1PA18.Raffi Maulana.T1 Revisi Resume

 

TUGAS 1 ( REVISI RESUME )

MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PP-000207)

 

 

 

Disusun Oleh :

Nama : RAFFI MAULANA

NPM : 11522161

Link :

Kelas : 1PA18

Dhttps://raffimaulana27.blogspot.com/2022/11/1pa18raffi-maulanat1-revisi-resume.htmlosen : KURNIAWAN B.PRIANTO, S.KOM.SH.MM

 

 

 

Universitas Gunadarma

‘Fakultas Psikologi’

2022


 

( Materi 1 )

Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mengembangkan Kemampuan Utuh Sarjana Atau Profesional

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

                                i.            Latar Belakang

 

Pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu mata kuliah yang masuk dalam mata kuliah dasar umum (MKDU) tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Tujuan disampaikan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan pada akhirnya adalah menumbuhkan sikap mental peserta didik yang cerdas dan tanggung jawab. Disertai perilaku beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur,  disiplin dalam bermasyarakat, rasional, dinamis, sadar akan hak-kewajiban warga negara, profesional, dan aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.

 

 

 

                              ii.            Tujuan

 

Bertujuan menelusuri konsep dan urgensi pendidikan kewarganegaraan dalam pencerdasan kehidupan bangsa, alasan mengapa diperlukan pendidikan kewarganegaraan dan menggali sumber historis, sosiologis, dan politis tentang pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Dan juga membangun argumen tentang dinamika dan tantangan pendidikan kewarganegaraan. Serta mendeskripsikan esensi dan urgensi pendidikan kewarganegaraan untuk masa depan. Lalu merangkung tentang hakikat dan pentingnya pendidikan kewarganegaraan.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

            Telah diatur dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan ketetapan tersebut, pendidikan program sarjana diharapkan menjadi tenaga ahli profesional yang sanggup menciptakan lapangan pekerjaan.

            Berdasarkan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud sebagai warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang - undangan. Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berakar pada demokrasi, memberikan dampak positif pada pendidikan di sekolah, masyarakat, dan orang tua. Serta diharapkan mahasiswa menjadi manusia yang lebih unggul dan sesuai dengan nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan Kewarganegaraan ditetapkan menjadi mata kuliah wajib sebagai pembina jiwa nasionalis dan cinta tanah air.

            Sekilas menatap ke belakang, Pendidikan Kewarganegaraan telah digagas jauh sebelum negara Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka. Dengan lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang kemudian disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan pada saat itulah diperingati sebagai awal tumbuhnya jiwa nasionalisme.

            Secara sosiologis, Pendidikan Kewarganegaraan dilaksanakan oleh para pemimpin di masyarakat yang mendorong semangat untuk cinta tanah air dan bangsa Indonesia. Serta secara politis, Pendidikan Kewarganegaraan mulai diperkenalkan pada kurikulum pendidikan tahun 1957. Dengan kandungan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan membahas bagaimana cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sementara dalam Civics yang mulai diterapkan dalam pendidikan pada tahun 1961 lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, Undang - Undang Dasar, pidato - pidato politik kenegaraan yang khususnya ditujukan untuk “ nation and character building ” bangsa Indonesia.

            Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, dalam kurikulum baru tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan materi atau metode yang menghilangkan sifat indoktrinatif dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Pendidikan Kewarganegaran adalah suatu program pendidikan yang berusaha menggabungkan unsur - unsur substatif yang meliputi demokrasi, hak - hak asasi manusia, dan masyarakat madani melalui model pembelajaran yang demokratis, interaktif, dan humanis dalam lingkungan yang demoktaris, untuk mencapai suatu standar kompetensi yang telah ditentukan.

            Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar mahasiswa memiliki wawasan kesadaran dalam bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku untuk cinta terhadap tanah air Indonesia, memiliki wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan bernegara sehingga terbentuk daya tangkal sebagai ketahanan nasional, dan memiliki pola sikap dan pola pikir yang komprehensif, integral pada aspek kehidupan nasional. Dengan demikian maka lulusan program sarjana diharapkan mampu menjadi intelektual atau ilmuwan yang terpelajar, berbudaya, mampu memasuki dan menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi individu yang profesional.

 

A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam pencerdasan kehidupan bangsa.

                                                                                                                   

Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan jajang pendidikan akademik bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Lulusan program sarjana ini diharapkan dapat menjadi intelektual atau ilmuwan yang berbudaya, dapat menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional.

Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dapat menjadi penghasilan, keahlian, kemahiran, kecakapan, mempunyai norma dan memperoleh pendidikan profesi. Perlu diketahui apapun kedudukannya, sarjana atau profesional, bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, maka orang tersebut berstatus warga negara.

            Apakah warga negara dan siapakah warga negara Indonesia (WNI) itu?

Konsep warga negara (citizen; citoyen) dalam arti negara modern atau negara kebangsaan (nation-state) dikenal sejak adanya perjanjian Westphalia 1648 di Eropa sebagai kesepakatan mengakhiri perang selama 30 tahun di Eropa. Berbicara warga negara biasanya terkait dengan masalah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara seperti lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan, Kepresidenan dan sebagainya. Dalam pengertian negara modern, istilah “warga negara” dapat berarti warga, anggota (member) dari sebuah negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu yang memiliki hak dan kewajiban.

            Di Indonesia, istilah “warga negara” adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda, staatsburger. Selain istilah staatsburger dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah onderdaan. Menurut Soetoprawiro (1996), istilah onderdaan tidak sama dengan warga negara melainkan bersifat semi warga negara atau kawula negara. Munculnya istiah tersebut karena Indonesia memiliki budaya kerajaan yang bersifat feodal sehingga dikenal istilah kawula negara sebagai terjemahan dari onderdaan.

            Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah kawula negara telah mengalami pergeseran. Istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Istilah “warga negara” dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah “civic”, “citizen”, atau “civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian belakang kata civic mejadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.

            Konsep warga negara Indonesia adalah warga negara dalam arti modern, bukan warga negara seperti pada zaman Yunani Kuno yang hanya meliputi angkatan perang, artis, dan ilmuwan/filsuf. Siapa saja WNI? Menurut undang-undang yang berlaku saat ini, warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mereka dapat meliputi TNI, Polri, petani, pedagang, dan profesi serta kelompok masyarakat lainnya yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang.

            Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ada dua hal yang perlu diklarifikasi lebih dahulu tentang istilah PKn. Mari kita perhatikan definisi pendidikan berikut ini.

            Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1). Telusuri lagi istilah pendidikan dari berbagai sumber. Apakah bedanya dengan pengertian di atas? Selanjutnya, lihat pula istilah “kewarganegaraan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apa arti dari istilah tersebut? Adakah sumber lain yang mengemukakan istilah kewarganegaraan? Telusurilah sumber tersebut

 

Sampailah pada pertanyaan apakah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) itu?

 

·         Secara etimologis

          Untuk mengerti konsep PKn, Anda dapat menganalisis PKn secara kata per kata. PKn dibentuk oleh dua kata, ialah kata “pendidikan” dan kata “kewarganegaraan”. Untuk mengerti istilah pendidikan, Anda dapat melihat Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) atau secara lengkap lihat definisi pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat

          Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1).

 

·         Secara Yuridis

            Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. (Undang-Undang RI No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2) Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37)

 

·         Secara Konseptual

            Istilah kewarganegaraan tidak bisa dilepaskan dengan istilah warga negara. Selanjutnya ia juga berkaitan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan. Dalam literatur Inggris ketiganya dinyatakan dengan istilah citizen, citizenship dan citizenship education.

 

·         Secara Teoritis

            Definisi PKn menurut M. Nu’man Somantri (2001) sebagai berikut: Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

 

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 37 ada 2 ayat, yaitu:

1)  Huruf B yang menyatakan bahwa kurikulum 8 pendidikan dasar dan menengah wajid memuat pendidikan kewarganegaraan.

2)     Huruf B menyatakan pendidikan kewarganegaraan wajib di Pendidikan Tinggi.

Karena dinyatakannya bahwa pendidikan kewarganegaraan ini adalah pendidikan yang mencakup tentang Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, negara kesatuan RI dan Bhinneka Tunggal Ika supaya dapat membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dalam dirinya dan cinta terhadap tanah air.

 

 

B.     Alasan Mengapa Diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan

 

            Tujuan pendidikan kewarganegaraan di mana pun umumnya bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen). Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela

negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.

            Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang di mana pada masanya nanti bibit ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan moral danakademis yang akan menunjang sosok pribadi mahasiswa. Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip diri. Negara, masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu Negara.

            Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah sarana tepat untuk memberikan gambaran secara langsung tentang hal-hal yang bersangkutan tentang kewarganegaraan pada mahasiswa. Pendidikan Kewarganegaraan lah yang mengajarkan bagaimana seseorang menjadi warga negara yang lebih bertanggung jawab. Karena kewarganegaraan itu tidak dapat diwariskan begitu saja melainkan harus dipelajari dan di alami oleh masing - masing orang. Apalagi negara kita sedang menuju menjadi negara yang demokratis, maka secara tidak langsung warga negaranya harus lebih aktif dan partisipatif. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus memepelajarinya, agar kita bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi negara. Garda kokoh yang akan terus dan terus melindungi Negara walaupun akan banyak aral merintang di depan.

            Kita semua tahu bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan bagaimana warga negara itu tidak hanya tunduk dan patuh terhadap negara, tetapi juga mengajarkan bagaimana sesungguhnya warga negara itu harus toleran dan mandiri. Pendidikan ini membuat setiap generasi baru memiliki ilmu pengetahuan, pengembangan keahlian, dan juga pengembangan karakter publik. Pengembangan komunikasi dengan

lingkungan yang lebih luas juga tecakup dalam Pendidikan Kewarganegaraan.

