan rakyat sesungguhnya
merupakan paham yang bersumber dari sila keempat Dasar Negara Indonesia.
Meskipun paham tersebut bersumber dari sila keempat Pancasila namun, telah
Nampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.
Seperti sejarah yang telah kita ketahui bersama bahwasanya niali-nilai yang
terkandung dalam Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila merupakan jati diri
yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan diraih.
Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja dibatasi
oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal
pada masa itu bahwa Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber- raja pada
Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Dengan demikian, raja sejati
di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur
dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan
ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan
(Malaka, 2005).
Kedua, tradisi demokrasi asli
Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan feodalisme raja-raja
Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi
yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki bersama oleh
masyaraat desa. pemilikan bersama tanah desa ini, hasrat setiap orang untuk
memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong
tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah bersama, yang selanjutnya
merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada hal-hal kepentingan pribadi
seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan sebagainya. Adat hidup seperti
itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan
secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau:
“Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena
pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi musyawarah mufakat ini
kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah pimpinan
kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut berhak
hadir dalam rapat itu.
Karena alasan pemilikan faktor
produksi bersama dan tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh
kekuasaan feodal, namun sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh
subur sebagai adat istiadat. Hal ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan
bahwa demokrasi asli Nusantara itu kuat bertahan, “liat hidupnya”, seperti
terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek
ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan (Hatta, 1992). terdapat
dua anasir lagi yang berasal dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara,
yaitu hak dalam memberikan keberatan bersama terhadap berbagai peraturan raja
yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk meninggalkan daerah kekuasaan
raja jika sang rakyat tidak lagi berkenan untuk tingggal di daerah kekuasaan
raja. Dalam melakukan protes, biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di
alun-alun dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang mengekspresikan
suatu bentuk demonstrasi damai. Tidak sering rakyat yang sabar melakukan itu.
Namun, apabila hal itu dilakukan, pertanda menggambarkan situasi kegentingan
yang memaksa penguasa untuk mempertimbangkan ulang peraturan yang
dikeluarkannya. Adapun hak menyingkir, dapat dianggap sebagai hak seseorang
untuk menentukan nasib sendiri. Kesemua itu menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan
oleh para pendiri bangsa untuk mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia
yang modern, bedasarkan demokrasi desa yang asli itu (Latif, 2011).
Selanjutnya Hatta menjelaska bahwa
kelima anasir demokrasi asli, yaitu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan
protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dianggap sebagai
sesuatu yang baik dalam lingkungan pergerakan nasional dan dijadikan sebagai
pokok yang kuat bagi demokrasi sosial dan dasar pemerintahan Indonesia merdeka
di masa mendatang (Hatta, 1992).
2. Sumber Nilai yang Berasal dari
Islam
Salah satu sumber yang dijadikan pilar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia
adalah demokrasi yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa bukanlah
demokrasi yang sekuler. Salah satu sumber nilai ketuhanan yang terbesar adalah
nilai-nilai Islam karena tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan
kemerdekaan Bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh Islam. Nilai demokratis
yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan
Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam
keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain
Tuhan, bersifat fatamorgana belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan
hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan
jiwa Tauhid (Latif, 2011). Dengan demikian dapat dipahami bahwa membuat peraturan
hidup dengan secara mutlak memberikan kekuasaan penuh kepada para penguasa
dalam hal ini pemerintahan merupakan suatu ketidakadilan dan bertentangan nilai
agama terutama Islam. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Madjid,
1992). Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu
yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis Kelanjutan
logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di
hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak
antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan
itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran
(tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka.
Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia
dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan
pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas
pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk
sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan
meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).
Sejarah nilai-nilai demokratis
sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad
S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madinah, dengan
mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa (nation).
Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan
konsepsi Negara-bangsa “nation-state”, yaitu Negara untuk seluruh umat atau
warganegara, demi maslahat bersama “common good”. Sebagaimana termaktub dalam
Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan
masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda - bedakan
kelompok keagamaan yang ada. Robert N. Bellah menyebutkan bahwa contoh awal
nasionalisme modern mewujud dalam sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah.
Robert N. Bellah mengatakan bahwa sistem yang dibangun Nabi itu adalah “a
better model for modern national community building than might be imagined”
(suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat
dibayangkan). Komunitas ini disebut modern karena adanya keterbukaan bagi
partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para
pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Lebih jauh, Bellah
juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter
partisipatif (egalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda dengan
sistem republik negara-kota Yunani Kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada
kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi lima persen dari penduduk (Latif,
2011).
Pengaruh ajaran Islam mampu membawa
pergeseran nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis berbasis kasta
menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Pergeseran ini terlihat dari
perubahan sikap kejiwaan orang Melayu terhadap para penguasanya.. Sebelum
kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu pantang
membantah”. Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi “Raja adil, raja
disembah; raja zalim, raja disanggah”. Selanjutnya, Nilai-nilai egalitarianisme
Islam ini pula yang memaksa kaum pribumi untuk menolak sistem kasta yang dibawa
oleh kelompok kolonial (Wertheim, 1956).
Senada dengan pendapat yang disampaikan
oleh Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa
pergeseran masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya,
Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan
cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan.
3. Sumber Nilai yang Berasal dari
Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat
pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering
dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota
sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di
Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik.
Model pemerintahan demokratis model
Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kota- kota lain sekitarnya, seperti
Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami kemunduran sejak kejatuhan
Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar di beberapa kota di Italia
sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya
sejak petengahan 1300 M, karena kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan,
pemerintahan demokratis di Eropa digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter
(Dahl, 1992).
Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi
mulai bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M),
setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari peradaban Islam. Tonggak
penting dari era Renaissance yang mendorong kebangkitan kembali demokrasi di
Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak 1517 hingga tercapainya
kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip co-existence dalam
hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi kebangkitan Negara-bangsa (nation-state)
dan tatanan kehidupan politik yang lebih demokratis.
Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya
Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi dari koin peradaban Barat: sisi represi
imperialisme- kapitalisme dan sisi humanisme-demokratis. Penindasan politik dan
penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan kapitalisme, yang tidak jarang
bekerjasama dengan kekuatan- kekuatan feodal bumi putera, menumbuhkan sikap
anti- penindasan, anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan para
perintis kemerdekaan bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap represi politik-
ekonomi kolonial itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan humanisme-demokratis
Eropa (Latif, 2011).
Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis
itu menemukan ruang aktualisasinya dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia
sejak akhir abad ke-19. Ruang publik ini berkembang di sekitar
institusi-institusi pendidikan modern, kapitalisme percetakan, klub-klub sosial
bergaya Eropa, kemunculan bebagai gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo,
Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung pada pendrian partai-partai politik
(sejak 1920-an), dan kehadiran Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.
Sumber inspirasi dari anasir
demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosio- demokrasi Barat, memberikan landasan
persatuan dari keragaman., Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan,
yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya memiliki titik-temu dalam
gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum menolak
individualisme. Selanjutnya perlu dipertanyakan bagaimana praktik demokrasi di
Indonesia sejak dulu sampai sekarang? Apa Indonesia telah menerapkan demokrasi
Pancasila? Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata
pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami praktik demokrasi
yang berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya.
Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah
demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empatmasa, yaitu :
1. Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional
yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai,karena itu dinamakan
Demokrasi Parlementer,
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi
ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil.
4. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan
tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik
politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.
C. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila
1. Kehidupan Demokratis yang
Bagaimana yang Kita Kembangkan?
Demokrasi itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh
bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari
masing-masing negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung
ideologi masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang
universal, juga memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Sebagai demokrasi yang berakar pada
budaya bangsa kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada
landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UUD NRI Tahun 1945.
Berikut ini diketengahkan “Sepuluh
Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk
Negara RI, sebagaimana diletakkan di dalam UUD NRI
Tahun 1945 (Sanusi, 2006).
No. |
PILAR
DEMOKRASI |
MAKSUD
ESENSINYA |
1 |
Demokrasi
berdasarkan Ketuhanan |
Segala hal
mengenai sistem serta |
2 |
Demokrasi dengan
Kecerdasan |
Dalam
pelaksanaan demokrasi menurut |
3 |
Demokrasi yang
Berkedaulatan |
Kunci
pelaksanaan demokrasi adalah |
4 |
Demokrasi dengan
Rule of Law. |
a. Pelaksanaan
kekuasaan negara RI |
5 |
Demokrasi dengan
Pembagian |
Pelaksanaan
demokrasi berdasarkan |
6 |
Demokrasi dengan
Hak Asasi |
Pelaksanaan
demokrasi menurut UUD |
7 |
Demokrasi dengan
Pengadilan yang Merdeka |
Pelaksanaan
demokrasi menurut UUD 1945
menghendaki diberlakukannya |
8 |
Demokrasi dengan
Otonomi Daerah |
Otonomi daerah
merupakan pembatasan |
9 |
Demokrasi dengan
Kemakmuran |
Demokrasi tu
bukan hanya soal |
10 |
Demokrasi yang
Berkeadilan Sosial |
Demokrasi
menurut UUD 1945 |
Kehidupan
demokrasi Paancasila Indonesia jika dilihat dari maksud esesnsinya merupakan
sesuatu yang sangat ideal jika dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun
di lapangan yang terjadi Das Solen dan Das Sein nya berbeda. Dalam kenyataan
sering kali terjadi kesenjangan dan bahkan penyimpangan yang cukup jauh. Hal
ini tentu merupakan hal yang wajar terjadi mengingat Indonesia adalah negara yang
beragam, negara multikultur yang perlu strategi khusus untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut.
Oleh
karena itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut berkaitan dengan analisis
implementasi dari kesepuluh pilar demokrasi itu dalam berbagai bidang kehidupan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan serta ihwal tingkat
keberhasilanya. Adakah kesenjangan antara yang normatif dengan praktiknya?
Hasil analisis tersebut tentunya dapat dijadikan sebagai bahan berpikir awal
untuk mencari solusinya.
2.
Mengapa Kehidupan yang Demokratis Itu Penting ?
Untuk menjawab pertanyaan mengapa kehidupan yang demokratis itu penting maka
perlu dilakukan kajian mendalam akan hal tersebut. Pada dasarnya, kehidupan
demokratis itu penting karena melalui penerapan kehidupan yang demokratis mampu
mencipatkan masyarakat suatu negara yang merasakan keadilan dari berbagai aspek
kehidupan berbagsa dan bernegara. Dalam hal ini, sebuah negara baru bisa
disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut
rakyat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kesempatan
untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, memiliki persamaan di muka hukum, dan
memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang
adil. Mari kita uraikan makna masing-masing.
a.
Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan
Pelaksanaan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara menempatkan bahwa
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan sesuai
aspirasi rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus menjadi pertimbangan dan
pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman
dalam
melaksanakan hidup bernegara. Sebagaimana telah diamanatkan ketika seseorang
diutus untuk menjadi wakil rakyat maka para pembuat kebijakan haruslah
memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang
dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai
contoh ketika masyarakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara
oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota
mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
b.
Persamaan Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat
mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum yang menjadi pembatas atas
kesewewenangan yang dikhawatirkan akan dilakukan oleh
pemerintah. Melalui hukum tersebut rakyat dapat melakukan pembatasan dan
mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban
dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak
boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang
berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak
hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa,
dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.meskipun yang menjadi
kelemahannya adalah produk hukum itu sendiri bersumber besar dari pemerintah.
Idealnya keadilan akan tercipta ketika produk hukum yang dibuat baik dan aparat
penegak hukumnya juga baik.
c.
Distribusi Pendapatan Secara Adil
Dalam pelaksanaan kehidupan negara demokrasi, semua bidang harus dijalankan
secara seimbang atau tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi.
Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak. Pemerintah wajib
memberikan bantuan kepada fakir dan miskin yang berpendapatan rendah. Akhir-
akhir ini Pemerintah menjalankan program pemberian bantuan tunai langsung, hal
tersebut dilakukan dalam upaya membantu langsung para fakir miskin. Pada kesempatan
lain, Pemerintah terus giat membuka lapangan kerja agar masyarakat bisa
memperoleh penghasilan. Dengan program-program tersebut diharapkan terjadi
distribusi pendapatan yang adil di antara warga negara Indonesia.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam
berbagai kehidupan, karena seandainya kehidupan yang demokratis tidak
terlaksana, maka asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan
hak-hak asasi manusia, tidak ada persamaan di depan hukum. Jika demikian, tampaknya
kita akan semakin jauh dari tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Setujukah Anda dengan pernyataan ini ?