            Meskipun pengembangan tersebut bisa dipelajari tanpa menempuh Pendidikan Kewarganegaran, akan lebih baik lagi jika Pendidikan ini di manfaatkan untuk pengambangan diri seluas-luasnya.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pada pembentukan warga negara agar memiliki rasa kebangsaan dan cinta terhadap tanah air.

 

 

C.    Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

1. Sumber Historis Pendidikan Pancasila  

       Pendidikan kewarganegaraan dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah dalam diri bangsa Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun belum menamakan Indonesia. Lalu mulai muncul organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, PSII, PKI, dan organisasi lainnya yang tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

       Pada tahun 1928, para pemuda yang berasal dari wilayah Nusantara berikrar menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, bertanah air, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara terang-terangan maupun diam-diam. Secara umum, organisasi tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita - citakan Indonesia merdeka sebagai negara yang mandiri yang lepas dari penjajahan dan ketergantungan terhadap kekuatan asing. Inilah cita - cita yang dapat dikaji dari karya para Pendiri Negara-Bangsa (Soekarno dan Hatta).

       Akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga, pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaan karena ternyata penjajah belum mengakui kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah jajahannya.Oleh karena itu, periode pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1945 sampai saat ini, bangsa Indonesia telah berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai cara, baik perjuangan fisik maupun diplomatis. Jadi proses perjuangan untuk menjaga eksistensi negara-bangsa, mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri negara-bangsa (the founding fathers), belumlah selesai bahkan masih panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga negara yang dapat memelihara semangat perjuangan kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air.
      
Dilihat dari sisi historisnya, Pancasila tidak lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, dengan melihat pengalaman-pengalaman bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan besar dunia, dengan tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan besar bangsa kita sendiri .

       Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan Negara. Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman kerajaan-kerajan.nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilainilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.

       Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa.

       Dengan demikian, berdasarkan keterangan yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila memilki landasan historis yang kuat. Secara histories, sejak zaman kerajaan unsur Pancasila sudah muncul dalam kehidupan bangsa kita. Agar nilai-nilai Pancasila selalu melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka . nilai-nilai yang terkandung dalam setiap Pancasila tersebut kemudian dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara. Sebagai sebuah dasar Negara, Pancasila harus selalu dijadikan acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Semua peraturan perundang-undangan yang ada juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

 

2. Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila 
          Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics)  Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan pendidikan nasional. Tim Penulis diberi tugas membuat buku pedoman mengenai kewajiban - kewajiban dan hak hak warga negara Indonesia dan sebab-sebab sejarah serta tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Prijono, buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan istilah “Civics” (Inggris), atau “Kewarganegaraan” (Indonesia).

       Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Didalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat. Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, Anda diharapkan dapat mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.       Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).

 

3. Sumber Politik Pendidikan Pancasila


       Salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila adalah berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.

Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif,  yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.

Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala, yaitu :

 

a.  Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.

b.  Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.

 

Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral. 

 

D.   Dinamika dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan

            Telah diuraikan terdahulu bahwa ketiga rezim pemerintahan memiliki perhatian yang begitu signifikan terhadapPKn. Hal itu dapat dilihat dari berbagi kebijakan pendidikan khususnya tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang seolah -olah amat dipengaruhi oleh perubahan - perubahan situasi politik dan kenegaraan. Pada masa - masa yang lalu yang jika tujuannya dicermati senantiasa menempatkan PKn tersebut sebagai “alat politik” bukan sebagai “alat pendidikan politik” yang didasari oleh nilai - nilai demokrasi tetapi justru untuk mengarahkan dan mendominasi nilai - nilai yang memungkinkan sebuah rezim untuk mempertahankan “kemapanan” yang mendukung kekuasaan yang ada.

            Perubahan - perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan dalam sistem sosial politik, dan kenegaraan yang memang semakin menuntut pada kemantapan dalam PKn untuk menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adanya tuntutan - tuntutan perubahan kearah kehidupan yang lebih demokratis harus diakui sebagai hasil positif dari pendidikan PKn belakangan ini termasuk ekses yang sekaligus merupakan tantangan bagi proses demokratisasi itu sendiri.

            Tuntutan perubahan itu selain disebabkan oleh hal - hal seperti disebutkan di atas, dan juga karena beberapa sebab lain yang amat fundamental seperti dikemukakan oleh Aziz Wahab (1998) dengan mengatakan bahwa : Bidang Studi PKn sesuai fungsi dan tujuannya selama ini menjadi sarana untuk membina warganegara untuk lebih mengetahui hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sejalan dengan terjadinya reformasi diperlukan kajian ulang terhadap relevansi meteri PKn dalam kurikulum karena beberapa alasan, di antaranya:

(1) Selama Orde Baru yang lalu ada kekacauan pengertian antara negara dan pemerintah/rezim yang berkuasa; seakan - akan keduanya menjadi identik. Hal itu mengakibatkan penerjemahan PKnke dalam kurikulum pun banyak  diwarnai oleh perspektif dan kepentingan pemerintah dengan mengatasnamakan perspektif dan kepentingan negara. Hal yang sama sesungguhnya bukan hanya berlaku untuk PKntetapi juga untuk bidang - bidang studi

lainnya seperti Sejarah, Ekonomi, dan Geografi.

(2) Karena alasan pertama di atas, topik - topik tertentu lebih banyak diangkat (misalnya soal kepatuhan, kesetiaan pada pemerintah yang berkuasa, keamanan nasional) yang bertujuan menguatkan kedudukan pemerintah yang berkuasa; sedangkan topik - topik lain seperti hakasasi manusia, demokrasi politik, demokrasi ekonomi, hak - hak

rakyat, kewajiban pemerintah kepada publik, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kurang ditampilkan secara proporsional.

(3) PKn adalah sarana pendidikan politik bangsa. Namun pendidikan politik yang dimaksud selama ini cenderung “sepihak” dan “monolog”, yaitu mendukung kelanggengan kekuasaan orde yang berkuasa. Akibatnya siswa tidak disiapkan untuk berpikir secara dewasa, bertanggung jawab dan jujur bahkan terhadap dirinya sendiri. Produk akhirnya adalah peserta didik yang “tanpa pilihan”, harus menerima apa adanyatanpa dapat dan mampu mempertanyakan hal - hal di luar koridor yang telah ditentukan sebelumnya. Dari sudut perkembangan moral, hal ini tidak menguntungkan karena membuat siswa menjadi kerdil dalam berpikir. PKn lebih menekankan segi “to tell students about what are desiable behaviors”dan bukan “to ask and let student to think and to find...”.

(4) Dalam kenyataan, terjadi berbagai kebingungan peserta didik akibat apa yang diajarkan di sekolah berbeda kenyataannya. Akibat lanjutnya adalah secara tidak disadari kita menyiapkan generasi yang memiliki kepribadian terpecah. 

Berdasarkan alasan - alasan di atas, kaji ulang dan peninjauan kembali terhadap materi dan metodologi PKn dalam kurikulum 1994 merupakan suatu keharusan dalam Era Reformasi sekarang ini. Kaji ulang diarahkan terhadap hal hal berikut ini:

1. Sejauh manakah materi yang ada dalam kurikulum masih relevan dengan semangat bangsa kita yang dengan memanfaatkan momentum reformasi sedang memformulasikan kembali format dan implementasi nilai - nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Banyak keluhan selama ini tentang padat dan banyaknya materi yang mesti dipelajari oleh siswa. Hal ini pun perlu dikaji ulang, materi manakah yang dapat dikeluarkan, digabungkan, dirampingkan, dan materi mana yang benar - benar esensial bagi anak, masyarakat, dan kehidupan bangsa.

3. Dari segi metodologi, metode yang cenderung doktriner dan monolog selama ini, perlu ditinjau ulang dari segi karakter belajar dan tahap - tahap perkembangan peserta didik. Sudah cukup lama kita mengetahui bahwa PKn adalah pelajaran yang “membosankan” bahkan cenderung “tidak disukai” siswa karena materi dan metodenya memang tidak menantang siswa secara intelektual, di samping amat sarat dengan pesan - pesan ideologis rezim yang berkuasa.Dalam era reformasi dan dalam kehidupan demokrasi setiap orang sebagai warganegara memperoleh kebebasan dan diperlakukan secara adil. Untuk itu setiap warganegara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik. Dalam pendewasaan dan sikap keterbukaan dan kebebasan itu baik politik maupun ekonomi itu harus dijelaskan secara tuntas bahwa: dasar - dasar demokrasi itu sebagaimana dikemukakan oleh Chapin dan Messick (1989:114) diantaranya adalah seperti berikut: “Each person has one vote; Citizens have equal protection under the law; Decuisions and laws can be reviewed and amended by lawful process; Decisions and government acts are based on law”.

Tujuannya adalah agar setiap warganegara menjadi cerdas, dapat berpikir kritis dan kreatif serta memiliki sikap disiplin pribadi dan dapat berpartisipasi dalam mengatasi berbagai persoalan baik pribadi, maupun masyarakat lingkungannya. Lahirnya warganegara seperti itu menuntut perubahan - perubahan mendasar dalam pendidikan pada umumnya dan pendidikan kewarganegaraan khususnya.

 

E. Alasan penting pendidikan pancasila

Dalam Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara termasuk dalam kelompok pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa Indonesia dan Pendidikan Olah Raga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di SMA berintikan: (1) Pancasila dan UUD 1945; (2) Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya; dan (3) Pengetahuan umum tentang PBB.

Dalam Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan bermakna.

Kurikulum Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun 1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4 bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982), dan mengemukakan beberapa hal penting sebagai berikut. “Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal dengan adanya TAP MPR No. lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Paneasila (P4), maka materi PMP didasarkan pada isi P4 tersebut. Oleh karena itu, TAP MPR No. II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara. Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978 dijadikanlah sumber, tempat berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian, hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran. “... dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan P4 dan GBHN 1978, ... mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid dan guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ... usaha itu yang telah menghasilkan Buku Paket PMP...."

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (l) P4 merupakan sumber dan tempat berpijak, baik isi maupun cara evaluasi mata pelajaran PMP melalui pembakuan kurikulum 1975; (2) melalui Buku Paket PMP untuk semua jenjang pendidikan di sekolah maka Buku Pedoman Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan Masyarakat Baru lndonesia (Civics) dinyatakan tidak berlaku lagi; dan (3) bahwa P4 tidak hanya diberlakukan untuk sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya melalui berbagai penataran P4.

Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat, kurikulum sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat 2 undangundang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan Agama; dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan.

Menurut saya, mata kuliah Pendidikan pancasila itu adalah sangat penting dan berguna untuk mahasiswa/mahasiswi di Perguruan Tinggi, karena mata kuliah tersebut tidak hanya dididapat atau dipelajari saat kita berada di bangku SD, SMP, & SMA bahkan saat kita sudah tidak mengenyam pendidikan pun, Pendidikan Pancasila atau Kewarganegaraan haruslah kita pelajari dan gunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena kita harus tahu tentang hak & kewajiban yang di dapat sebagai warga Negara Indonesia.

Pancasila adalah sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Sebab itu seluruh tatanan kehidupan masyarakat , bangsa, dan Negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perubahan dan tingkah laku sebagai bangsa Indonesia

Hal-hal yang harus bisa para Mahasiswa/Mahasiswi lakukan saat telah sudah mendapatkan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila saat di Perguruan Tinggi :

Agar mahasiswa mampu menjadi warga negara yang memiliki pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.

   Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.

  Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama, dan nilai-nilai universal.

  Agar mahasiwa mampu berpikir kritis dan objektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM, dan demokrasi.

  Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.

  Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban).

 

            Pentingnya pendidikan Pancasila juga dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi dorongan pokok (leitmotive) dan bintang penunjuk jalan (leitstar) bagi calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa di berbagai bidang dan tingkatan. Selain itu, agar calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa tidak mudah terpengaruh oleh pahampaham asing yang dapat mendorong untuk tidak dijalankannya nilai-nilai Pancasila.

            Pentingnya pendidikan Pancasila di perguruan tinggi adalah untuk menjawab tantangan dunia dengan mempersiapkan warga negara yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, penghargaan, penghayatan, komitmen, dan pola pengamalan Pancasila. Hal tersebut ditujukan untuk melahirkan lulusan yang menjadi kekuatan inti pembangunan dan pemegang estafet kepemimpinan bangsa dalam setiap tingkatan lembaga-lembaga negara, badan-badan negara, lembaga daerah, lembaga infrastruktur politik, lembaga-lembaga bisnis, dan profesi lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

 

F. Konsep warga negara yang bangga dan cinta nasionalisme serta rasa tanggung jawab pada negara dan bangsa

Bela negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut.

Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut.

Landasan konsep bela negara adalah adanya wajib militer. Subyek dari konsep ini adalah tentara atau perangkat pertahanan negara lainnya, baik sebagai pekerjaan yang dipilih atau sebagai akibat dari rancangan tanpa sadar (wajib militer).

Beberapa negara (misalnya Israel, Iran) dan Singapura memberlakukan wajib militer bagi warga yang memenuhi syarat (kecuali dengan dispensasi untuk alasan tertentu seperti gangguan fisik, mental atau keyakinan keagamaan). Sebuah bangsa dengan relawan sepenuhnya militer, biasanya tidak memerlukan layanan dari wajib militer warganya, kecuali dihadapkan dengan krisis perekrutan selama masa perang.

Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Spanyol dan Inggris, bela negara dilaksanakan pelatihan militer, biasanya satu akhir pekan dalam sebulan. Mereka dapat melakukannya sebagai individu atau sebagai anggota resimen, misalnya Tentara Teritorial Britania Raya. Dalam beberapa kasus milisi bisa merupakan bagian dari pasukan cadangan militer, seperti Amerika Serikat National Guard.

Di negara lain, seperti Republik China (Taiwan), Republik Korea, dan Israel, wajib untuk beberapa tahun setelah seseorang menyelesaikan dinas nasional.

Sebuah pasukan cadangan militer berbeda dari pembentukan cadangan, kadang-kadang disebut sebagai cadangan militer, yang merupakan kelompok atau unit personel militer tidak berkomitmen untuk pertempuran oleh komandan mereka sehingga mereka tersedia untuk menangani situasi tak terduga, memperkuat pertahanan negara.

Bela Negara di Indonesia

Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.

Peran penting Bela Negara dapat dikuak secara lebih jernih dan mendalam melalui perspektif pertahanan. Keutuhan wilayah Indonesia, beserta seluruh sumber daya, kedaulatan dan kemerdekaannya, selalu terancam oleh agresi asing dari luar dan pergolakan bersenjata dari dalam. Kalau ancaman ini menjadi nyata dan Indonesia tidak siap, semuanya bisa kembali ke titik nol.

Antisipasi para pendiri bangsa tercantum dalam salah satu poin tujuan nasional yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Pernyataan tersebut menjadi dasar dari tujuan pertahanan. Ia tidak berdiri sendiri tetapi berbagi ruang dengan tujuan keamanan atau ketertiban sipil dan berdampingan 3 (tiga) tujuan lainnya, yakni tujuan kesejahteraan (memajukan kesejahteraan umum), tujuan keadaban (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan tujuan kedamaian (berpartisipasi aktif dalam perdamaian dunia yang adil dan abadi).

Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.

Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Unsur Dasar Bela Negara

1. Cinta Tanah Air;
2. Kesadaran Berbangsa & bernegara;
3. Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara;
4. Rela berkorban untuk bangsa & negara;
5. Memiliki kemampuan awal bela negara.

Adapun contoh-Contoh Bela Negara, yaitu:
a. Melestarikan budaya;
b. Belajar dengan rajin bagi para pelajar
c. Taat akan hukum dan aturan-aturan negara;
d. Mencintai produk-produk dalam negeri.

Pemerintah Indonesia saat ini menjalankan program pelatihan Bela Negara yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada tanggal 22 Oktober 2015, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu meresmikan pembukaan program bela negara. Program tersebut dimaksudkan untuk memperteguh keyakinan berdasarkan 5 unsur tersebut di atas, dan program ini bukanlah sebuah bentuk wajib militer.

Pada tanggal 23 Februari 2016, Menhan Ryamizard Ryacudu kembali meresmikan peluncuran website resmi. Portal tersebut dimaksudkan untuk menjadi sumber penyebaran informasi kepada masyarakat tentang program Bela Negara, dan masyarakat juga bisa memberikan saran dan masukan di portal tersebut.

Adapun sifat-sifat bela negara, yaitu:
1. Sifat lunak

Psycological:

a. Pemahaman ideologi negara (Pancasila dan UUD 1945)
b. Nilai-nilai luhur bangsa
c. Wawasan kebangsaan
d. Persatuan dan kesatuan bangsa
e. Kesadaran bela negara

Physical:

a. Perjuangan mengisi kemerdekaan
b. Pengabdian sesuai profesi
c. Menjunjung tinggi nama Indonesia di dunia internasional
d. Penanganan bencana dan menghadapi ancaman non militer lainnya (ekonomi, sosial, budaya, dsb).

2. Sifat Keras

Menghadapi ancaman militer:

a. Komponen Utama
b. Komponen Cadangan (kombatan)
c. Komponen Pendukung (Non kombatan).

Nilai nilai bela negara:

Cinta tanah air:

Mengenal dan mencintai tanah air agar selalu waspada dan siap membela tanah air Indonesia terhadap segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Indikator cinta tanah air meliputi:

1. menjaga tanah dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia;
2. bangga sebagai bangsa Indonesia;
3. menjaga nama baik bangsa dan negara Indonesia;
4. memberikan kontribusi dan kemajuan pada bangsa dan negara Indonesia;
5. mencintai produk dalam negeri, budaya, dan kesenian Indonesia.

Kesadaran berbangsa dan bernegara

Sadar sebagai warna bangsa negara Indonesia dalam bentuk tingkah laku, sikap, dan kehidupan pribadi agar dapat bermasyarakat sesuai dengan kepribadian bangsa. Indikator nilai kesadaran berbangsa dan bernegara meliputi:

1. memiliki kesadaran keragaman budaya, suku, agama, bahasa dan adat istiadat;
2. melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
3. mengenal keragaman individu di rumah dan di lingkungannya;
4. berpikir, bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia;
5. berpartisipasi menjaga kedaulatan bangsa dan negara;

Yakin akan Pancasila:

Pancasila sebagai pedoman dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna mencapai tujuan nasional. Rasa yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara dicapai dengan menumbuhkan kesadaran:

1. yang didasari pada Pancasila, pada kebenaran negara kesatuan republik Indonesia;
2. bahwa hanya dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, negara bangsa Indonesia akan tetap jaya;
3. setiap perbedaan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat;
4. bahwa Pancasila dapat membentengi mental dan karakter bangsa dalam menghadapi ancaman baik dari dalam maupun luar negeri.

Adapun indikator nilai yakin pada Pancasila sebagai ideologi bangsa meliputi:

1. memahami nilai-nilai dalamPancasila.
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari;
2. menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara Indonesia;
3. senantiasa mengembangkan nilai-nilai Pancasila;
4. setia pada Pancasila dan meyakini sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rela berkorban:

Rela berkorban untuk bangsa dan negara. Bersedia mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta benda untuk kepentingan umum sehingga pada saatnya nanti siap mengorbankan jiwa raga bagi kepentingan bangsa dan negara. Indikator rela berkorban bagi bangsa dan negara meliputi:

1. bersedia mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara;
2. siap membela bangsa dan negara dari berbagai macam ancaman;
3. memiliki kepedulian terhadap keselamatan bangsa dan negara;
4. memiliki jiwa patriotisme terhadap bangsa dan negaranya;
5. mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.