3.
Bagaimana Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat
Negara ?
Seorang wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa
tentara sultan mencuri ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar
pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu
menjaga ternakmu dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu
mejawab, “Saya mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur
dengan aman” (Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998).
Kisah
di atas menunjukkan contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu
melindungi rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan
memadai, sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat- syarat tertentu.
Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman
dan bertawa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis.
Berikut
merupakan kisah yang menginspirasi yang dapat menggambarkan bagaimana karakter
seorang pemimpin.
a.
Beriman dan bertaqwa
Dalam suatu kisah, ada seorang Khalifah sedang melakukan perjalanan mengamati
kehidupan rakyatnya ke pelosok-pelosok kampung. Di perjalanan beliau bertemu
dengan seorang anak penggembala kambing
yang sedang menggembalakan kambing- kambingnya di padang rumput yang hijau.
Kalifah mendekati anak itu seraya berkata, “Nak, bolehkah Bapak membeli seekor
kambing gembalaanmu”, ujar Khalifah. Anak itu lalu menjawab, “tidak bisa Pak,
kambing ini bukan milik saya, kambing- kambing ini milik majikan saya”, ujar
anak itu. Sang Khalifah tambah penasaran, lalu beliau menegaskan akan hasratnya
untuk membeli seekor kambing gembalaan anak tersebut. “Nak, kambing gembalaanmu
amat banyak, maka jika hanya
seekor saja kamu jual, majikanmu tidak mungkin mengetahuinya.
Kalaupun
nantinya majikanmu tahu juga ada seekor kambing miliknya yang hilang, maka
katakan saja diterkam serigala”, ujar Khalifah meyakinkan anak itu. Tanpa
diduga sedikit pun oleh Khalifah, anak itu
lantas menjawab, “Pak, sekalipun majikan saya tidak akan mengetahui seekor
kambing miliknya telah saya jual, apakah Allah juga tidak akan mengetahui
perbuatan saya itu?”, jawab anak itu sambil menatap wajah
Khalifah dengan sorot mata yang amat tajam.
Tidak kuasa menahan rasa haru, Sang Khalifah membalikkan badannya membelakangi
anak tersebut sambil mengusap wajahnya yang dibasahi air mata keharuan. Khalifah
amat kagum, seorang anak penggembala, yang oleh kebanyakan orang dianggap hina,
ternyata menunjukkan keimanan yang amat kukuh. Lalu Sang Khalifah
membalikkan badannya dan merangkul anak itu yang masih terkaget-kaget menyaksikan
kejadian tersebut. Baru setelah Khalifah itu memperkenalkan dirinya, anak
gembala itu pun menyadarinya bahwa yang mendekap dirinya itu adalah Sang
Penguasa Negerinya, yakni Khalifah Umar Bin Khatab.
Berdasar
cerita di atas, bagaimana sebaiknya sikap seseorang yang memperoleh kepercayaan
sebagai pemimpin? Sikap terbaik jika memperoleh kepercayaan adalah mensyukurinya,
sebab selain tidak banyak orang yang memperoleh kepercayaan seperti itu, juga
pada hakikatnya merupakan nikmat dari Tuhan. Salah satu cara untuk bersyukur adalah
selalu ingat akan tugas kepemimpinan yang diembannya, yakni memimpin umat
mencapai tujuan dengan ridha Tuhan. Apabila ia beriman dan bertakwa maka
tugas-tugas kepemimpinannya itu akan disyukuri sebagai amanah dan sebagai
kewajiban mulia agar mampu dilaksanakan dengan baik.
b.
Bermoral
Dalam sejarah diceritakan bahwa Sultan Agung, Mataram berhasil menjadikan
dirinya sebagai kerajaan yang mampu menaklukkkan kesombongan Kompeni. Hampir
seluruh tanah Jawa dapat disatukan. Kekuasaannya menjangkau ke Sumatra, yakni
Palembang dan Jambi, serta ke Kalimantan, yakni Banjarmasin. Namun, setelah
Sultan Agung wafat, wibawa Mataram mulai melorot. Tahun 1645 Sultan Agung
meninggal dunia dan dimakamkan di Imogiri, dekat Yogyakarta. Tahun itu juga, putranya,
Pangeran Aria Prabu Adi Mataram, dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sultan
Amangkurat I.
Berbeda
dari sifat ayahnya, Amangkurat I lebih suka hidup berfoya-foya. Kesempatan
sebagai penguasa dimanfaatkan untuk meneguk kemewahan dan kesenangan. Kompeni
Belanda yang dahulu dibenci
ayahandanya, malah dirangkulnya. Kompeni Belanda dengan kekuatan dan
kekayaannya telah memberikan berbagai keindahan dunia berupa minuman keras dan
benda-benda perhiasan yang memabukkan. Untuk mengamankan kekuasaannya,
Amangkurat I menjalin perjanjian dengan Kompeni. Supaya aman ia harus
membungkam orang atau para tokoh yang dianggapnya berbahaya. Adik kandungnya,
Pangeran Alit, dibinasakannya. Iparnya, bupati Madura, Cakraningrat I, juga mengalami
nasib yang sama. Yang lebih mengerikan adalah tindakannya sesudah selirnya yang
tercantik, RatuMalang, meninggal secara mendadak.
Ia menuduh, kematian itu akibat diracun oleh salah seorang atau beberapa selir
saingannya. Maka sebanyak 43 orang selir yang berusia masih muda-muda
dibinasakan hanya dalam waktu sehari saja. Dan, atas tuduhan yang tidak
berdasar, segenap keluarga Pangeran Pekik, nenek Adipati Anom, anaknya, juga dibinasakan
sampai tidak tersisa. Tentu saja keresahan mulai merebak. Ketidakpuasan berkembang
subur. Suara- suara ketidakdilan makin bermunculan. Menurut para penasihat
raja, suasana seperti itu akan berbahaya jika dibiarkan merebak.
Maka
harus dicari penyelesaiannya yang cepat dan tuntas. Dibisikkan kepada
Amangkurat I, para ulamalah yang bertanggung jawab atas semua ketidaktenangan
itu. Merekalah yang paling gigih meneriakkan tuntutan
kebenaran dan kejujuran. Jadi, para ulama yang dinilai sangat keras hati perlu
dibinasakan. Terjadilah kemudian malapetaka itu. Sebanyak 6.000 orang ulama tidak
berdosa dikumpulkan di lapangan, dan dibantai hanya dalam tempo satu jam.
Dengan demikian, Amangkurat I merasa bebas merdeka untuk berjabat tangan dan
berpelukan mesra dengan Kompeni Belanda. Tidak ada lagi yang berani menegur
atau menasihatinya.
Namun, tidak semua bangsawan menyetujui tindakan sewenang-wenang itu. Masih
banyak kaum ningrat yang menyatu dengan rakyat.
Tekad
pun menyatu. Tekad rakyat, tekad para menak, tekad para penegak keadilan, semua
menyatu, menjadi semangat perlawanan terhadap kezaliman dan
kesewenang-wenangan. Bangkitlah seorang pemuda dari lingkungan istana
Cakraningrat I. Ia bernama Trunojoyo, cucu Prabu Cakraningrat I dari Madura.
Dengan
semangat memperjuangkan kebenaran dan melawan kelaliman, Trunojoyo mengobarkan
pemberontakan, dibantu oleh Karaeng Galesong dari Makasar. Trunojoyo beserta
pasukannya berjaya memasuki Mataram.
Amangkurat I melarikan diri menyusuri pantai Jawa, akhirnya meninggal dunia di
Tegal Arum dalam keadaan nista dan sengsara. (Dikutip dari: 30 Kisah Teladan,
1991). Dari kisah tersebut di atas apakah Anda berpendapat bahwa Amangkurat I
merupakan seorang pemimpin yang baik ? Apakah memiliki kualitas moral yang
baik? Bagaimana jika seorang pemimpin, kualitas moralnya buruk? Apa yang akan
terjadi? Mari kita perhatikan pengertian moral yang kita maksudkan. Moral adalah
ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya. Istilah lain untuk moral adalah akhlak, budi
pekerti, susila. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk. Pemimpin
yang bermoral berarti pemimpin yang berakhlak baik. Bagi kita yang terpenting
adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa para pemimpin
yang lalim dan tidak bermoral itu. Sejarah mencatat semua pemimpin yang zalim
dan tidak bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri
di akhir hayatnya memperoleh kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya
meninggal di tempat pelarian dengan amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang
amat “tiran” dari Prancis, mati di- gouletin (pisau pemotong hewan) oleh massa,
Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum racun. Oleh
karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang pemimpin
yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan berbudi
pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain bagi
seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.
(Materi 10)
Dinamika historis konstitusional,
sosial politik, kultural, serta kontek kontemporer penegakan hukum yang
berkeadilan.
Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang
semua penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan serta kemasyarakatannya berdasarkan
atas hukum, bukan didasarkan atas kekuasaan belaka. Anda sebagai calon sarjana
atau profesional yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang terdidik
dan warga negara yang baik perlu mengerti tentang hukum.
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Penegakan
Hukum yang Berkeadilan
Pernahkah Anda berpikir, seandainya di sebuah
masyarakat atau negara tidak ada hukum? Jawaban Anda tentunya akan beragam.
Mungkin ada yang menyatakan kehidupan masyarakat menjadi kacau, tidak aman, banyak
tindakan kriminal, dan kondisi lain yang menunjukkan tidak tertib dan tidak
teratur. Namun, mungkin juga ada di antara Anda yang menyatakan, tidak adanya
hukum di masyarakat atau negara aman-aman saja, tidak ada masalah. Bagaimana
pendapat Anda? Setujukah Anda dengan pendapat pertama atau yang kedua?
Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam bukunya Leviathan
pernah mengatakan “Homo homini lupus”, artinya manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya. Manusia memiliki keinginan dan nafsu yang
berbeda-beda antara manusia yang satu dan yang lainnya. Nafsu yang dimiliki
manusia ada yang baik, ada nafsu yang tidak baik. Inilah salah satu argumen
mengapa aturan hukum diperlukan. Kondisi yang kedua tampaknya bukan hal yang
tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan aturan hukum. Namun, Cicero
(106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas ibi ius”, artinya
di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Dengan kata lain, sampai saat ini
hukum masih diperlukan bahkan kedudukannya semakin penting.
Upaya penegakan hukum di suatu negara, sangat erat
kaitannya dengan tujuan negara. Anda disarankan untuk mengkaji teori tujuan
negara dalam buku “Ilmu Negara Umum”. Menurut Kranenburg dan Tk.B.
Sabaroedin (1975) kehidupan manusia tidak cukup hidup dengan aman, teratur dan
tertib, manusia perlu sejahtera. Apabila tujuan negara hanya menjaga ketertiban
maka tujuan negara itu terlalu sempit. Tujuan negara yang lebih luas adalah
agar setiap manusia terjamin kesejahteraannya di samping keamanannya.
Dengan kata lain, negara yang memiliki kewenangan mengatur
masyarakat, perlu ikut menyejahterakan masyarakat. Teori Kranenburg tentang
negara hukum ini dikenal luas dengan nama teori negara kesejahteraan. Teori
negara hukum dari Kranenburg ini banyak dianut oleh negara-negara modern.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
negara hukum. Artinya negara yang bukan didasarkan pada kekuasaan belaka melainkan
negara yang berdasarkan atas hukum, artinya semua persoalan kemasyarakatan,
kewarganegaraan, pemerintahan atau kenegaraan harus didasarkan atas hukum. Teori
tentang tujuan negara dari Kranenburg ini mendapat sambutan dari negara-negara
pada umumnya termasuk Indonesia.
Tujuan Negara RI dapat kita temukan pada Pembukaan UUD
1945 yakni pada alinea ke-4 sebagai berikut:
... untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial....
Dari bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 ini
dapat diidentifikasi bahwa tujuan Negara Republik Indonesia pun memiliki
indikator yang sama sebagaimana yang dinyatakan Kranenburg, yakni:
1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia
2) memajukan kesejahteraan umum
3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bagaimana tujuan negara ini dilaksanakan atau
ditegakkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Perlindungan terhadap warga negara serta menjaga
ketertiban masyarakat telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Anda dianjurkan untuk mengkaji Bab IX,
Pasal 24, 24 A, 24 B, 24 C, dan 25 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk mengatur
lebih lanjut tentang kekuasaan kehakiman, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UUD NRI 1945 Pasal 24
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.***)
2. Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.***)
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****)
Dalam pertimbangannya, UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bagaimana
lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan?