Kemampuan awal bela negara:

Secara Psikis (mental) memiliki sifat disiplin, ulet, menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, percaya akan kemampuan diri sendiri, tahan uji, pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuan nasional.

Secara Fisik (jasmani) memiliki kondisi kesehatan dan keterampilan jasmani yang dapat mendukung kemampuan awal bela negara yang bersifat psikis.

Adapun Indikator nilai memiliki kemampuan awal bela negara meliputi:

1. memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan dalam bertahan hidup atau mengatasi kesulitan;
2. senantiasa memelihara kesehatan jiwa dan raganya;
3. ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan;
4. terus membina kemampuan jasmani dan rohani; dan
5. memiliki keterampilan bela negara dalam bentuk keterampilan.

Hari Bela Negara:

Hari Bela Negara atau HBN adalah hari bersejarah Indonesia yang jatuh pada tanggal 19 Desember untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat pada tahun 19 Desember 1948. Keputusan ini ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No.28.

 

 

 

 

 

( Materi 2 – 3 )

 

Esensi Dan Urgensi Identitas Nasional Sebagai Salah Satu Determinan Pembangunan Bangsa Dan Karakter

 

 

A. Konsepsi dan urgensi Identitas nasional

     Apa itu identitas nasional ? Secara etimologis identitas nasioal berasal dari dua kata “identitas” dan “nasional”. Kata identitas berasal dari kata “identy” (inggris) yang dalam Oxford Advance Learner’s Dictionary berarti: (1) (C,U) who or what sb/sth is; (2) (C,U) the characteristics, feeling or beliefs that distinguish people from others; (3) the state of feeling of being very similar to and able to understand sb/sth. Dalam kamus maya Wikipedia dikatakan “identy is an umbrella term used throught the social sciences to describe a person’s conception and expression of their individuality or group affiliations (such as national identy and cultural identy).” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri.

     Dengan demikian, identitas menunjuk pada ciri atau penanda yang dimiliki oleh seseorang, pribadi dan dapat pula kelompok. Penanda yang dimiliki oleh seseorang, pribadi dan dapa pula kelompok. Penanda pribadi misalkan diwujudkan dalam beberapa bentuk identitas diri, misal dalam Kartu Tanda Penduduk, ID Card, Surat Ijin Mengemudi, Kartu Pelajar, dan Kartu Mahasiswa.

     Satu lagi identitas penting yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia saat ini adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setiap warga negara indonesia yang telah memiliki penghasilan wajib memiliki NPWP sebagai sarana melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. NPWP merupakan tanda pengenal diri dan identitas wajib pajak bagi warga negara Indonesia.

Figure 1 dewasa ini NPWP termasuk indentitas diri warga negara indonesia yang penting. Apakah anda sudah memiliki? Sumber:https://www.talenta.co/blog/payroll/contoh-kartu-npwp-terbaru-dan-cara-cetak-baru-npwp/

     Kata nasional berasal dari kata “national” (inggris) yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1) connected with a particular nation; shared by a whale nation; (2) owned, controlled or financially supported by the federal, government. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nasional” berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, identitas nasional lebih dekat dengan arti jati diri yakni ciri-ciri atau karakteristik, perasaan atau keyakinan tentang kebangsaan yang membedakan bangsa indonesia dengan bangsa lain. Apabila bangsa Indonesia memiliki identitas nasional maka bangsa lain akan dengan mudah mengenali dan mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.

 

B. Alasan mengapa diperlukan Identitas nasional.

     Identitas Nasional, kata identitas menurut KBBI artinya jati diri, ciri khas. Nasional adalah sekelompok orang atau organisasi besar berdasarkan kesamaan berbagai budaya, ragam bahasa, cita-cita, sejarah, serta tujuan. Identitas nasional adalah suatu ciri khas yang tumbuh dan berkembang yang terjadi dalam sekelompok orang yang meliputi berbagai macam aspek kehidupan, baik dari ratusan suku atau budaya yang disatukan menjadi satu kesatuan, seperti Indonesia. Identitas nasional Indonesia mengacu pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

     Fungsi indentitas nasional adalah untuk mempersatukan bangsa, digunakan sebagai panduan dan pemersatu agar bisa mewujudkan cita cita dan tujuan negara tersebut. Indonesia merupakan negara yang majemuk (negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa).

     Identitas naisonal merupakan hal yang dinamis dan sangat dibutuhkan dengan beberapa alasan tertentu. Alasan terbesar yang pertama adalah keberagaman suku bangsa, karena kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat beragam dengan banyak suku bangsa didalamnya. Setiap suku bangsa memiliki bahasa, agama, dan kebudayan mereka masing-masing. Tantangan zaman dan persaingan dunia Internasional dibutuhkan identitas nasional untuk mengahadapi tantangan zaman yang semakin dinamis dengan persaingan dunia Internasional yang semakin ketat. Negara yang tidak kuat dengan tantangan zaman, maka negara tersebut terombang-ambing serta kesulitan dalam menggapai suatu cita-cita bersama. Sebagai warga negara Indonesia, kita membutuhkan suatu identitas yang jelas, agar warga negara Indonesia menjadi bangga menjadi penduduk warga negara Indonesia.

* Tujuan Identitas Nasional

Identitas nasional bertujuan untuk mempertahankan kesatuan sebuah negara, pembeda dari negara lain, landasan negara, dan alat pemersatu bangsa. Indonesia memiliki berbagai macam suku, ras, agama dan kebudayaan.

Identitas nasional kemudian hadir untuk mempersatukan keberagaman masyarakat tersebut. Identitas nasional juga menjadi salah satu ciri khas sebuah negara. Dari ciri khas tersebut, Indonesia dapat mudah dikenali oleh negara-negara lain yang ada di dunia.

Selain itu, Identitas Nasional juga menjadi landasan negara Indonesia. Landasan negara Indonesia adalah Pancasila yang berasal dari budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Identitas nasional tercipta dari berbagai macam faktor yakni agama yang menciptakan ideologi yang menciptakan sebuah identitas, tokoh bangsa dan pemimpin bangsa yang berperan penting yang dianggap sebagai simbol persatuan dan sejarah bangsa yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap masa lalu yang telah dialaminya.

* Bentuk Identitas Nasional di Indonesia

Dalam buku Rosmawati dan Hasanal Mulkan yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan (2020), menjelaskan bentuk-bentuk identitas nasional Indonesia, antara lain sebagai berikut.

1.  Bahasa nasional atau bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.

2.  Bendera negara, yaitu Sang Merah Putih.

3.  Lagu Kebangsaan, yaitu Indonesia Raya.

4.  Lambang negara, yaitu Garuda Pancasila.

5.  Semboyan negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika.

6.  Dasar falsafah negara, yaitu Pancasila

7.  Konstitusi negara, yaitu UUD 1945.

8.  Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

9.  Konsepsi Wawasan Nusantara.

10.  Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional

C. Faktor Pembentuk Identitas Nasional

     Terdapat dua faktor penting dalam pembentukan identitas nasional yaitu faktor primodial dan faktor kondisional. Faktor primodial atau faktor objektif adalah faktor bawaan yang bersifat alamiah yang melekat pada bangsa tersebut seperti geografi, ekologi dan demografi. Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi anta rwilayah dunia di Asia Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia. Sedangkan faktor kondisional atau faktor subyektif adalah keadaan yang mempengaruhi terbentuknya identitas nasional. Faktor subyektif meliputi faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Faktor historis ini mempengaruhi proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia, beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut.

     Selain itu terdapat factor lain yaitu faktor sakral dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk masyarakat atau ideologi doktriner yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Agama dan ideologi merupakan faktor sakral yang dapat membentuk bangsa negara. Faktor sakral ikut menyumbang terbentuknya satu nasionalitas baru. Negara Indonesia diikat oleh kesamaan ideologi Pancasila. Tokoh kepemimpinan dari para tokoh yang disegani dan dihormati oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan bangsa negara. Pemimpin di beberapa negara dianggap sebagai penyambung lidah rakyat, pemersatu rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang bersangkutan. Contohnya Soekarno di Indonesia, Nelson Mandela di Afrika Selatan, Mahatma Gandhi di India, dan Tito di Yugoslavia.

     Prinsip kesediaan warga bangsa bersatu dalam perbedaan (unity in deversity) juga menjadi faktor pembentuk identitas nasional. Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan pemerintahnya tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras, agamanya. Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda (multiloyalities). Warga setia pada identitas primordialnya dan warga juga memiliki kesetiaan pada pemerintah dan negara, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaan yang terwujud dalam bangsa negara di bawah satu pemerintah yang sah. Mereka sepakat untuk hidup bersama di bawah satu bangsa meskipun berbeda latar belakang. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu memiliki kesadaran akan arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama yang tujuannya adalah menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan (unity in deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan (civility).

     Faktor yang tak kalah penting yaitu sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat tentang sejarah mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita karena penjajahan, tidak hanya melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan tekad dan tujuan yang sama antar anggota masyarakat itu.

     Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat, semakin saling tergantung diantara jenis pekerjaan. Setiap orang akan saling bergantung dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin kuat saling ketergantungan anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, akan semakin besar solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi karena perkembangan ekonomi oleh Emile Durkheim disebut Solidaritas Organis. Faktor ini berlaku di masyarkat industri maju seperti Amerika Utara dan Eropa Barat.

     Lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Lembaga-lembaga itu seperti birokrasi, angkatan bersenjata, pengadilan, dan partai politik. Lembaga-lembaga itu melayani dan mempertemukan warga tanpa membeda-bedakan asal usul dan golongannya dalam masyarakat. Kerja dan perilaku lembaga politik dapat mempersatukan orang sebagai satu bangsa.

     Faktor persamaan turunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat-istiadat dan tradisi, atau persamaan agama. Akan tetapi teranglah bahwa tiada satupun di antara faktor – faktor ini bersifat hakiki untuk menentukan ada - tidaknya atau untuk merumuskan bahwa mereka harus seketurunan untuk merupakan suatu bangsa.

D. Menggali sumber historis, sosiologis, dan politik tentang Identitas nasional Indonesia

     Identitas nasional bagi bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut dan norma dasar yang dijadikan pedoman untuk berperilaku. Semua identitas ini akan menjadi ciri yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Identitas nasional dapat diidentifikasi baik dari sifat lahiriah yang dapat dilihat maupun dari sifat batiniah yang hanya dapat dirasakan oleh hati nurani. Bagi bangsa Indonesia, jati diri tersebut dapat tersimpul dalam ideologi dan konstitusi negara, ialah Pancasila dan UUD NRI 1945.

     Jati diri bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak, dan ciri masyarakat Indonesia. Ada sejumlah ciri yang menjadi corak dan watak bangsa yakni sifat religius, sikap menghormati bangsa dan manusia lain, persatuan, gotong royong dan musyawarah, serta ide tentang keadilan sosial.
Nilai-nilai dasar itu dirumuskan sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan sebagai jati diri bangsa sekaligus identitas nasional.

     Bangsa Indonesia yang memiliki identitas primer atau etnis atau suku bangsa lebih dari 700 suku bangsa telah bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Identitas etnis yang terwujud antara lain dalam bentuk budaya etnis yang dikembangkan agar memberi sumbangan bagi pembentukan budaya nasional dan akhirnya menjadi identitas nasional.

     Secara historis, khususnya pada tahap embrionik, identitas nasional Indonesia ditandai ketika munculnya kesadaran rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sedang dijajah oleh asing pada tahun 1908 yang dikenal dengan masa Kebangkitan Nasional (Bangsa). Rakyat Indonesia mulai sadar akan jati diri sebagai manusia yang tidak wajar karena dalam kondisi terjajah. Pada saat itu muncullah kesadaran untuk bangkit membentuk sebuah bangsa. Kesadaran ini muncul karena pengaruh dari hasil pendidikan yang diterima sebagai dampak dari politik etis (Etiche Politiek). Dengan kata lain, unsur pendidikan sangatlah penting bagi pembentukan kebudayaan dan kesadaran akan kebangsaan sebagai identitas nasional.

 

     Pembentukan identitas nasional melalui pengembangan kebudayaan Indonesia telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan. Menurut Nunus Supardi (2007) kongres kebudayaan di Indonesia pernah dilakukan sejak 1918 yang diperkirakan sebagai pengaruh dari Kongres Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh dr. Radjiman Widyodiningrat. Kongres ini telah memberikan semangat bagi bangsa untuk sadar dan bangkit sebagai bangsa untuk menemukan jati diri. Kongres Kebudayaan I diselenggarakan di Solo tanggal 5-7 Juli 1918 yang terbatas pada pengembangan budaya Jawa. Namun dampaknya telah meluas sampai pada kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali. Kongres bahasa Sunda diselenggarakan di Bandung tahun 1924. Kongres bahasa Indonesia I diselenggarakan tahun 1938 di Solo. Peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kebudayaan dan kebahasaan melalui kongres telah memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan jati diri dan/atau identitas nasional.

 

     Setelah proklamasi kemerdekaan, Kongres Kebudayaan diadakan di Magelang pada 20-24 Agustus 1948 dan terakhir di Bukittinggi Sumatera Barat pada 20-22 Oktober 2003. Menurut Tilaar (2007) kongres kebudayaan telah mampu melahirkan kepedulian terhadap unsur-unsur budaya lain. Secara historis, pengalaman kongres telah banyak memberikan inspirasi yang mengkristal akan kesadaran berbangsa yang diwujudkan dengan semakin banyak berdirinya organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik. Pada tahun 1920-1930-an pertumbuhan partai politik di nusantara bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Berdirinya sejumlah organisasi kemasyarakatan bergerak dalam berbagai bidang, seperti bidang perdagangan, keagamaan hingga organisasi politik. Tumbuh dan berkembangnya sejumlah organisasi kemasyarakatan mengarah pada kesadaran berbangsa. Puncaknya para pemuda yang berasal dari organisasi kedaerahan berkumpul dalam Kongres Pemuda ke2 di Jakarta dan mengumandangkan Sumpah Pemuda.

 

     Pada saat itulah dinyatakan identitas nasional yang lebih tegas bahwa “Bangsa Indonesia mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional. Setiap kelompok bangsa di dalam negara umumnya menginginkan identitasnya dijadikan atau diangkat sebagai identitas nasional yang mungkin saja belum tentu diterima oleh kelompok bangsa yang lain. Inilah yang menyebabkan sebuah negara bangsa yang baru merdeka mengalami pertikaian internal yang berlarut-larut untuk saling mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi identitas nasional.

     Contoh; kasus negara Srilanka yang diliputi pertikaian terus menerus antara bangsa Sinhala dan Tamil sejak negara itu merdeka. Setelah bangsa Indonesia lahir dan menyelenggarakan kehidupan bernegara selanjutnya mulai dibentuk dan disepakati apa saja yang dapat dijadikan identitas nasional Indonesia. Dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini, dapat dikatakan bangsa Indonesia relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya. Demikian pula dalam proses pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas nasional. Setelah melalui berbagai upaya keras dan perjuangan serta pengorbanan di antara komponen bangsa bahkan melalui kegiatan saling memberi dan menerima di antara warga bangsa, maka saat ini Pancasila telah diterima sebagai dasar negara.

     Secara sosiologis, identitas nasional telah terbentuk dalam roses interaksi, komunikasi, dan persinggungan budaya secara alamiah baik melalui perjalanan panjang menuju Indonesia merdeka maupun melalui pembentukan intensif pasca kemerdekaan. Identitas nasional pasca kemerdekaan dilakukan secara terencana oleh Pemerintah dan organisasi kemasyarakatan melalui berbagai kegiatan seperti upacara kenegaraan dan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal atau non formal. Dalam kegiatan tersebut terjadi interaksi antaretnis, antarbudaya, antarbahasa, antargolongan yang terus menerus dan akhirnya menyatu berafiliasi dan memperkokoh NKRI.

 

     Apabila negara diibaratkan sebagai individu manusia, maka secara sosiologis, individu manusia Indonesia akan dengan mudah dikenali dari atribut yang melekat dalam dirinya. Atribut ini berbeda dari atribut individu manusia yang berasal dari bangsa lain. Perbedaan antarindividu manusia dapat diidentifikasi dari aspek fisik dan psikis. Aspek fisik dapat dikenali dari unsur- unsur seperti tinggi dan berat badan, bentuk wajah/muka, kulit, warna dan bentuk rambut, dan lain-lain. Sedangkan aspek psikis dapat dikenali dari unsur-unsur seperti kebiasaan, hobi atau kesenangan, semangat, karakter atau watak, sikap, dan lain-lain.

 

Konsep jati diri atau identitas diri sebagai refleksi dari seorang ahli berikut ini :

Soemarno Soedarsono (2002) telah megungkapkan tentang jati diri atau identitas diri dalam konteks individual. BagAda suatu ungkapan yang menyatakan bahwa baiknya sebuah negara ditentukan oleh baiknya keluarga, dan baiknya keluarga sangat ditentukan oleh baiknya individu. Merujuk pada ungkapan tersebut maka dapat ditarik simpulan bahwa identitas individu dapat menjadi representasi dan penentu identitas nasional. Oleh karena itu, secara sosiologis keberadaan identitas etnis termasuk identitas diri individu sangat penting karena dapat menjadi penentu bagi identitas nasional.

Secara politis, beberapa bentuk identitas nasional Indonesia yang dapat menjadi penciri atau pembangun jati diri bangsa Indonesia meliputi: bendera negara Sang Merah Putih, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa negara, lambang negara Garuda Pancasila, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bentuk-bentuk identitas nasional ini telah diatur dalam peraturan perundangan baik dalam UUD maupun dalam peraturan yang lebih khusus.

 

Bentuk-bentuk identitas nasional Indonesia pernah dikemukakan pula oleh Winarno (2013) sebagai berikut:

(1) Bahasa nasional atau bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia;

(2) Bendera negara adalah Sang Merah Putih;

(3) Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya;

(4) Lambang negara adalah Garuda Pancasila;

(5) Semboyan negara adalah Bhinneka Tunggal Ika;

(6) Dasar falsafah negara adalah Pancasila;

(7) Konstitusi (Hukum Dasar) Negara adalah UUD NRI 1945;

(8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(9) Konsepsi Wawasan Nusantara; dan

(10) Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional.

 

Semua bentuk identitas nasional ini telah diatur dan tentu perlu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Empat identitas nasional pertama meliputi bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam peraturan perundangan khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dasar pertimbangan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia diatur dalam undang-undang karena (1) bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (2) bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut sumber legal-formal, empat identitas nasional pertama meliputi:

1. Bendera negara Sang Merah Putih

Ketentuan tentang Bendera Negara diatur dalam UU No.24 Tahun 2009 mulai Pasal 4 sampai Pasal 24. Bendera warna merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928. Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih saat ini disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.

 

2. Bahasa Negara Bahasa Indonesia

Ketentuan tentang Bahasa Negara diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri NKRI. Bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dan kemudian diangkat dan diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai jati diri danidentitas nasional Indonesia.

 

3. Lambang Negara Garuda Pancasila

Ketentuan tentang Lambang Negara diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 46 sampai Pasal 57. Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut :

a)      dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima

b)      dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai

c)      dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai

d)      dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai

e)      dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.

 

Dengan demikian, lambang negara Garuda Pancasila mengandung makna simbol sila-sila Pancasila. Dengan kata lain, Lambang Negara yang dilukiskan dengan seekor burung Garuda merupakan satu kesatuan dengan Pancasila. Artinya, lambang negara tidak dapat dipisahkan dari dasar negara Pancasila.