Negara kita telah memiliki lembaga peradilan yang
diatur dalam UUD NRI 1945 ialah Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan
Mahkamah Konstitusi (MK). Selain lembaga negara tersebut, dalam UUD NRI 1945 diatur
pula ada badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. Tentang MA, KY, dan
MK ini lebih lanjut diatur dalam UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Anda perhatikan apa yang dimaksud dengan ketiga lembaga peradilan tersebut.
UU No. 48/2009 Pasal 1 ayat (2), (3), (4)
(2) Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(4) Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila mengacu pada bunyi pasal 24, maka lembaga
negara MA, KY, MK memiliki kewenangan dalam kekuasaan kehakiman atau sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman. Dikemukakan dalam pasal 24 UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian, tiga lembaga negara yang memiliki
kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Bagaimana badan-badan peradilan lainnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan?
Dalam teori tujuan negara, pada umumnya, ada empat
fungsi negara yang dianut oleh negara -negara di dunia: (1) melaksanakan
penertiban dan keamanan; (2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya; (3) pertahanan; dan (4) menegakkan keadilan.
Pelaksanaan fungsi keempat, yakni menegakkan keadilan,
fungsi negara dalam bidang peradilan dimaksudkan untuk mewujudkan adanya
kepastian hukum. Fungsi ini dilaksanakan dengan berlandaskan pada hukum dan melalui
badan-badan peradilan yang didirikan sebagai tempat mencari keadilan. Bagi
Indonesia dalam rangka menegakkan keadilan telah ada sejumlah peraturan
perundangan yang mengatur tentang lembaga pengadilan dan badan peradilan.
Peraturan perundangan dalam bidang hukum pidana, kita memiliki Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Dalam bidang peradilan, kita memiliki Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain itu, ada juga peradilan yang sifatnya ad hoc, misalnya peradilan
tindak pidana korupsi (Tipikor).
Berikut ini disajikan sejumlah sumber rujukan untuk
mempelajari hukum dan penegakan hukum, antara lain:
1. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. (1982).
Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
2. Kranenburg. (1975). Ilmu Negara Umum. Jakarta:
Pradnya Paramita.
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Amandemen).
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
B. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan
Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV, terdapat enam
agenda reformasi, satu di antaranya adalah penegakan hukum. Dari sebanyak
tuntutan masyarakat, beberapa sudah mulai terlihat perubahan ke arah yang
positif, namun beberapa hal masih tersisa. Mengenai penegakan hukum ini, hampir
setiap hari, media massa baik elektronik maupun cetak menayangkan masalah
pelanggaran hukum baik terkait dengan masalah penegakan hukum yang belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat maupun masalah pelanggaran HAM dan KKN.
Pada Bab I, telah diungkapkan sejumlah permasalahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa di antaranya yang terkait
dengan masalah penegakan hukum adalah:
Perilaku warga negara khususnya oknum aparatur
negara banyak yang belum baik dan terpuji (seperti masih ada praktik KKN,
praktik suap, perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji);
Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial
(seperti SARA, tawuran, pelanggaran HAM, etnosentris, dan lan-lain);
Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum
yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas;
Penegakan hukum yang lemah karena hukum bagaikan
pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan
Pelanggaran oleh Wajib Pajak atas penegakan hukum
dalam bidang perpajakan.
Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut tentu
menimbulkan pertanyaan dalam pikiran kita. Oleh karena itu, Anda dapat
mempertanyakan secara kritis terhadap masalah-masalah tersebut.
Berikut ini adalah contoh pertanyaan yang dapat
diajukan:
(1) Mengapa banyak oknum aparatur negara yang belum
baik dan terpuji? Siapa aparat penegak hukum atau badan peradilan yang ada di Indonesia?
Mereka masih melakukan praktik KKN yang merugikan keuangan negara yang
dikumpulkan dari uang rakyat melalui pajak, praktik suap, perilaku premanisme,
dan perilaku lain yang tidak terpuji. Padahal, ketika bangsa Indonesia memasuki
era reformasi masalah masalah tersebut telah menjadi perhatian dan target
bersama untuk diberantas atau dihilangkan;
(2) Mengapa masih terjadi konflik dan kekerasan sosial
yang bernuansa SARA, bahkan mereka tawuran dengan merusak aset negara yang dibiayai
dari pajak, melanggar HAM, bersikap etnosentris padahal bangsa Indonesia
terkenal sebagai bangsa yang ramah, santun, dan toleran? Siapa saja yang
bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;
(3) Mengapa setelah Indonesia merdeka lebih dari
setengah abad masih marak terjadi kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum
yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas? Siapa yang bertanggung jawab
untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;
(4) Mengapa penegakan hukum di Indonesia dianggap
lemah sehingga muncul sebutan “bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul
ke atas? Masalah yang keempat ini merupakan masalah klasik, artinya masalah ini
sudah lama terjadi dalam praktik, tetapi sampai saat ini masih tetap belum
dapat terselesaikan. Siapa yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum di
Indonesia?;
(5) Mengapa masih saja terdapat warga negara yang
tidak patuh akan kewajibannya sebagai Wajib Pajak? Sebagaimana kita tahu bahwa
pajak adalah tulang punggung penerimaan negara, akan tetapi masih saja terdapat
kasus di mana Wajib Pajak berusaha melakukan penghindaran pajak maupun rekayasa
perpajakan yang bersifat melanggar hukum sebagaimana yang dilakukan PT. Asian
Agri pada Tahun 2002-2005.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis,
Politis tentang Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Indonesia
Setelah Anda mempertanyakan terhadap masalah penegakan
hukum, selanjutnya kita akan menggali sejumlah sumber tentang penegakan hukum
di Indonesia yang meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Dengan
menggali sumber-sumber masalah penegakan hukum diharapkan Anda akan dapat
menjawab pertanyaan di atas seperti “Siapakah atau apakah lembaga atau badan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut Anda diharapkan
telah mengerti bahwa upaya penegakan hukum dan keadilan sangat terkait erat
dengan tujuan negara. Anda diharapkan telah mengenal dan memahami bahwa salah
satu tujuan negara RI adalah “melindungi warga negara atau menjaga ketertiban”
selain berupaya mensejahterakan masyarakat. Dalam tujuan negara sebagaimana
dinyatakan di atas, secara eksplisit dinyatakan bahwa “negara melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan
ketertiban dunia”
Agar negara dapat melaksanakan tugas dalam bidang
ketertiban dan perlindungan warga negara, maka disusunlah peraturan-peraturan
yang disebut peraturan hukum. Peraturan hukum mengatur hubungan antara manusia
yang satu dengan manusia lainnya, di samping mengatur hubungan manusia atau
warga negara dengan negara, serta mengatur organ-organ negara dalam menjalankan
pemerintahan negara.
Ada dua pembagian besar hukum. Pertama, hukum privat
ialah hukum yang mengatur hubungan antarmanusia (individu) yang menyangkut "kepentingan
pribadi" (misalnya masalah jual beli, sewa-menyewa, pembagian waris).
Kedua, hukum publik ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan organ
negara atau hubungan negara dengan perseorangan yang menyangkut kepentingan
umum. Misalnya, masalah perampokan, pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan
kriminal lainnya. Peraturan-peraturan hukum, baik yang bersifat publik
menyangkut kepentingan umum maupun yang bersifat privat menyangkut kepentingan pribadi,
harus dilaksanakan dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Apabila segala tindakan pemerintah atau aparatur
berwajib menjalankan tugas sesuai dengan hukum atau dilandasi oleh hukum yang
berlaku, maka negara tersebut disebut negara hukum. Jadi, negara hukum adalah
negara yang setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan atas
hukum yang berlaku di negara tersebut. Hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan
dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, maka hukum
harus dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen. Apa yang tertera dalam peraturan
hukum seyogianya dapat terwujud dalam pelaksanaannya di masyarakat. Dalam hal
ini, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh
perlindungan akan hak-haknya. Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat Jerman
(dalam Sudikno Mertokusumo, 1986:130), menyatakan bahwa untuk menegakkan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:
(1) Gerechtigheit, atau unsur keadilan;
(2) Zeckmaessigkeit, atau unsur kemanfaatan;
dan
(3) Sicherheit, atau unsur kepastian.
1) Keadilan
Keadilan merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam
menegakkan hukum. Artinya bahwa dalam pelaksanaan hukum para aparat penegak hukum
harus bersikap adil. Pelaksanaan hukum yang tidak adil akan mengakibatkan
keresahan masyarakat, sehingga wibawa hukum dan aparatnya akan luntur di
masyarakat. Apabila masyarakat tidak peduli terhadap hukum, maka ketertiban dan
ketentraman masyarakat akan terancam yang pada akhirnya akan mengganggu
stabilitas nasional.
2) Kemanfaatan
Selain unsur keadilan, para aparatur penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan agar proses penegakan hukum
dan pengambilan keputusan memiliki manfaat bagi masyarakat. Hukum harus bermanfaat
bagi manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan
bagi manusia.
3) Kepastian hukum
Unsur ketiga dari penegakan hukum adalah kepastian
hukum, artinya penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hukum
terhadap tindakan sewenang-wenang. Adanya kepastian hukum memungkinkan seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan. Misalnya,
seseorang yang melanggar hukum akan dituntut
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu melalui proses pengadilan, dan apabila
terbukti bersalah akan dihukum. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum sangat
penting. Orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat bila tanpa kepastian
hukum sehingga akhirnya akan timbul keresahan.
Dalam rangka menegakkan hukum, aparatur penegak hukum
harus menunaikan tugas sesuai dengan tuntutannya yang ada dalam hukum material
dan hukum formal. Pertama, hukum material adalah hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan
yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan. Contohnya: untuk Hukum
Pidana terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP), untuk Hukum
Perdata terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER).
Dalam hukum material telah ditentukan aturan atau
ketentuan hukuman bagi orang yang melakukan
tindakan hukum. Dalam hukum material juga dimuat
tentang jenis-jenis hukuman dan ancaman hukuman terhadap tindakan melawan
hukum. Kedua, hukum formal atau disebut juga hukum acara yaitu peraturan hukum
yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan
hukum material. Contohnya: hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum acara Perdata. Melalui hukum
acara inilah hukum material dapat dijalankan
atau dimanfaatkan. Tanpa adanya hukum acara, maka hukum material tidak dapat
berfungsi.
Para aparatur penegak hukum dapat memproses siapa pun
yang melakukan perbuatan melawan hukum melalui proses pengadilan serta memberi
putusan (vonis). Dengan kata lain, hukum acara berfungsi untuk memproses dan
menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui
suatu proses pengadilan dengan berpedoman pada peraturan hukum acara. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum acara berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan
hukum material. Hukum acara hanya digunakan dalam keadaan tertentu yaitu dalam
hal hukum material atau kewenangan yang oleh hukum material diberikan kepada
yang berhak dan perlu dipertahankan.
Agar masyarakat patuh dan menghormati hukum, maka
aparat hukum harus menegakkan hukum dengan jujur tanpa pilih kasih dan demi
Keadilan Berdasarkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, aparat penegak hukum
hendaknya memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum secara intensif dan persuasif
sehingga kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum semakin
meningkat. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila
dan UUD NRI 1945, bukan hanya diperlukan pembaharuan materi hukum, tetapi yang
lebih penting adalah pembinaan aparatur hukumnya sebagai pelaksana dan penegak
hukum. Di negara Indonesia, pemerintah bukan hanya harus tunduk dan menjalankan
hukum, tetapi juga harus aktif memberikan penyuluhan hukum kepada segenap
masyarakat, agar masyarakat semakin sadar hukum. Dengan cara demikian, akan
terbentuk perilaku warga negara yang menjunjung tinggi hukum serta taat pada hukum.
1. Lembaga Penegak hukum
Untuk menjalankan hukum sebagaimana mestinya, maka
dibentuk beberapa lembaga aparat penegak hukum, yaitu antara lain: Kepolisian yang
berfungsi utama sebagai lembaga penyidik; Kejaksaan yang fungsi utamanya
sebagai lembaga penuntut; Kehakiman yang berfungsi sebagai
lembaga pemutus/pengadilan; dan lembaga Penasehat atau
memberi bantuan hukum.
a. Kepolisian
Kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum yang
terutama bertugas memelihara keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Dalam kaitannya
dengan hukum, khususnya Hukum Acara Pidana, Kepolisian negara bertindak sebagai
penyelidik dan penyidik. Menurut Pasal 4 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara RI.