 

4. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

Ketentuan tentang Lagu kebangsaan Indonesia Raya diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 58 sampai Pasal 64. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Lagu Indonesia Raya selanjutnya menjadi lagu kebangsaan yang diperdengarkan pada setiap upacara kenegaraan.

 

5. Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the founding fathers mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis yang dinamakan oleh Herbert Feith (1960), seorang Indonesianist yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai mozaic society. Seperti halnya sebuah lukisan mozaic yang beraneka warna namun karena tersusun dengan baik maka keanekaragaman tersebut dapat membentuk keindahan sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang melihatnya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara atau bangsa lain yang menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

 

6. Dasar Falsafah Negara Pancasila

Pancasila memiliki sebutan atau fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi Pancasila. Rakyat Indonesia menganggap bahwa Pancasila sangat penting karena keberadaannya dapat menjadi perekat bangsa, pemersatu bangsa, dan tentunya menjadi identitas nasional.

Pancasila hanya ada di Indonesia. Pancasila telah menjadi kekhasan Indonesia, artinya Pancasila menjadi penciri bangsa Indonesia. Siapa pun orang Indonesia atau yang mengaku sebagai warga negara Indonesia, maka ia harus punya pemahaman, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan Pancasila.  Dengan kata lain, Pancasila sebagai identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia seyogianya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa Indonesia tersebut menjadi pembeda dari cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa lain.

E. Menumbuhkan sikap anti korupsi sebagai perwujudan dari nasionalisme dan bela negara

Kesadaran bela negara menjadi bagian penting dari strategi nasional bangsa dan negara Indonesia guna menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diperoleh melalui perjuangan panjang dan penuh pengorbanan, tidak dapat dilepaskan dari peran dan kontribusi dari seluruh komponen bangsa. Negara dan bangsa Indonesia mengerahkan segenap daya upayanya dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Rakyat Indonesia bersama-sama berupaya mencapai tujuan nasional tersebut guna meraih cita- cita bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam rangka mencapai tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia tersebut dibutuhkan suatu strategi nasional guna menghadapi dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik pada tataran global, regional, maupun nasional. Setiap negara perlu memiliki strategi nasional, mengingat dinamika perkembangan lingkungan strategis tersebut tidak hanya dapat memberikan pengaruh positif berupa peluang, namunjuga dapat berpengaruh negatif berupa ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, atau yang dikenal sebagai hakikat ancaman bagi negara Indonesia.

Strategi pertahanan negara yang dapat menjamin tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus untuk merespon tantangan pertahanan negara ke depan, adalah penerapan Sistem Pertahanan Semesta dalam wujud Strategi Pertahanan Berlapis yang menyinergikan lapis pertahanan militer dengan lapis pertahanan nirmiliter. Strategi  Pertahanan Berlapis yang memadukan lapis pertahanan militer dan lapis pertahanan nirmiliter, merupakan manifestasi dari keikutsertaan seluruh warga negara Indonesia dalam upaya pertahanan negara dengan mendayagunakan segenap sumber daya nasional secara maksimal. Hal yang mendasar dari pertahanan negara yang bersifat semesta tersebut adalah perlunya kesadaran bela negara dari seluruh warga negara Indonesia dari semua lapisan masyarakat.

Kesadaran bela negara telah diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi “Setiap Warga Negara Berhak dan Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Selanjutnya dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, berbunyi “Tiap-tiap Warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara dan“.

 

Penjabaran lebih lanjut tentang pembelaan negara tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9, yang menyebutkan bahwa bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sikap dan perilaku tersebut tidak begitu saja muncul menjadi kesadaran setiap warga negara sejak lahir, sehingga perlu ditumbuhkembangkan sejak dini serta senantiasa dipelihara dan dikembangkan secara berkesinambungan melalui pembinaan kesadaran bela negara.

 

Hakikat pembinaan kesadaran bela negara adalah upaya untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme serta memiliki ketahanan nasional yang tangguh guna menjamin tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan terpeliharanya pelaksanaan pembangunan nasional dalam mencapai tujuan nasional. Terkait dengan hakikat tersebut, ada tiga pertanyaan mendasar tentang bela negara yang perlu dijawab guna lebih memahami makna dari bela negara itu sendiri. Pertama, “Apa yang harus dibela dari negara?”. UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 4 menyebutkan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.


 

( Materi 4 )

 

Esensi Dan Urgensi Identitas Nasional Sebagai Salah Satu Determinan Pembangunan Bangsa Dan Karakter

 

Setiap negara yang merdeka dan berdaulat sudah dapat dipastikan berupaya memiliki identitas nasional agar negara tersebut dapat dikenal oleh negara-bangsa lain dan dapat dibedakan dengan bangsa lain. Identitas nasional mampu menjaga eksistensi dan kelangsungan hidup negara-bangsa. Negara-bangsa memiliki kewibawaan dan kehormatan sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa lain serta akan menyatukan bangsa yang bersangkutan.

 

A. Konsep dan Urgensi Identitas Nasional

Konsep identitas nasional dibentuk oleh dua kata dasar, ialah “identitas” dan “nasional”. Kata identitas berasal dari kata “identity” (Inggris) yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1) (C,U) who or what sb/sth is; (2) (C,U) the characteristics, feelings or beliefs that distinguish people from others; (3) the state of feeling of being very similar to and able to understand sb/sth. Dalam kamus maya Wikipedia dikatakan “identity is an umbrella term used throughout the social sciences to describe a person's conception and expression of their individuality or group affiliations (such as national identity and cultural identity). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri.

Dengan demikian identitas menunjuk pada ciri atau penanda yang dimiliki oleh sesorang, pribadi dan dapat pula kelompok. Penanda pribadi misalkan diwujudkan dalam beberapa bentuk identitas diri, misal dalam Kartu Tanda Penduduk, ID Card, Surat Ijin Mengemudi, Kartu Pelajar, Kartu Mahasiswa dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi penduduk yang telah memiliki penghasilan. Kata nasional berasal dari kata “national” (Inggris) yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1) connected with a particular nation; shared by a whole nation; (2) owned, controlled or financially supported by the federal, government. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nasional” berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, identitas nasional lebih dekat dengan arti jati diri yakniciri-ciri atau karakeristik, perasaan atau keyakinan tentang kebangsaan yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Apabila bangsa Indonesia memiliki identitas nasional maka bangsa lain akan dengan mudah mengenali dan mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain C. Soedarsono (2002) menyatakan “Jati diri adalah siapa diri Anda sesungguhnya.”

Makna identitas dalam konteks ini digambarkan sebagai jati diri individu manusia. Jati diri sebagai sifat dasar manusia. Dinyatakannya bahwa jati diri merupakan lapis pertama yang nantinya menentukan karakter seseorang dan kepribadian seseorang. Identitas nasional bagi bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut dan norma dasar yang dijadikan pedoman untuk berperilaku. Semua identitas ini akan menjadi ciri yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia, jati diri tersebut dapat tersimpul dalam ideologi dan konstitusi negara, ialah Pancasila dan UUD NRI 1945. Menurut Kaelan (2002) jati diri bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak, dan ciri masyarakat Indonesia. Ada sejumlah ciri yang menjadi corak dan watak bangsa yakni sifat religius, sikap menghormati bangsa dan manusia lain, persatuan, gotong royong dan musyawarah, serta ide tentang keadilan sosial. Nilai-nilai dasar itu dirumuskan sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan sebagai jati diri bangsa sekaligus identitas nasional. Pancasila sebagai jati diri bangsa akan menunjukkan identitas kita selaku bangsa Indonesia yakni ada unsur kesamaan yang memberi ciri khas kepada masyarakat Indonesia dalam perkembangannya dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kepribadian tersebut mampu memunculkan keunikan masyarakat Indonesia ketika berhubungan dengan masyarakat bangsa lain. Dengan demikian, Pancasila sebagai jati diri bangsa yang bermakna kepribadian, identitas dan keunikan, dapat terwujud sebagai satu kesatuan

 

B. Alasan Mengapa Diperlukan Identitas Nasional

Identitas nasional rakyat Indonesia telah dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh rakyat Indonesia sehingga manusia Indonesia yang berkepribadian Pancasila tersebut memiliki pembeda bila dibandingkan dengan bangsa lain. Pembeda yang dimaksud adalah kekhasan positif, yakni ciri bangsa yang beradab, unggul, dan terpuji, bukanlah sebaliknya yakni kekhasan yang negatif, bangsa yang tidak beradab, bangsa yang miskin, terbelakang, dan tidak terpuji.

 

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Identitas Nasional Indonesia

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang identitas nasional menurut sumber historis, sosiologis, dan politis, kita terlebih dahulu akan mencermati dahulu dua jenis identitas, yakni identitas primer dan sekunder (Tilaar, 2007; Winarno, 2013). Identitas primer dinamakan juga identitas etnis yakni identitas yang mengawali terjadinya identitas sekunder, sedangkan identitas sekunder adalah identitas yang dibentuk atau direkonstruksi berdasarkan hasil kesepakatan bersama.

Secara historis, identitas nasional Indonesia ditandai ketika munculnya kesadaran rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sedang dijajah oleh asing pada tahun 1908 yang dikenal dengan masa Kebangkitan Nasional (Bangsa). Pada saat itu muncullah kesadaran untuk bangkit membentuk sebuah bangsa. Kesadaran ini muncul karena pengaruh dari hasil pendidikan yang diterima sebagai dampak dari politik etis (Etiche Politiek). Dengan kata lain, unsur pendidikan sangatlah penting bagi pembentukan kebudayaan dan kesadaran akan kebangsaan sebagai identitas nasional. Pembentukan identitas nasional melalui pengembangan kebudayaan Indonesia telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan. Menurut Nunus Supardi (2007) kongres kebudayaan di Indonesia pernah dilakukan sejak 1918 yang diperkirakan sebagai pengaruh dari Kongres Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh dr. Radjiman Widyodiningrat.

 

·         Kongres Kebudayaan I diselenggarakan di Solo tanggal 5-7 Juli 1918 yang terbatas pada pengembangan budaya Jawa. Namun dampaknya telah meluas sampai pada kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali. Kongres bahasa Sunda diselenggarakan di Bandung tahun 1924.

·         Kongres bahasa Indonesia I diselenggarakan tahun 1938 di Solo. Peristiwa- peristiwa yang terkait dengan kebudayaan dan kebahasaan melalui kongres telah memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan jati diri dan/atau identitas nasional.

·         Setelah proklamasi kemerdekaan, Kongres Kebudayaan diadakan di Magelang pada 20-24 Agustus 1948 dan terakhir di Bukittinggi Sumatera Barat pada 20-22 Oktober 2003.

 

Menurut Tilaar (2007) kongres kebudayaan telah mampu melahirkan kepedulian terhadap unsur-unsur budaya lain. Secara historis, pengalaman kongres telah banyak memberikan inspirasi yang mengkristal akan kesadaran berbangsa yang diwujudkan dengan semakin banyak berdirinya organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik.  Pada tahun 1920-1930-an berdirinya sejumlah organisasi kemasyarakatan bergerak dalam berbagai bidang, seperti bidang perdagangan, keagamaan hingga organisasi politik. Tumbuh dan berkembangnya sejumlah organisasi kemasyarakatan mengarah pada kesadaran berbangsa. Puncaknya para pemuda yang berasal dari organisasi kedaerahan berkumpul dalam Kongres Pemuda ke-2 di Jakarta dan mengumandangkan Sumpah Pemuda. Pada saat itulah dinyatakan identitas nasional yang lebih tegas bahwa “Bangsa Indonesia mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional.

 

Secara sosiologis, identitas nasional telah terbentuk dalam proses interaksi, komunikasi, dan persinggungan budaya secara alamiah baik melalui perjalanan panjang menuju Indonesia merdeka maupun melalui pembentukan intensif pasca kemerdekaan. Identitas nasional pasca kemerdekaan dilakukan secara terencana oleh Pemerintah dan organisasi kemasyarakatan melalui berbagai kegiatan seperti upacara kenegaraan dan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal atau non formal. Dalam kegiatan tersebut terjadi interaksi antaretnis, antarbudaya, antarbahasa, antargolongan yang terus menerus dan akhirnya menyatu berafiliasi dan memperkokoh NKRI.

Secara politis, Bentuk-bentuk identitas nasional ini telah diatur dalam peraturan perundangan baik dalam UUD maupun dalam peraturan yang lebih khusus. Bentuk - bentuk identitas nasional Indonesia pernah dikemukakan pula oleh Winarno (2013) sebagai berikut:

(1) Bahasa nasional atau bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia;

(2) Bendera negara adalah Sang Merah Putih;

(3) Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya;

(4) Lambang negara adalah Garuda Pancasila;

(5) Semboyan negara adalah Bhinneka Tunggal Ika;

(6) Dasar falsafah negara adalah Pancasila;

(7) Konstitusi (Hukum Dasar) Negara adalah UUD NRI 1945;

(8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(9) Konsepsi Wawasan Nusantara; dan

(10) Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional.

 

Semua bentuk identitas nasional ini telah diatur dan tentu perlu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Empat identitas nasional pertama meliputi bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam peraturan perundangan khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.  

 

ØBendera Negara Sang Merah Putih

Ketentuan tentang Bendera Negara diatur dalam UU No.24 Tahun 2009 mulai Pasal 4 sampai Pasal 24. Bendera warna merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928.

 

ØBahasa Negara Bahasa Indonesia

Ketentuan tentang Bahasa Negara diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri NKRI. Bahasa Indonesia berasal dari  rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dan kemudian diangkat dan diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.

 

ØLambang Negara Garuda Pancasila

Ketentuan tentang Lambang Negara diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 46 sampai Pasal 57. Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut :

 

a. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;

b. Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;

c. Dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai;

d. Dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai; dan

e. Dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.

 

ØLagu Kebangsaan Indonesia Raya

Ketentuan tentang Lagu kebangsaan Indonesia Raya diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 58 sampai Pasal 64. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.

 

ØSemboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the founding fathers mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis yang dinamakan oleh Herbert Feith (1960), Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara atau bangsa lain yang menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

 

ØDasar Falsafah Negara Pancasila

Pancasila memiliki sebutan atau fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi Pancasila.  Pancasila sebagai identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia seyogianya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa Indonesia tersebut menjadi pembeda dari cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa lain

 

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional Indonesia

 

Kasus dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan tantangan dan masalah yang dihadapi terkait dengan Pancasila, sebagai berikut

·         Nilai-nilai luhur dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (contoh: rendahnya semangat gotong royong, kepatuhan hukum, kepatuhan membayar pajak, kesantunan, kepedulian, dan lainlain)

·         Nilai –nilai Pancasila belum menjadi acuan sikap dan perilaku sehari-hari (perilaku jalan pintas, tindakan serba instan, menyontek, plagiat, tidak disiplin, tidak jujur, malas, kebiasaan merokok di tempat umum, buang sampah sembarangan, dan lain-lain)

·         Rasa nasionalisme dan patriotisme yang luntur dan memudar (lebih menghargai dan mencintai bangsa asing, lebih mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga dengan prestasi bangsa sendiri, lebih bangga menggunakan produk asing daripada produk bangsa sendiri, dan lain-lain)

·         Lebih bangga menggunakan bendera asing dari pada bendera merah putih, lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Indonesia.

·         Menyukai simbol-simbol asing daripada lambang/simbol bangsa sendiri, dan lebih mengapresiasi dan senang menyanyikan lagu-lagu asing daripada mengapresiasi lagu nasional dan lagu daerah sendiri.

 

Disadari bahwa rendahnya pemahaman dan menurunnya kesadaran warga negara dalam bersikap dan berperilaku menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya pada era reformasi bangsa Indonesia bagaikan berada dalam tahap disintegrasi karena tidak ada nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama. Padahal bangsa Indonesia telah memiliki nilainilai luhur yang dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yakni Pancasila. Warisan agung yang tak ternilai harganya dari para the founding fathers adalah Pancasila. Bangsa Indonesia perlu didorong agar menjadi bangsa yang beretos kerja tinggi, rajin, tekun, ulet, tidak malas, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Semua nilai-nilai tersebut telah tercakup dalam Pancasila sehingga pada akhirnya semua permasalahan akan terjawab apabila bangsa Indonesia mampu dan berkomitmen untuk mengamalkan Pancasila.

 

Pada hakikatnya, semua unsur formal identitas nasional, baik yang langsung maupun secara tidak langsung diterapkan, perlu dipahami, diamalkan, dan diperlakukan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Permasalahannya terletak pada sejauh mana warga negara Indonesia memahami dan menyadari dirinya sebagai warga negara yang baik yang beridentitas sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, warga negara yang baik akan berupaya belajar secara berkelanjutan agar menjadi warga negara bukan hanya baik tetapi cerdas (to be smart and good citizen).

 

E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Identitas Nasional Indonesia

Mengapa identitas nasional itu penting bagi sebuah negara-bangsa? Pada dasarnya, jawabannya hampir sama dengan pentingnya identitas bagi diri individu manusia.

·         Pertama, agar bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa lain. Apabila kita sudah dikenal oleh bangsa lain maka kita dapat melanjutkan perjuangan untuk mampu eksis sebagai bangsa sesuai dengan fitrahnya.

·         Kedua, identitas nasional bagi sebuah negara-bangsa sangat penting bagi kelangsungan hidup negarabangsa tersebut. Tidak mungkin negara dapat hidup sendiri sehingga dapat eksis. Setiap negara memiliki keterbatasan sehingga perlu bantuan/pertolongan negara/bangsa lain. Oleh karena itu, identitas nasional sangat penting untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan nasional negara - bangsa Indonesia.

·         Ketiga, identitas nasional penting bagi kewibawaan negara dan bangsa Indonesia. Dengan saling mengenal identitas, maka akan tumbuh rasa saling hormat, saling pengertian (mutual understanding), tidak ada stratifikasi dalam kedudukan antarnegara-bangsa. Dalam berhubungan antarnegara tercipta hubungan yang sederajat / sejajar, karena masingmasing mengakui bahwa setiap negara berdaulat tidak boleh melampaui kedaulatan negara lain.

(Materi 5)

 

Nilai Dan Norma Konstitusional UUD NRI 1945 Dan Konstitusionalitas Ketentuan Perundang - Undangan Di Bawah UUD

 

 

A. Konsep dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

 

1. Pengertian konstitusi

Menurut pandangan Lord James Bryce yang dimaksud dengan Konstitusi adalah suatu kerangka negara yang diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap dengan mengakui fungsi-fungsi dan hak-haknya. Pendek kata bahwa konstitusi itu menurut pandangannya merupakan kerangka negara yang diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap (permanen), dan yang menetapkan fungsi-fungsi dan hak-hak dari lembaga-lembaga permanen tersebut. Sehubungan dengan itu C.F. Strong yang menganut paham modern secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar.

 

Rumusan yang dikemukakannya adalah konstitusi itu merupakan satu kumpulan asas-asas mengenai kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya (pemerintah dan yang diperintah dalam konteks hak-hak asasi manusia). Konstitusi semacam ini dapat diwujudkan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi dapat pula berupa a bundle of separate laws yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara. Rumusan C.F. Strong ini pada dasarnya sama dengan definisi Bolingbroke (Astim Riyanto, 2009).

 

Pengertian tentang konstitusi dalam arti sempit dan konstitusi dalam arti luas:

a. Dalam arti sempit, konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara.

b. Dalam arti luas, konstitusi merupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan

 

2. Tujuan Konstitusi

1. Konstitusi berfungsi sebagai landasan kontitusionalisme. Landasan konstitusionalisme adalah landasan berdasarkan konstitusi, baik konstitusi dalam arti luas maupun konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi undang-undang dasar, undang - undang organik, peraturan perundang-undangan lain, dan konvensi. Konstitusi dalam arti sempit berupa Undang-Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).