Penyelidik mempunyai wewenang:
1) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak Pidana;
2) mencari keterangan dan barang bukti;
3) menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
4) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan
tindakan berupa:
a) penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
b) pemeriksaan dan penyitaan surat;
c) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d) membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Setelah itu, penyelidik berwewenang membuat dan
menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan tersebut di atas kepada penyidik.
Selain selaku penyelidik, polisi bertindak pula sebagai penyidik. Menurut Pasal
6 UU No.8/1981 yang bertindak sebagai penyidik yaitu:
1) pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidik, karena kewajibannya mempunyai wewenang
sebagai berikut:
1) menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak Pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian;
3) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
4) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
8) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9) mengadakan penghentian penyidikan;
10) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. Kejaksaan
Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 dinyatakan bahwa “Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Jadi, Kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Sedangkan yang dimaksud penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang Pengadilan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Jaksa (penuntut
umum) berwewenang antara lain untuk: a) menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan; b) membuat surat dakwaan; c) melimpahkan perkara ke Pengadilan
Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku; d) menuntut pelaku perbuatan
melanggar hukum (tersangka) dengan hukuman tertentu; e) melaksanakan penetapan
hakim, dan lain-lain. Yang dimaksud penetapan hakim adalah hal-hal yang telah ditetapkan
baik oleh hakim tunggal maupun tidak tunggal (majelis hakim) dalam suatu
putusan pengadilan. Putusan tersebut dapat berbentuk penjatuhan pidana,
pembebasan dari segala tuntutan, atau pembebasan bersyarat.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan atau penegakan
hukum, Kejaksaan berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan. Berdasarkan Pasal 4 UU No. 16 tahun 2004 tentang
"Kejaksaan Republik Indonesia" pelaksanaan kekuasaan negara di bidang
penuntutan tersebut diselenggarakan oleh:
1) Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara
Republik Indonesia.
2) Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
3) Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
Tugas dan wewenang Kejaksaan bukan hanya dalam bidang
Pidana, tetapi juga di bidang Perdata dan Tata usaha negara, di bidang
ketertiban dan kepentingan umum, serta dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Dalam Pasal 30 UU No. 16 tahun
2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia" dinyatakan bahwa di bidang
pidana,
kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
(a) Melakukan penuntutan;
(b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
(c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
(d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
(e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan
dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman
umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
(a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
(b) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
(c) Pengawasan peredaran barang cetakan;
(d) Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
(e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
(f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
c. Kehakiman
Kehakiman merupakan suatu lembaga yang diberi
kekuasaan untuk mengadili. Adapun Hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Menurut Pasal 1 UU Nomor 8
tahun1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan serta
kebenaran, hakim diberi kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan. Artinya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain
dalam memutuskan perkara. Apabila hakim mendapat pengaruh dari pihak lain dalam
memutuskan perkara, maka cenderung keputusan hakim itu tidak adil, yang pada
akhirnya akan meresahkan masyarakat dan wibawa hukum dan hakim akan pudar.
2. Lembaga Peradilan
Penyelesaian perbuatan-perbuatan yang melawan hukum
dapat dilakukan dalam berbagai badan peradilan sesuai dengan masalah dan
pelakunya. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing
mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan
peradilan secara bertingkat. Peradilan militer, peradilan Agama, dan peradilan
Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengadili golongan/kelompok rakyat tertentu. Sedangkan peradilan
umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara Perdata
maupun perkara Pidana.
a. Peradilan Agama
Peradilan agama terbaru diatur dalam Undang-Undang
nomor 50 tahun 2009 sebagai perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989. Berdasar
undang-undang tersebut, Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; c) wakaf dan shadaqah.
b. Peradilan Militer
Wewenang Peradilan Militer menurut Undang-Undang
Darurat No. 16/1950 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer adalah memeriksa dan memutuskan perkara Pidana
terhadap kejahatan atau pelanggaran yang diakukan oleh:
1) seorang yang pada waktu itu adalah anggota Angkatan
Perang RI;
2) seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh
Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan Angkatan Perang RI;
3) seorang yang pada waktu itu ialah anggota suatu
golongan yang dipersamakan atau dianggap sebagai Angkatan Perang RI oleh atau berdasarkan
Undang-Undang;
4) orang yang tidak termasuk golongan tersebut di atas
(1,2,3) tetapi atas Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
peradilan Militer.
c. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara diatur Undang-Undang Nomor
5 tahun 1986 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 9 tahun 2004. Dalam pasal 1
ayat 1 disebutkan bahwa Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah. Peradilan Tata Usaha Negara bertugas untuk mengadili perkara atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai tata usaha negara. Dalam
peradilan Tata Usaha Negara ini yang menjadi tergugat bukan orang atau pribadi,
tetapi badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya. Sedangkan
pihak penggugat dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum perdata.
d. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Rakyat (pada
umumnya) apabila melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan yang menurut
peraturan dapat dihukum, akan diadili dalam lingkungan Peradilan Umum. Untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang termasuk wewenang Peradilan umum, digunakan beberapa
tingkat atau badan pengadilan yaitu:
1) Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri dikenal pula dengan istilah
pengadilan tingkat pertama yang wewenangnya meliputi satu daerah Tingkat II.
Misalnya: Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Pengadilan
Negeri Bogor, dan sebagainya. Dikatakan pengadilan tingkat pertama karena
pengadilan negeri merupakan badan pengadilan yang pertama (permulaan) dalam menyelesaikan
perkara-perkara hukum. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap perkara hukum
harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pengadilan negeri sebelum menempuh pengadilan
tingkat Banding. Untuk memperlancar proses pengadilan, di pengadilan negeri
terdapat beberapa unsur yaitu: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, sekretaris,
dan juru sita. Adapun Fungsi Pengadilan Negeri adalah memeriksa dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan
perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk.
2) Pengadilan Tinggi
Putusan hakim Pengadilan Negeri yang dianggap oleh
salah satu pihak belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran dapat diajukan
Banding. Proses Banding tersebut ditangani oleh Pengadilan Tinggi yang berkedudukan
di setiap ibukota Provinsi. Dengan demikian, pengadilan Tinggi adalah
pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua (tingkat banding)
suatu perkara perdata atau perkara Pidana, yang telah diadili/diputuskan oleh
pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi hanya memeriksa atas dasar pemeriksaan berkas
perkara saja, kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung
mendengarkan para pihak yang berperkara.
Daerah hukum pengadilan tinggi pada asasnya adalah
meliputi satu daerah tingkat I. Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1986, tugas
dan wewenang Pengadilan Tinggi adalah:
a) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
Pidana dan Perdata di tingkat banding;
b) mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi mempunyai susunan sebagai berikut:
Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Sedangkan pembentukan
Pengadilan Tinggi dilakukan melalui Undang-Undang.
3) Pengadilan Tingkat Kasasi
Apabila putusan hakim Pengadilan Tinggi dianggap belum
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran oleh salah satu pihak, maka pihak yang bersangkutan
dapat meminta kasasi kepada Mahkamah Agung. Pengadilan tingkat Kasasi dikenal
pula dengan sebutan pengadilan Mahkamah Agung. Di negara kita, Mahkamah Agung merupakan
Badan Pengadilan yang tertinggi, dengan berkedudukan di Ibu kota negara RI.
Oleh karena itu, daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.
Pemeriksaan tingkat kasasi hanya dapat diajukan jika
permohonan terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-Undang. Sedangkan permohonan kasasi itu sendiri hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali.
Kewajiban pengadilan Mahkamah Agung terutama adalah
melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala pengadilan lainnya
di seluruh Indonesia, dan menjaga agar hukum dilaksanakan dan ditegakkan dengan
sepatutnya. Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa Kekuasaan
kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***)
Untuk mengatur lebih lanjut pasal tentang kekuasaan
kehakiman, sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitannya dengan masalah pengadilan, dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan:
a) permohonan kasasi;
b) sengketa tentang kewenangan mengadili;
c) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim
berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan. Oleh
karena itu, hakim atau pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang diajukan dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Untuk
itu, hakim diperbolehkan untuk menemukan atau membentuk hukum melalui penafsiran
hukum dengan tetap memperhatikan perasaan keadilan dan kebenaran.
4) Penasehat Hukum
Penasehat hukum merupakan istilah yang ditujukan
kepada pihak atau orang yang memberikan bantuan hukum. Yang dimaksud Penasehat hukum
menurut KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang hukum. Diperbolehkannya
menggunakan penasehat hukum bagi tertuduh/terdakwa merupakan realisasi dari
salah satu asas yang berlaku dalam Hakum Acara Pidana, yang menyatakan bahwa
"Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan untuk
mendapatkan bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan
kepentingan
pembelaan atas dirinya.
Persoalan yang dihadapi sekarang adalah sejak kapan
seorang tertuduh/terdakwa mendapat bantuan hukum? Berdasarkan Pasal 69 KUHAP
ditegaskan bahwa "Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang". Penasehat hukum tersebut berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu
untuk kepentingan pembelaan perkaranya. Hak lain yang dimiliki penasehat hukum
sehubungan dengan pembelaan terhadap kliennya (tersangka) adalah mengirim dan
menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
Dalam melaksanakan bantuan hukum, ada beberapa prinsip
yang harus diperhatikan oleh semua pihak, yaitu:
a) penegak hukum yang memeriksa tersangka/terdakwa
wajib memberi kesempatan kepada terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum;
b) bantuan hukum tersebut merupakan usaha untuk
membela diri;
c) tersangka/terdakwa berhak dan bebas untuk memilih
sendiri penasehat hukumnya.
Penasehat hukum ada yang berdiri sendiri dan ada pula yang
berhimpun dalam organisasi seperti: Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan sebagainya.
D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan
Tantangan Penegakan Hukum yang Berkeadilan Indonesia.
Setelah Anda menelusuri sejumlah peraturan perundangan
tentang lembaga negara dan badan lain yang terkait dengan penegakan hukum di Indonesia,
apakah tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini? Dapatkah Anda
mengemukakan contoh dinamika kehidupan yang sekaligus menjadi tantangan terkait
dengan masalah penegakan hukum di Indonesia? Coba Anda perhatikan sejumlah kasus
dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti yang pernah kita lihat pada
subbab di atas sebagai berikut.
Masih banyak perilaku warga negara khususnya oknum
aparatur negara yang belum baik dan terpuji, terbukti masih ada praktik KKN,
praktik suap, perilaku premanisme, dan perlaku lain yang tidak terpuji.
Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial yang
bermuatan SARA, tawuran, pelanggaran HAM, dan sikap etnosentris.
Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum
yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas.
Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai subyek
hukum baik yang bersifat perorangan maupun kelompok masyarakat yang belum baik
dan terpuji atau melakukan pelanggaran hukum menunjukkan bahwa hukum masih
perlu ditegakkan. Persoalannya, penegakan hukum di Indonesia dipandang masih
lemah. Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum.
Rasa keadilan masyarakat pun belum sesuai dengan harapan. Sebagian masyarakat
bahkan merasakan bahwa aparat penegak hukum sering memberlakukan hukum bagaikan
pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Apabila hal ini terjadi secara
terus menerus bahkan telah menjadi suatu yang dibenarkan atau kebiasaan maka
tidak menutup kemungkinan akan terjadi revolusi hukum. Oleh karena itu, tantangan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah menghadapi persoalan
penegakan hukum di tengah maraknya pelanggaran hukum di segala strata kehidupan
masyarakat. Di era globalisasi yang penuh dengan iklim materialisme, banyak
tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Mereka harus memiliki sikap baja,
akhlak mulia, dan karakter yang kuat dalam menjalankan tugas.
Dalam hal ini, aparatur penegak hukum harus kuat dan
siap menghadapi berbagai cobaan, ujian, godaan yang dapat berakibat jatuhnya
wibawa sebagai penegak hukum. Penegak hukum harus tahan terhadap upaya oknum
masyarakat atau pejabat lain yang akan mencoba menyuap, misalnya. Selain itu,
Pemerintah perlu melakukan upaya preventif dalam mendidik warga negara termasuk
melakukan pembinaan kepada semua aparatur negara secara terus menerus. Apabila
hal ini telah dilakukan, maka ketika ada warga negara yang mencoba melakukan
pelanggaran hukum pihak aparatur penegak hukum harus bekerja secara profesional
dan berkomitmen menegakkan hukum.
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi
Penegakan Hukum yang Berkeadilan Indonesia
Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi
seandainya di sebuah bangsa tidak ada peraturan hukum? Atau mungkin peraturan
hukum sudah ada, namun apa yang akan terjadi apabila di negara-bangsa tersebut
tidak ada upaya penegakan hukum? Benarkah penegakan hukum itu penting dan diperlukan?
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa sudah sejak lama Cicero
menyatakan Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat, di sana ada
hukum. Bahkan, apabila kita kaji kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, Anda pasti akan menemukan betapa banyak aturanaturan yang dinyatakan
dalam setiap ayat kitab suci tersebut. Namun, tampaknya ada peraturan hukum
saja tidak cukup. Tahap yang lebih Bagaimana pendapat Anda setelah menyimak
kasus di atas? Setujukah Anda dengan tindakan pihak pengadilan terhadap
perbuatan siswa SMK? Bagaimana dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak? Apakah perbuatan siswa SMK dapat dibenarkan dalam sistem
hukum di Indonesia?
Dari fakta tersebut sangat jelas bahwa keberadaan
hukum dan upaya penegakannya sangat penting. Ketiadaan penegakan hukum,
terlebih tidak adanya aturan hukum akan mengakibatkan kehidupan masyarakat
“kacau” (chaos). Negara-Bangsa Indonesia sebagai negara modern dan
menganut
sistem demokrasi konstitusional, telah memiliki
sejumlah peraturan perundangan, lembaga-lembaga hukum, badan-badan lainnya, dan
aparatur penegak hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan secara terus
menerus.
Penting adalah penegakan dan kepastian hukum. Penegakan
hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan hukum demi terciptanya ketertiban
dan keadilan masyarakat. Apa yang tertera dalam peraturan hukum (pasal-pasal
hukum material) seyogianya dapat terwujud dalam proses pelaksanaan/penegakan hukum
di masyarakat. Dengan kata lain, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga
masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak dan kewajibannya.
(Materi 11-12)
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi dan
pandangan kolektif kebangsaan Indonesia dalam konteks pergaulan dunia
Wawasan
nusantara merupakan wawasan nasional (national outlook) bangsa Indonesia yang
selanjutnya dapat disingkatwasantara. Wawasan nasional merupakan cara pandang
bangsa terhadap diri dan lingkungan tempat hidup bangsa yang bersangkutan. Cara
bangsa memandang diri dan lingkungannya tersebut sangat mempengaruhi
keberlangsungan dan keberhasilan bangsa itu menuju tujuannya. Bagi bangsa
Indonesia,wawasan nusantara telah menjadi cara pandang sekaligus konsepsi
berbangsa dan bernegara. Ia menjadi landasan visional bangsa Indonesia.
Konsepsi wawasan nusantara , sejak dicetusakan melalui deklarasi djuanda tahun
1957 sampai sekarangmengalami dinamika yang terus tubuh dalam praktek kebidupan
bangsa.
A. Konsep dan Urgensi Wawasan Nusantara
Sebelumnya
dikatakan bahwa wawasan nusantara merupakan wawasan nasional bangsa Indonesia.
Namun, demikian timbul pertanyaan apa arti wawasan nusantara dan apa pentingnya
kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawasan Nusantara bisa kita bedakan dalam
dua pengertian, yakni pengertian etimologis dan pengertian terminologi. Secara
etimologi, kata wawasan nusantara berasal dari dua kata wawasan dan nusantara.
Wawasan dari kata wawas (bahasa jawa) yang artinya pandangan.sementara kata
“nusantara” merupakan gabungan kata nusa
yang artinya pulau atau kepulauan. sedangkan dalam bahasa latin kata
lusa berasal dari katanaesos yang dapat berarti semenanjung, bahkan suatu
bangsa.
Kata
kedua yaitu “antara” memiliki padanan dalam bahasa latin, in dan terra yang
berarti antara atau dalam suatu kelompok. “antara” juga mempunyai makna yang
sama dengan kata inter dalam bahasa inggris yang berarti antar (antara) dan
relasi. Sedangkan dalam bahsa sanskerta. Kata “antara” dapat diartikan sebagai
laut Ada pendapat lain yang menyatakan nusa berarti pulau. Dan antaranya
berarti dilapit atau berada ditengah-tengah. Nusantara beraeti gugusan pulau
yangdilapit atau berada ditengah-tengah antara benua dan dua samudra (pasha,
2008) tersebut dikemukakan. Pengertian terminologis umumnya adalah pengertian
istilah menurut para ahli atau tokoh dan lembaga yang mengkaji konsep tersebut.
Pada uraian sebelumnya , anda telah mengakaji konsep wawasan nusantara secara
termonologis.
B. Menggali Sumber
Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Wawasan Nusantara
Ada
sumber historis (sejarah), sosiologis, dan politis terkait dengan munculnya
konsep wawasan Nusantara. Simber-sumber itu melatar belakangi berkembangnya
wawasan nusantara.
1.
Latar belakang Lahirnya konsepsi wawasan nusantara
Bermula
dari perdana menteri Ir. H. Djuanda kartawidjaja yang pada tanggal 13 desember
1957 mengeluarkan deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai deklarasi Djuanda
isi deklarasi tersebut sebagai berikut: Isi pokok deklarasi ini adalah bahwa
lebar laut territorial Indonesia 12 mil yang dihitung dari garis yang
mengubungkan pulau terluar Indonesia. Dengan garis tutorial yang baru iini
wilayah Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah. Swbwlum keluarnya deklarasi
Djuanda, wilayah Indonesia didasarkan pada territorial zee en maritime kringen
ordinantie 1939 (TZMKO 1939) atau dikenal dengan nama ordonasi 1939, sebuah
peraturan buatan pemerintah hindia-belanda. Isi oedonasi tersebut pada intinya
adalah penentuan lebar laut 3 mil dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan
garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Guna memperkuat kedaulatan
atas wilayah negara tersebut dibentuklah undang-undang sebagai penjabarannya.
Setelah keluarnya deklarasi Djuanda 1957 dibentuklah undang-undang No. 4 Prp
Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Tidak hanya melalui peraturan
perundang-undang nasional, bangsa Indonesia juga memperjuangkan konsepsi
wawasan nusantara berdasar deklarasi Djuanda ini ke forum international agar
dapat pengakuan bangsa lain atau masyarakat internasional.
2.
Latar belakang sosiologis wawasan nusantara
Berdasar sejarah,
wawasan nusantara bermula dari wawasan kewilayahan. Ingat deklarasi
Djuanda 1957 sebagai perubahan
atas ordonasi 1939 berintikan
mewujudkan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, tidak lagi
terpisah-pisah.sebagai konsepsi kewilayahan, bangsa Indonesia mengusahakan dan
memandang wilayah sebagai satu kesatuan. Namun seiring tuntunan perkembangan ,
konseepsi wawasan nusantara mencakup pandangan akan satu kesatuan politik,
ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan, termasuk persatuan sebagai
satu bangsa. Sebagaimana dalam urusan
GBHN 1998 dikatakan
wawasan nusantara adalah cara pandang
dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti lainnya konsep
wawasan nusantara juga dilator belakangi oleh kondisi sosiologis masyarakat
Indonesia. Hal diatas, keadaan sosiologis masyarakat Indonesia dan juga
keberlangsungan penjanjahan yang memecah belah bangsa, telah melatarbelakangi
tumbuhnya semangan dan tekad-tekad orang wilayah dinusantara ini
untuk bersatu dalam
satu nasionalitas, satu kebangsaan yakni
bangsa Indonesia.
3. Latar belakang
politis wawasan
nusantara
Selanjutnya secara
politis , ada kepentingan nasional bagaimana agar wilayah yang utuh dan bangsa
yang bersatu ini dapat dikembangkan, dilestarikan, dan dipertahankan secara
terus menerus. Kepentingan nasional itu merupakan turunan lanjut dari cita-cita
nasional, tujuan nasional, maupun visi nasional. Cita-cita nasional bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 alinea II adalah untuk mewujudkan negara
Indonesia, yang merdeka, bersaatu berdaulat, adil dan makmur sedangkan tujuan
nasional Indonesia sebagaimana tentang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV salah
satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
C.
Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia
Dengan
adanya konsepsi Wawasan Nusantara wilayah Indonesia menjadi sangat luas dengan
beragam isi flora, fauna, serta penduduk yang mendiami wilayah itu. Namun
demikian, konsepsi wawasan nusantara juga mengajak seluruh warga negara untuk
memandang keluasan wilayah dan keragaman yang ada di dalamnya sebagai satu
kesatuan. Kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
dalam kehidupan bernegara merupakan satu kesatuan. Luas wilayah Indonesia tentu
memberikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengelolanya. Hal ini
dikarenalan luas wilayah memunculkan potensi ancaman dan sebaliknya memiliki
potensi keunggulan dan kemanfaatan. Wawasan nusantara telah menjadi landasan
visiponal bagi bangsa Indonesia guna memperkokoh kesatuan wilayah dan persatuan
bangsa akan terus meneruis dilakukan.
Hal
ini dikarenakan visi tersebut dihadapkan pada dinamika kehidupan yang selalu
berkembang dan tantangan yang berbedavsesuai dengan perubahan zaman.Dinamika
yang berkembang itu misalnya, jika pada masalalu penguasaan wilayah dilakukan
dengan pendudukan militer maka sekarang ini lebih ditekankan pada upaya
perlindungan pelestarian diwilayah tersebut. Tantangan yang berubah, misalnya
adanya perubahandari kejahatan konvensional menjadi kejahatan didunia maya.
D.
Esensi dan Urgensi konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara
Sebagaimana
telah dikemukakan di muka, esensi atau hakikat dari wawasan nusantara adalah “kesatuan wilayah dan
persatuan bangsa” Indonesia. Mengapa perlu kesatuan wilayah? Mengapa perlu
persatuan bangsa? Sebelumnya Anda telah mengkaji bahwa sejarah munculnya
wawasan nusantara adalah kebutuhan akan kesatuan atau keutuhan wilayah
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu harus
merupakan satu kesatuan, tidak lagi terpisah-pisah oleh adanya lautan bebas.
Sebelumnya kita ketahui bahwa wilayah Indonesia itu terpecah-pecah sebagai akibat
dari aturan hukum kolonial Belanda yakni Ordonansi 1939. Baru setelah adanya
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, wilayah Indonesia barulah merupakan
satu kesatuan, di mana laut tidak lagi merupakan pemisah tetapi sebagai
penghubung.
Wilayah
Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki keunikan antara lain:
1. Bercirikan negara kepulauan
(Archipelago State) dengan jumlah 17.508 pulau.
2. Luas wilayah 5.192 juta km2
dengan perincian daratan seluas 2.027 juta km2 dan laut seluas 3.166
juta km2. Negara kita terdiri 2/3 lautan / perairan
3. Jarak utara selatan 1.888 km dan
jarak timur barat 5.110 km
4. Terletak diantara dua benua dan dua
samudra (posisi silang)
5. Terletak pada garis katulistiwa f.
Berada pada iklim tropis dengan dua musim
6. Menjadi pertemuan dua jalur
pegunungan yaitu Mediterania dan Sirkum Pasifik
7. Berada pada 60 LU- 110
LS dan 950 BT – 1410 BT
8. Wilayah yang subur dan habittable
(dapat dihuni)
9. Kaya akan flora, fauna, dan sumber
daya alam
Wawasan
nusantara yang pada awalnya sebagai konsepsi kewilayahan berkembang menjadi
konsepsi kebangsaan. Artinya wawasan nusantara tidak
hanya berpandangan keutuhan wilayah, tetapi juga persatuan bangsa. Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen. Heterogenitas bangsa ditandai
dengan keragaman suku, agama, ras, dan kebudayaan. Bangsa yang heterogen dan
beragam ini juga harus mampu bersatu.
Bangsa Indonesia
sebagai kesatuan juga memiliki keunikan yakni:
1. Memiliki
keragaman suku, yakni sekitar 1.128 suku bangsa (Data BPS, 2010)
2. Memiliki jumlah
penduduk besar, sekitar 242 juta (Bank Dunia, 2011)
3. Memiliki
keragaman ras
4. Memiliki
keragaman agama
5. Memiliki
keragaman kebudayaan, sebagai konsekuensi dari keragaman suku bangsa
Konsep Wawasan
Nusantara menciptakan pandangan bahwa Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah
merupakan satu kesatuan politik, sosialbudaya, ekonomi serta pertahanan dan
keamanan. Atau dengan kata lain perwujudan wawasan nusantara sebagai satu
kesatuan politik, sosialbudaya, ekonomi
dan pertahanan dan keamanan. Pandangan demikian penting sebagai landasan
visional bangsa Indonesia terutama dalam melaksanakan pembangunan.
1. Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Memiliki makna:
1) Bahwa kebulatan
wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan
wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi
modal dan milik bersama bangsa.
2) Bahwa bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa
daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang
seluasluasnya.
3) Bahwa secara
psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan,
sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.
4)
Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara
yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa
5)
Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan
politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
6)
Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam
arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan
nasional.
7)
Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut
menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan
pada kepentingan nasional.
2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan
Ekonomi
Memiliki
makna:
1)
Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan
milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia
merata di seluruh wilayah tanah air.
2)
Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa
meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan
ekonominya.
3)
Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan
ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan
ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan
Sosial Budaya
Memiliki
makna:
1)
Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan
kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat
yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai
dengan tingkat kemajuan bangsa.
2)
Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam
budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan
landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak
nilai – nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya
bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.
4. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan
Pertahanan dan keamanan
Memiliki
makna:
1)
Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan
ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
2)
Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka
pembelaan negara dan bangsa.
(Materi 13)
Ketahanan Nasional dan Bela Negara bagi
Indonesia dalam membangun komitmen kolektif kebangsaan
1.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
dapat berdiri sampai saat ini karena negara ini dilatarbelakangi oleh
perjuangan seluruh bangsa. Bagaimanapun juga Indonesia banyak diincar oleh
bangsa lain karena kekayaan yang ada di daratan maupun lautan Indonesia yang
sangatlah berlimpah. Sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak bangsa atau
negara karena potensi yang besar dilihat dari wilayahnya yang luas dengan
kekayaan alam yang banyak (Sutoyo, 2011). Sebelum merdeka, setelah merdeka dan
sampai saat ini Indonesia masih kian dikejar-kejar oleh bangsa lain yang ingin
menguasai alam maupun sumber daya manusia di Indonesia. Bagaimanapun juga, Indonesia
dengan semangat persatuan dan kesatuannya, tetap berusaha untuk mempertahankan
bangsa kita dari ancaman-ancaman tersebut.
Dibutuhkan
ketahanan nasional yang dapat menjamin serta memperkuat kemampuan bangsa yang
bersangkutan dalam mempertahankan kesatuannya, menghadapi ancaman yang datang
maupun mengupayakan sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan
disusunnya makalah ini, diharapkan kita dapat belajar untuk siap menghadapi
ketahanan nasional dengan cara membangun komitmen kolektif yang kuat dan
seluruh komponen bangsa untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu
menganalisis urgensi dan tantangan ketahanan nasional bagi komponen bangsa.
A. KONSEP KETAHANAN NASIONAL
Gagasan
pokok dari ajaran Ketahanan Nasional adalah bahwa suatu bangsa atau negara
hanya akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya apabila negara atau
bangsa itu memiliki ketahanan nasional. Istilah Ketahanan Nasional memang memiliki
pengertian dan cakupan yang luas. Suradinata (2005 : 47) mengemukakan
pengertian Ketahanan Nasional suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi
keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia.
Hakekat
konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan
dan keamanan secara seimbang serasi dan selaras dalam aspek hidup dan kehidupan
nasional.Ketahanan Nasional atau disingkat Tannas menurut salah seorang ahli ketahanan
nasional, GPH S. Suryomataraman (1980), definisi ketahanan nasional berbeda-beda
karena penyusun definisi melihatnya dari sudut yang berbeda pula. Menurutnya, ketahanan
nasional memiliki lebih dari satu wajah, dengan perkataan lain ketahanan
nasional berwajah ganda, yakni ketahanan nasional sebagai konsepsi, ketahanan
nasional sebagai kondisi dan ketahanan nasional sebagai strategi (Himpunan
Lemhanas, 1980). Berdasarkan pendapat di atas, terdapat tiga pengertian
ketahanan nasional atau disebut sebagai wajah ketahanan nasional, yakni:
Ketahanan nasional sebagai konsepsi atau doktrin, Ketahanan nasional sebagai
kondisi, Ketahanan nasional sebagai strategi,cara atau pendekatan
B. ALASAN MENGAPA DIPERLUKAN KETAHANAN
NASIONAL DAN BELA NEGARA
Dalam
lingkup kecil, ketahanan nasional pada aspek-aspek tertentu juga turut
menentukan kelangsungan hidup sebuah bangsa. Pada tahun 1997-1998, ketahanan
ekonomi Indonesia tidak kuat lagi dalam menghadapi ancaman krisis moneter, yang
berlanjut pada krisis politik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
ketahanan nasional memiliki banyak dimensi atau aspek, serta adanya ketahanan
nasional berlapis.
C. SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIK
TENTANG KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA
1.
Sumber Historis
Secara
historis, gagasan tentang ketahanan nasional bermula pada awal tahun 1960-an di
kalangan militer angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama SESKOAD
(Sunardi, 1997). Masa itu sedang meluasnya pengaruh komunisme yang berasal dari
Uni Sovyet dan Cina. Pengaruh komunisme menjalar sampai kawasan Indo Cina
sehingga satu per satu kawasan Indo Cina menjadi negara komunis seperti Laos,
Vietnam, dan Kamboja. Tahun 1960-an terjadi gerakan komunis di Philipina,
Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan gerakan komunis Indonesia mengadakan
pemberontakan pada 30 September 1965 namun akhirnya dapat diatasi. Bidang
sosial budaya mencakup; pendidikan, kesehatan, agama, kebudayaan, teknologi dan
lain-lain, namun yang menonjol disini adalah faktor teknologi dan kebudayaan,
karena perubahan dibidang ini berjalan sangat cepat akibat pengaruh dari dalam
maupun dari luar negeri. Pengaruh dari luar negeri paling banyak menimbulkan
perubahan.
Untuk
itu bangsa Indonesia perlu mawas diri dan waspada, karena kemungkinannya pihak
luar sengaja menyebar pengaruhnya dengan tujun untuk melakukan intervensi
maupun infiltirasi yang berakibat pada terjadinya disharmoni dan distabilisasi
kehidupan nasional dibidang sosialbudaya.Persoalan yang sangat mendesak untuk
kita pecahkan dalam upaya mewujudkan ketahanan nasional dibidang sosial budaya
antara lain adalah : bagaimana mengarahkan perubahan sosial budaya itu ke arah
integrasi sosial budaya, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
Indonesia tanpa memandang status sosial budaya, suku bangsa, etnik dan agama
atau kepercayaan terhadap TYME.
Pemerintah
Indonesia harus menyadari eksistensi masyarakat Indonesia yang sangat heterogen,
dan ancaman potensial yang mempengaruhi ketahanan nasional dibidang sosial
budaya bahkan integrasi nasional adalah ;
konflik
horizontal yang dipicu oleh sentiment sosial-ekonomi, suku, agama, serta
bangkitnya etnisitas (kesukubangsaan) yang berakibatpada upaya pemisahan diri
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Rifdan, 2002. Ketahanan
Nasional tetap relevan sebagai kekuatan penangkalan dalam suasana sekarang maupun
nanti, sebab ancaman setelah berakhirnya perang dingin lebih banyak bergeser
kearah nonfisik, antara lain; budaya dan kebangsaan (Sudradjat, 1996: 12).
Inti
ketahanan Indonesia pada dasarnya berada pada tataran “mentalitas” bangsa
Indonesia sendiri dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menghendaki
kompetisi di segala bidang. Hal ini tetap penting agar kita benar-benar
memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh. Ketahanan nasional dewasa
ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai “musuh bersama”.
(Armawi, 2012:90).Konsep ketahanan juga tidak hanya ketahanan nasional tetapi sebagai
konsepsi yang berlapis, atau Ketahanan Berlapis yakni ketahanan individu,
ketahanan keluarga, ketahanan daerah, ketahanan regional dan ketahanan nasional
(Basrie, 2002)
1.
Sumber Politik
Sejarah
keberhasilan bangsa Indonesia menangkal ancaman komunis tersebut menginspirasi para
petinggi negara (khususnya para petinggi militer) untuk merumuskan sebuah
konsep yang dapat menjawab, mengapa bangsa Indonesia tetap mampu bertahan
menghadapi serbuan ideologi komunis, padahal negara-negara lain banyak yang
berguguran? Jawaban yang dimunculkan adalah karena bangsa Indonesia memiliki
ketahanan nasional khususnya pada aspek ideologi. Belajar dari pengalaman tersebut,
dimulailah pemikiran tentang perlunya ketahanan sebagai sebuah bangsa.
Pengembangan atas pemikiran awal di atas semakin kuat setelah berakhirnya
gerakan Gerakan 30 September/PKI. Pada tahun 1968, pemikiran di lingkungan
SSKAD tersebut dilanjutkan oleh Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) dengan
dimunculkan istilah kekuatan bangsa.
Pemikiran
Lemhanas tahun 1968 ini selanjutnya mendapatkan kemajuan konseptual berupa ditemukannya
unsur-unsur dari tata kehidupan nasional yang berupa ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan militer. Pada tahun 1969 lahirlah istilah Ketahanan
Nasional yang intinya adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa untuk
menghadapi segala ancaman. Kesadaran akan spektrum ancaman ini lalu diperluas
pada tahun 1972 menjadi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG).
Akhirnya pada tahun 1972 dimunculkan konsepsi ketahanan nasional yang telah diperbaharui.
Pada tahun 1973 secara resmi konsep ketahanan nasional dimasukkan ke dalam GBHN
yakni Tap MPR No IV/MPR/1978.
Berdasar
perkembangan tersebut kita mengenal tiga perkembangan konsepsi ketahanan
nasional yakni ketahanan nasional konsepsi 1968, ketahanan nasional konsepsi
1969, dan ketahanan nasional konsepsi 1972. Menurut konsepsi 1968 dan 1969,
ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan, sedang berdasarkan konsepsi
1972, ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamik yang berisi keuletan dan
ketangguhan. Jika dua konsepsi sebelumnya mengenal IPOLEKSOM (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, militer) sebagai Panca Gatra, konsepsi 1972
memperluas dengan ketahanan nasional berdasar asas Asta Gatra (delapan gatra). Konsepsi
terakhir ini merupakan penyempurnaan sebelumnya (Haryomataraman dalam Panitia
Lemhanas, 1980).
Perkembangan
selanjutnya rumusan ketahanan nasional masuk dalam GBHN sebagai hasil ketetapan
MPR yakni dimulai pada GBHN 1973, GBHN 1978, GBHN 1983, GBHN 1988, GBHN 1993
sampai terakhir GBHN 1998. Rumusan GBHN 1998 sebagaimana telah dinyatakan di
atas merupakan rumusan terakhir, sebab sekarang ini GBHN tidak lagi digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan. Sekarang ini sebagai pengganti
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program presiden terpilih. Misalnya dokumen RPJMN 2010-2014 tertuang dalam
Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010. Pada dokumen tersebut tidak lagi
ditemukan rumusan tentang ketahanan nasional bahkan juga tidak lagi secara
eksplisit termuat istilah ketahanan nasional. Namun demikian, jika kita
telusuri naskah RPJMN 2010-2014 masih dapat kita temukan kata-kata yang terkait
dengan ketahanan nasional, misal istilah ketahanan pangan.
D. DINAMIKA DAN TANTANGAN KETAHANAN
NASIONAL DAN BELA NEGARA
PENGALAMAN SEJARAH BANGSA INDONESIA TELAH MEMBUKTIKAN
PADA KITA PADA, KONSEP KETAHANAN NASIONAL KITA TERBUKTI MAMPU MENANGKAL
BERBAGAI
BENTUK ANCAMAN SEHINGGA TIDAK BERUJUNG PADA KEHANCURAN
BANGSA ATAU BERAKHIRNYA NKRI . SETIDAKNYA INI TERBUKTI PADA SAAT BANGSA
INDONESIA
MENGHADAPAI ANCAMAN KOMUNISME TAHUN 1965 DAN YANG LEBIH
AKTUAL MENGHADAPI KRISIS EKONOMI DAN POLITIK PADA TAHUN 1997-1998. SAMPAI SAAT
INI KITA MASIH KUAT BERTAHAN DALAM WUJUD NKRI . BANDINGKAN DENGAN PENGALAMAN
YUGOSLAVIA KETIKA MENGHADAPI ANCAMAN PERPECAHAN TAHUN 1990-AN. LEMBAGA
KETAHANAN NASIONAL (LEMHANNAS) DALAM KAJIANNYA MENEMUKAN FAKTA BAHWA KETAHANAN
NASIONAL INDONESIA TIDAK TANGGUH ALIAS RAPUH. KESIMPULAN ITU DIAMBIL BERDASARKAN
PENGKAJIAN PENGUKURAN KETAHANAN NASIONAL DARI 33 PROVINSI YANG ADA DI INDONESIA
DENGAN 847 INDIKATOR.
E. ESENSI DAN URGENSI KETAHANAN NASIONAL
DAN BELANEGARA
Sudah
dikemukakan s ebelumnya, terdapat tiga cara pandang dalam melihat ketahanan. Ketiganya
menghasilkan tiga wajah ketahanan nasional yakni ketahanan nasional sebagai konsepsi,
ketahanan nasional sebagai kondisi, dan ketahanan nasional sebagai konsepsi
atau doktrin.Ketiganya bisa saling berkaitan karena diikat oleh pemikiran bahwa
kehidupan nasional ini dipengaruhi oleh delapan gatra sebagai unsurnya atau
dikenal dengan nama “Ketahanan Nasional berlandaskan ajaran Asta Gatra.” Konsepsi
ini selanjutnya digunakan sebagai strategi, cara atau pendekatan di dalam
mengupayakan ketahanan nasional Indonesia.
Kedelapan
gatra ini juga digunakna sebagai tolok ukur dalam menilai ketahanan nasional Indonesia
sebagai kondisi. Esensi dari ketahanan nasional pada hakikatnya adalah kemampuan
yang dimiliki bangsa dan negara dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang
dewasa ini spektrumnya semakin luas dan kompleks.Hal yang menjadikan ketahanan nasional
sebagai konsepsi khas bangsa Indonesia adalah pemikiran tentang delapan unsur kekuatan
bangsa yang dinamakan Asta Gatra. Pemikiran tentang Asta Gatra dikembangkan oleh
Lemhanas. Bahwa kekuatan nasional Indonesia dipengaruhi oleh delapan unsur,
Unsur-unsur ketahanan nasional model Indonesia terdiri atas delapan unsur yang
dinamakan Asta Gatra (delapan gatra), yang terdiri dari Tri Gatra (tiga gatra)
alamiah dan Panca Gatra (lima gatra) sosial. Unsur atau gatra dalam ketahanan
nasional Indonesia tersebut, sebagai berikut;
·
Tiga aspek kehidupan alamiah (tri gatra)
yaitu:
1) Gatra letak dan
kedudukan geografi,
2) Gatra keadaan
dan kekayaan alam,
3) Gatra keadaan
dan kemampuan penduduk.
·
Lima aspek kehidupan sosial (panca gatra)
yaitu:
1) Gatra ideologi
2) Gatra politik
3) Gatra ekonomi
4) Gatra sosial
budaya (sosbud)
5) Gatra
pertahanan dan keamanan (hankam)
Model Asta Gatra
merupakan
perangkat hubungan bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung
di atas bumi ini dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan
menggunakan kemampuannya. Model ini merupakan hasil pengkajian Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhanas). Adapun penjelasan dari masing-masing gatra terdiri dari tiga
unsur alamiah (tri gatra) dan lima unsur sosial (panca gatra). Terdapat
hubungan antara ketahanan nasional dengan pembelaan negara atau bela negara. Bela
negara merupakan perwujudan warga negara dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan
ketahanan nasional bangsa Indonesia. Keikutsertaan warga negara dalam upaya
menghadapi atau menanggulagi ancaman hakekat ketahanan nasional, dilakukan
dalam wujud upaya bela negara.Terdapat dua bentuk bela Negara yaitu bela Negara
secara fisik dan non-fisik.
Bela
negara secara fisik pengertiannya lebih sempit daripada bela negara secara
nonfisik. Bela Negara Secara Fisik Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara
fisik dapat dilakukan dengan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Pelatihan Dasar Kemiliteran. Sekarang ini pelatihan dasar kemiliteran
diselenggarakan melalui program Rakyat Terlatih (Ratih), meskipun konsep Rakyat
Terlatih (Ratih) adalah amanat dari Undang-undang No. 20 Tahun 1982. Rakyat
Terlatih (Ratih) terdiri dari berbagai unsur, seperti Resimen Mahasiswa (Menwa),
Perlawanan Rakyat (Wanra), Pertahanan Sipil (Hansip), Mitra Babinsa, dan Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer, dan
lain-lain. Rakyat Terlatih mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan
Masyarakat, Keamanan Rakyat, dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut
pertama umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam
atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah
daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
Sementara
fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat
Terlatih merupakan unsur bantuan tempur. Bila keadaan ekonomi dan keuangan negara
memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib
Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak
negara maju di Barat. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa bela negara
tidak selalu harus berarti “memanggul senjata menghadapi musuh” atau bela negara
yang militerisitik. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat diselenggarakan
melalui pendidikan kewarganegaraan dan pengabdian sesuai dengan profesi.
Pendidikan kewarganegaraan diberikan dengan maksud menanamkan semangat
kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan kewarganegaraan dapat dilaksanakan melalui
jalur formal (sekolah dan perguruan tinggi) dan jalur nonformal (sosial
kemasyarakatan).
Berdasar
hal itu maka keterlibatan warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat
dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa, dan dalam segala situasi,
misalnya dengan cara:
1.
Mengikuti pendidikan kewarganegaraan baik melalui jalur formal dan nonformal.
2.
Melaksanakan kehidupan berdemokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan
tidak memaksakan kehendak dalam memecahkan masalah bersama.
3.
Pengabdian yang tulus kepada lingkungan sekitar dengan menanam, memelihara, dan
melestarikan.
4.
Berkarya nyata untuk kemanusiaan demi memajukan bangsa dan negara.
5.
Berperan aktif dalam ikut menanggulangi ancaman terutama ancaman nirmiliter,
misal menjadi sukarelawan bencana banjir.
6.
Mengikuti kegiatan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal
pengaruh-pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan
bangsa Indonesia.
7.
Membayar pajak dan retribusi yang berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara
untuk melaksanakan pembangunan.
(Materi 14)
Prinsip Anti
Korupsi, Upaya Pemberantasan dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi,
Peraturan Perundangan Anti Korupsi di Indonesia
Korupsi dipandang sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar
biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi - yang terdiri
dari dua bagian besar, yaitu penindakan dan pencegahan - tidak akan pernah
berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan
peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa -
sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa
depan - diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak
pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran
aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi
dengan ikut membangun budaya antikorupsi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan
dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan antikorupsi
di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif, mahasiswa perlu dibekali dengan
pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang
tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami
dan menerapkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Di
muka telah dijelaskan pengertian korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi,
dampak korupsi serta prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang perlu dikembangkan
untuk mencegah seseorang melakukan korupsi atau perbuatan-perbuatan koruptif.
Dalam bab ini, akan diuraikan upaya pemberantasan korupsi. Ada yang mengatakan
bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah menghukum
seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian, bidang hukum khususnya hukum
pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi.
Merupakan sebuah realita bahwa kita sudah memiliki berbagai perangkat
hukum untuk memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan. Kita
memiliki lembaga serta aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan peraturan
tersebut baik kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kita bahkan memiliki
sebuah lembaga independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
kesemuanya dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi. Namun apa yang
terjadi? Korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. Sedihnya lagi,
dalam realita ternyata lembaga dan aparat yang telah ditunjuk tersebut dalam
beberapa kasus justru ikut menumbuhsuburkan korupsi yang terjadi di Indonesia.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bekal pendidikan (termasuk Pendidikan Agama)
memegang peranan yang sangat penting untuk mencegah korupsi. Benarkah demikian?
Yang cukup mengejutkan, negara-negara yang tingkat korupsinya cenderung tinggi,
justru adalah negara-negara yang masyarakatnya dapat dikatakan cukup taat beragama.
Ada yang mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi, sistem dan lembaga pemerintahan
serta lembaga-lembaga negara harus direformasi. Reformasi ini meliputi reformasi
terhadap sistem, kelembagaan maupun pejabat publiknya. Ruang untuk korupi harus
diperkecil. Transparansi dan akuntabilitas serta akses untuk mempertanyakan apa
yang dilakukan pejabat publik harus ditingkatkan. Penting pula untuk membentuk lembaga
independen yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga ini harus mempertanggungjawabkan
apa yang dilakukannya kepada rakyat. Ruang gerak serta kebebasan menyatakan
pendapat untuk masyarakat sipil (civil society) harus ditingkatkan, termasuk di
dalamnya mengembangkan pers yang bebas dan independen. Pada bagian atau bab
ini, akan dipaparkan berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dapat dan telah
dipraktekkan di berbagai negara. Ada beberapa bahan menarik yang dapat didiskusikan
dan digali bersama untuk melihat upaya yang dapat kita lakukan untuk memberantas
korupsi.
1.
Upaya Pemberantasan Korupsi
A. Konsep Pemberantasan Korupsi
Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab
mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang
menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya
kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara
perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan
masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa
dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi memang akan selalu ada
dalam suatu negara atau masyarakat. Sebelum melangkah lebih jauh membahas upaya
pemberantasan korupsi, berikut pernyataan yang dapat didiskusikan mengenai
strategi atau upaya pemberantasan korupsi (Fijnaut dan Huberts : 2002):
It is always necessary to relate anti-corruption strategies to
characteristics of the actors involved (and the environment they operate in).
There is no single concept and program of good governance for all countries and
organizations, there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most
are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to
seek their own solutions.
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk
menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik
dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau
beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara
atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya
harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju.
Setiap negara, masyarakat mapun organisasi harus mencari
cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya. Di muka telah
dipaparkan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah
dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan
demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang
paling tepat untuk memberantas korupsi.
B. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal
dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter
Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :
1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law
application);
2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention
without punishment);
3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on
crime and punishment / mass media) (atau media lainnya seperti
penyuluhan, pendidikan dll : tambahan dari penulis).
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya
penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal
(dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar
hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi
Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan
pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat
dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat
preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk
pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan
Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Sasaran dari upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan
(korupsi; tambahan dari penulis). Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi
kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda
Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya politik
kriminal’. Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau
menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau
memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya
penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki
‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga
fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut
(Nawawi Arief : 1998) adalah :
• dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi
yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum
remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah
tidak dapat digunakan lagi);
• dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan
aplikasinya menuntut biaya yang tinggi;
• sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang
mengadung efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload
Lembaga Pemasyarakatan;
• penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya
merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab
kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana;
• hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari
sarana kontrol sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai
masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
• sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal;
tidak bersifat struktural atau fungsional;
• efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan
masih sering diperdebatkan oleh para ahli.
Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat mengenai pemidanaan
sehubungan dengan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan pemberantasan
korupsi pada khususnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat memperlihatkan bahwa
hukum pidana dan pemidanaan bukanlah ‘obat yang manjur’ atau ‘panacea’ atau
‘bukan segala-galanya’ untuk menanggulangi kejahatan. Dengan demikian, ia hanya
dapat dipandang sebagai salah satu cara saja untuk memberantas korupsi.
Menurut Rubin pemidanaan (apakah dimaksudkan untuk menghukum
atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah
kejahatan. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan tidak berhubungan dengan
perubahan di dalam hukum atau kecenderungan dalam putusan pengadilan, tetapi
berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural
yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Wolf Middendorf sulit melakukan evaluasi terhadap
efektifitas dari general deterrence (pencegahan umum dengan menggunakan
hukum pidana), karena mekanisme pencegahan (deterrence) yang
manjur tidak dapat diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan
sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang melakukan kejahatan dan mungkin
mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya UU atau pidana yang dijatuhkan.
Sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan
atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan, yang sama efektifnya dengan
ketakutan orang pada pidana.
Selanjutnya Wolf Middendorf menyatakan bahwa tidak ada hubungan
logis antara kejahatan dengan lamanya pidana. Karl. O. Christiansen
menyatakan bahwa pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur
dan S.R. Brody menyatakan bahwa 5 (lima) dari 9 (sembilan) penelitian
yang diamatinya menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani oleh
seseorang di dalam penjara tampaknya tidak berpengaruh pada adanya
reconviction atau penghukuman kembali
(Nawawi Arief : 1998). Berbagai pendapat di atas dapat memberi pelajaran bahwa
kita tidak dapat hanya mengandalkan hukum (pidana) saja dalam memberantas
korupsi. Padahal beberapa kalangan mengatakan bahwa cara untuk memberantas
korupsi yang paling ampuh adalah
dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku
korupsi. Kepada pelaku yang terbukti telah melakukan korupsi memang tetap harus
dihukum (diberi pidana), namun berbagai upaya lain harus tetap terus dikembangkan
baik untuk mencegah korupsi maupun untuk menghukum pelakunya.
Mungkin pendapat-pendapat di atas mengecilkan hati kita. Kita
bertanya-tanya adakah gunanya berbagai macam peraturan perundang-undangan,
lembaga serta sistem yang dibangun untuk menghukum pelaku korupsi bila hasilnya
tidak ada. Jawabannya adalah: jangan hanya mengandalkan satu cara, satu sarana
atau satu strategi saja yakni dengan menggunakan sarana penal, karena ia tidak
akan mempan dan tidak dapat bekerja secara
efektif. Belum lagi kalau kita lihat bahwa ternyata lembaga
serta aparat yang seharusnya memberantas korupsi justru ikut bermain dan
menjadi aktor yang ikut menumbuhsuburkan praktek korupsi.
C.Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi
Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang
dilakukan untuk memberantas korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang
dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam
bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC : 2004) .
1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
a. Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan
membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh
di beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini
pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia dengan nama Justitieombudsmannen
pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman --yang kemudian berkembang pula di
negara lain--antara lain
menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa
yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan pegawainya. Selain itu lembaga ini
juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat
serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi
lembaga pemerintah maupun lembaga
hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah
mengembangkan kepedulian
serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat
perlakuan yang baik, jujur dan efisien
dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di Hongkong dibentuk
lembaga anti korupsi yang bernama
Independent Commission against Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA).
Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas
korupsi.
Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja
lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap
imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat
oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya
buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini
berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan.
Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak
memiliki keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas
korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi.
c. Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti
Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini
sama sekali ‘tidak punya gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan
pejabat tinggi.
d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah
salah satu cara untuk mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati
untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya
korupsi. Salah satu cara untuk menghindari praktek suap menyuap dalam rangka
pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara resmi biaya yang harus
dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti mengurus paspor,
mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
e. Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi
resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah
Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil
oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian korupsi besar-besaran umumnya terjadi di
Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi
berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat pemerintahan di
daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
f. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi
juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di
daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan
rakyat, anggota parlemen justru melakukan berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’
dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD yang terbukti melakukan korupsi
menambah panjang daftar korupsi di Indonesia. Untuk itu kita perlu berhati-hati
ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada saat Pemilihan Umum. Jangan asal
memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya integritas. Berhati-hati pula ketika DPR
atau DPRD akan mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan.
Salah-salah kebijakan tersebut justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak
bukan bagi kepentingan rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak mengeluarkan
sebuah kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, masyarakat
sipil (civil society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut mengawal
pembuatan kebijakan tersebut.
2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
a. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan
mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat
memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya
apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan
timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan
kepemilikannya kepada orang lain misalnya anggota keluarga.
b. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di
pemerintahan pusat, daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil
potensi korupsi adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara terbuka.
Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat memantau dan memonitor
hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus dikembangkan
sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau ataupun
memonitor hal ini.
c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri
dan anggota militer baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam
kondisi ini. Sebuah sistem
yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai
negeri dan anggota militer juga perlu dikembangkan.
d. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai
negeri yang menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan
hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk
meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai
negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian dari
atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu kinerja
pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus disertai dengan
berbagai pra-kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi korupsi, karena
salah-salah hal ini justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi bonus diantara
para pegawai negeri.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat
untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information).
Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media)
diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat
meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya
secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau
diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta
kepedulian publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat
adalah salah satu bagian yang sangat penting dari upaya memberantas korupsi.
Salah satu cara untuk meningkatkan public awareness adalah dengan
melakukan kampanye tentang bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di
ruang publik mengenai apa itu korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi
korupsi harus diintensifkan.
Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa
(baik cetak maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi. Spanduk dan poster
yang berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’ dipasang di
kantor-kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi. Di
beberapa
negara termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah
satu bagian dari mata pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar
maupun menengah dan perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan
secara nasional. Transparency International juga mengeluarkan toolkit
mengenai pendidikan anti
korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang
mahasiswa pelajari saat ini adalah salah satu cara supaya mahasiswa dapat
mengetahui selukbeluk korupsi dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran akan
bahaya korupsi. Di beberapa sekolah didirikan ‘Kantin Kejujuran’ yang bertujuan
untuk melatih
kejujuran siswa.
c. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam
mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat
untuk melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana
masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi
yang diketahuinya. Mekanisme tersebut harus dipermudah atau disederhanakan
misalnya via telepon, surat atau telex. Dengan berkembangnya teknologi
informasi, media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah
untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.
d. Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran
nama baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi
dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan
individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan korban
yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masyarakat
Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan fitnah dan
pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.
e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi.
Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka
akan bahaya korupsi. Menurut Pope media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan
yang independen. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya
korupsi,
media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan
atas perilaku pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi Time menyatakan
bahwa ‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh sekalipun dapat
dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak diawasi
oleh
pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang
melawan korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk
menyalahgunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin
tidak ada resiko bahwa perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh
pers (Pope: 2003). Namun media juga memiliki titik lemah.
Hal ini terjadi apabila media tersebut dimiliki oleh pemerintah.
Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun
televisi dan radio terbesar dalam suatu negara. Kita ambil contoh
saja TVRI dan RRI. Karena milik pemerintah, tentu saja independensinya tidak
dapat terlalu diandalkan. Salah satu titik lemah lagi dari media adalah
pekerjaan jurnalisme yang berbahaya. Penculikan, penganiayaan dan intimidasi
terhadap jurnalis atau wartawan menjadi hal yang biasa (Pope : 2003). Segala
macam cara akan digunakan oleh mereka (terutama yang memiliki uang dan kekuasaan)
yang tidak ingin namanya tercoreng karena pemberitaan di media. Selain itu
banyak pula negara yang berupaya untuk melakukan penyensoran terhadap informasi
yang akan diberitakan oleh media atau bahkan pencabutan ijin usaha sebuah
media.
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat
lokal atau internasional juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas
korupsi. Mereka adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang
keberadaannya tidak dapat diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru
yang bergerak di bidang Anti-Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang
bebas, LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat
publik. Simak saja apa yang telah dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption
Watch), salah satu LSM lokal yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini menjadi
salah satu garda terdepan yang mengawasi segala macam perbuatan pemerintah dan
perilaku anggota parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti pekerjaan
jurnalisme yang berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap
aktivis LSM sangat sering terjadi.
g. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi
adalah dengan menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic
surveillance. Electronic surveillance adalah sebuah perangkat atau
alat untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan
elektronik yang dipasang pada tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones
atau kamera video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television)
atau data interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana
banyak digunakan telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat
elektronik. Namun di beberapa negara, penggunaan electronic surveillance harus
disetujui terlebih dahulu oleh masyarakat, karena masyarakat tidak ingin pemerintah
‘memata-matai’ segenap aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan.
Tindakan memata-matai atau‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis
dianggap melanggar hak asasi terutama hak akan privacy. Dalam beberapa
kasus, negara yang otoriter justru akan menggunakan data yang terekam dalam electronic
surveillance untuk melakukan intimidasi terhadap rakyatnya.
4. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum
yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup
hanya mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen
hukum lain perlu dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang
harus ada untuk mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak
Pidana Money Laundering atau Pencucian Uang. Untuk melindungi
saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur mengenai
Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak
pidana korupsi dan penggunaan
electronic surveillance juga
perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu hak
warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur.
Pasalpasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan
tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran
nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen atau dihapuskan.
Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak boleh
takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung
pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau code of conduct yang
ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun
code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan).
5. Monitoring dan Evaluasi
Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka
mensukseskan pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan
evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh
pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit mengetahui capaian
yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, dapat dilihat
strategi atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau
program yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus
dicari penyebabnya.
Pengalaman negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal
dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya maupun
program pemberantasan korupsi di negara kita. Namun mengingat ada begitu banyak
strategi, cara atau upaya yang dapat digunakan, kita tetap harus mencari cara
kita sendiri untuk menemukan solusi memberantas korupsi.
Daftar Pustaka
http://dwisetiyoko.blogspot.com/2018/12/makalah-pendidikan-kewarganegaraan_4.html
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3784/3260
http://sukesti.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/82733/1_Buku_PKWN_I+%281%29.pdf
https://bone.go.id/2019/10/20/pengertian-bela-negara/
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3784/3260
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/20bb958d430cc7d21ef6c2b58d14da41.pdf
http://nikmahajah.blogspot.co.id/2013/11/proses-berbangsa-dan-bernegara.html
(diakses pada jumat, 30 september 2022)
“Makalah
Identitas Nasional” http://putrimedan-sitiativa.blogspot.co.id/
(diakses pada jumat, 30 september 2022)
“Identitas
Nasional Sebagai Karakter Bangsa Indonesia”
https://lathevha.wordpress.com/2016/05/03/kewarganegaraan-identitas-nasional-sebagai-karakter-bangsa-indonesia/
(diakses pada jumat, 30 september
2022)
“Pengertia,
Unsur, Faktor dan Sifat Identitas Nasional”
http://mangihot.blogspot.co.id/2017/02/pengertian-faktor-unsur-unsur-dan-sifat.html
(diakses pada jumat, 30 september 2022)
“ Sumber
Historis, Sosiologis, Politik Tentang Identitas Nasional Indonesia” https://www.studocu.com/id/document/universitas-pelita-bangsa/perpajakan/sumber-historis-sosiologis-politik-tentang-identitas-nasional-indonesia/25281573
(diakses pada minggu, 02 Oktober
2022)
https://www.kemhan.go.id/wp-content/uploads/2017/12/wiraindoedsusrevisi.pdf
https://www.studocu.com/id/document/universitas-jember/pendidikan-kewarganegaraan/konsep-dan-urgensi-konstitusi-dalam-kehidupan-berbangsa/26668598
https://lmsspada.kemdikbud.go.id/pluginfile.php/541815/mod_resource/content/1/MATERI%20PENDAMPING%20DEMOKRASI%20INDONESIA%20%28HUSNUL%20FATIHAH%2C%20M.Pd%20DAN%20PUSPA%20DIANTI%2C%20M.Pd.-dikonversi.pdf
Referensi
·
Penjelasan Pasal 9 ayat (1)
huruf a Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
·
a b Budi susilo Soepandji,
Bangga Indonesia menjadi komponen cadangan Tanah air, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2010. hal. 34-35
·
Pasal 30 Undang-Undang Dasar
1945
·
Bela Negara Mu, Ditjen Pothan
Dephan RI
·
“Menteri Pertahanan buka
program bela negara”, BBC Indonesia, Jakarta, 22 Oktober 2015. Retrieved on 24
Februari 2016.
·
S, Sucipto. “Tangkal Radikalisme,
Kemenhan Luncurkan Website Bela Negara”, Sindonews, Jakarta, 23 Februari 2016.
Retrieved on 24 Februari 2016.
·
Peraturan Menteri Pertahanan
Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pedoman pembinaan kesadaran bela negara.
·
5_Buku_PKWN_V.Pdf “BAB V
BAGAIMANA HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM DEMOKRASI
YANG BERSUMBU PADA KEDAULATAN RAKYAT DAN MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT?”
·
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Citienship in a Global World. Roman and Litlefield Publisher.
Dahl, RA. 1992. On Democracy. New Heaven: Yale University Press.
Hatta, M. 1992. Demokrasi Kita. Jakarta: Idayu Press
Hornby, A.S. 1995. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
Oxford: Oxford University Press
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia
Malaka, T. 2005. Merdeka 100%. Tanggerang: Marjn Kiri
Madjid, N. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina
Tjokroamidjojo, Bintoro. 2006. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen
Pembangunan. Jakarta: UI Press
Sanusi, Achmad. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan Menghadapi Perubahan
dan Gejolak Sosial. Bandung : CICED
Soekarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera
Revolusi
Torres, Carlos Alberto. 1998. Democracy, Education, and Multiculturalism:
Dilemmas of
Wertheim, WF. 1995. Indonesian Society in Transition. Te Hague: Van Hoeve
Komentar
Posting Komentar