 

2. Konstitusi berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warganegara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme, yang oleh Carl Joachim Friedrich dijelaskan sebagai gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Thaib dan Hamidi, 1999).

 

3. Konstitusi berfungsi:

(a) membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasa agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya;

(b) memberi suatu rangka dasar hukum bagi perubahan masyarakat yang dicitacitakan tahap berikutnya;

(c) dijadikan landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem ketatanegaraan tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya;

(d) menjamin hak-hak asasi warga negara.

 

B. Alasan Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Konstitusi diperlukan dalam kehidupan berbangsa-negara yaitu agar dapat membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa negara. Konstitusi negara di satu sisi dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaran negara dan di sisi lain untuk menjamin hak - hak dasar warga negara. Seorang ahli konstitusi berkebangsaan Jepang Naoki Kobayashi mengemukakan bahwa undang-undang dasar membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak rakyat.Melalui fungsi ini undang-undang dasar dapat memberi sumbangan kepada perkembangan dan pembinaan tatanan politik yang demokratis (Riyanto, 2009).Aturan dasar yang terdapat dalam UUD NKRI 1945 Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. UUD NKRI Tahun 1945.Dalam rentetan sejarah penegakkan HAM akan di temukan beberapa peristiwa yang melahirkan berbagai dokumen HAM.

 

Eksistensi konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara merupakan sesuatu hal yang sangat krusial,karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara.Dalam lintasan sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang tidak memiliki konstitusi.Hal ini menunjukkan betapa urgenya konstitusi sebagai suatu perangkat negara. Konstitusi dan negara ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.

 

Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen dalam tatanan kehidupan ketatanegaraan,karena konstitusi merupakan sekumpulan aturan yang mengatur organisasi negara,serta hubungan antara negara dan warga negara sehingga saling menyesuaikan diri dan saling bekerjasama Dr.A.Hamid S.Attamimi menegaskan – seperti yang dikutip Thaib – bahwa konstitusi atau Undang –Undang Dasar merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus dipakai sebagai pegangan dalam mengatur bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.

 

Sejalan dengan perlunya konstitusi sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan dalam suatu negara, Meriam Budiardjo mengatakan:

“Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,Undang – undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenwng –wenang .Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi”.(Budiardjo,1978:96)

 

Dalam konteks pentingnya konstitusi sebagai pemberi batas kekuasaan tersebut, Kusnardi menjelaskan

“bahwa konstitusi dilihat dari fungsinya terbagi dalam dua (2) bagian, yakni membagi kekuasaan dalam negara, dan membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara”. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan,maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang mendapatkan bagaimana kekuasaan dibagi diantara beberapa lembaga kenegaraan,seperti antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain sebagai pembatas kekuasaan ,konstitusi juga dugunakan sebagai alat untuk menjamin hak hak warga negara. Hak hak tersebut mencakup hak-hak asasi, seperti hak untuk hidup, kesejahteraan hidup hak kebebasan.

 

Dari beberapa pakar yang menjelaskan mengenai urgensi konstitusi dalam sebuah negara,maka secara umum dapat dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam suatu negara merupakan suatu keniscayaan,karena dengan adanya konstitusi akan tercipta pembatasan kekuasaan melain pembagian wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan negara.Selain itu,adanya konstitusi juga menjadi suatu hal sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga negara,sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang –wenang dari pemerintah.

 

Konstitusi adalah sarana dasar untuk mengawasi proses kekuasaan. Oleh karena itu, Setiap konstitusi mempunyai beberapa peranan yaitu :

·         Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik

·         untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa,dan menetapkan bagi penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka, sehingga tidak terdapat kekuasaan yang semena – mena.

·         Untuk membatasi kesewenang-wenangan tindakan pemerintah untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.

·         Konstitusi bertujuan untuk mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan. Sehingga dimana ada organisasi negara dan kebutuhan menyusun suatu pemerintahan negara, maka akan diperlukan konstitusi.

·         Konstitusi mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara karena konstitusi menjadi barometer(ukuran) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, juga merupakan ide-ide dasar yang digariskan penguasa negara untuk mengemudikan suatu negara.

·         Konstitusi menggambarkan struktur negara dan sistem kerja yang ada diantara lembaga-lembaga negara.Konstitusi menjelaskan kekuasaan dan kewajiban pemerintah sekaligus membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang- wenang dalam bertindak.

·         Dari berbagai penjelasan tentang tujuan konstitusi diatas, dapat dikatakan bahwa tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara.

 

Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

 

C. Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

 

Contoh dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara memuat aturan-aturan dasar sebagai berikut:

1.      Pedoman bagi Presiden dalam memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4, Ayat 1).

2.      Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Pasal 6 Ayat 1).

3.      Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7)

4.      Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B).

5.      Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C).

6.      Pernyataan perang, membuat pedamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 3).

7.      Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12)

8.      Mengangkat dan menerima duta negara lain (Pasal 13 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat3).

9.      Pemberian grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 Ayat 1).

10.  Pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 Ayat 2).

11.  Pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lan tanda kehormatan (Pasal 15).

12.  Pembentukan dewan pertimbangan (Pasal 16).

 

Semua pasal tersebut berisi aturan dasar yang mengatur kekuasaan Presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah seharihari.

Aturan-aturan dasar dalam UUD NRI 1945 tersebut merupakan bukti adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana jadinya jika kekuasaan pemerintah tidak dibatasi. Tentu saja penguasa akan memerintah dengan sewenang - wenang.

 

Setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang - wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Inilah alasan mengapa diperlukan konstitusi dalam kehidupan berbangsa-negara Indonesia, yakni untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak memerintah dengan sewenang-wenang.Konstitusi juga diperlukan untuk membagi kekuasaan dalam negara.

 

Pandangan ini didasarkan pada fungsi konstitusi yang salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan dalam Negara.Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.

 

J. G. Steenbeek mengemukakan bahwa sebuah konstitusi sekurang-kurangnya bermuatan hal-hal sebagai berikut (Soemantri, 1987):

§Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga Negara

§Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yg bersifat fundamental

§Adanya pembagian dan pembatasan tugas kenegaraan yg juga bersifat fundamental. K.C. Wheare menegaskan bahwa dalam sebuah negara kesatuan yang perlu diatur dalam konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri, 1987)

 

K.C. Wheare menegaskan bahwa dalam sebuah negara kesatuan yang perlu diatur dalam  konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri, 1987):

§Struktur umum negara, seperti pengaturan kekuasaan eksekutif, kekuasaan  legislatif, dan kekuasaan yudisial.

§Hubungan – dalam garis besar – antara kekuasaan-kekuasaan tersebut satu sama

lain.

§Hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut dengan rakyat atau warga Negara.

 

A.A.H. Struycken menyatakan bahwa konstitusi dalam sebuah dokumen formal berisikan hal-ahal sebagai berikut (Soemantri, 1987):

§Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yg lampau

§Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

§Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu  sekarang maupun untuk masa yang akan datang

§Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

 

Miriam Budiardjo (2003) mengemukakan bahwa setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan tentang:

§Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. (b) Hak-hak asasi manusia.

§Prosedur mengubah UUD.

§Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

 

Hal-hal yang dimuat dalam konstitusi atau UUD

1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,  eksekutif, dan yudikatif: Pada negara federal, pembagian kekuasaan antara  pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan.

2. Hak-hak asasi manusia. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XA, Pasal 28A sampai Pasal 28 J.

3. Prosedur mengubah UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XVI, Pasal 37 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.

4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. UUD Federal Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme dari UUD oleh karena dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam UUD NRI 1945, misalnya diatur mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak akan mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).

5. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat (spirit) yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu. Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan keinginan untuk memperkokoh penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan dalam Permulaan UUD:“Kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu Uni yang lebih sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika Serikat”.

 

D. Argument tentang Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Konstitusi yang pernah berlaku di indonesia

 

§UUD NRI 1945(Masa Kemerdekaan) 18 Agustus 1945 sampai dengan Agustus 1950, dengan catatan, mulai 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus hanya berlaku di wilayah RI Proklamasi

§Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 sampai dengan 17Agustus 1950

§UUDS 1950 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959

§UUD NRI 1945 (Masa Orde Lama) 5 Juli 1959 sampai dengan 1965

§UUD NRI 1945 (Masa Orde Baru) 1966 sampai dengan 1998

 

Pada pertengahan 1997, negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia ketika itu merupakan suatu tantangan yang sangat berat. Akibat dari krisis tersebut adalah harga-harga melambung tinggi, sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, terutama Dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi

seperti itu, pemerintah berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah.

 

Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya. Berhentinya Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi di tanah air. Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda.

 

Beberapa tuntutan reformasi itu adalah:

a. mengamandemen UUD NRI 1945,

b. menghapuskan doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,

c. menegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),

d. melakukan desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah,

e. mewujudkan kebebasan pers,

f. mewujudkan kehidupan demokrasi.

 

Dalam perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan, yakni:

a. Perubahan Pertama, pada Sidang Umum MPR 1999.

b. Perubahan Kedua, pada Sidang Tahunan MPR 2000.

c. Perubahan Ketiga, pada Sidang Tahunan MPR 2001.

d. Perubahan Keempat, pada Sidang Tahunan MPR 2002.

 

Perubahan UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh MPR, selain merupakan perwujudan dari tuntutan reformasi, sebenarnya sejalan dengan pemikiran pendiri bangsa (founding father) Indonesia.

 

E. Esensi dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Hasil perubahan UUD NRI 1945

 

a. Perubahan Pertama UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Umum MPR 1999 (tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999).

b. Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2000 (tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000).

c. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR

d. 2001 (tanggal 1 sampai 9 November 2001)

e. Perubahan Keempat UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2002 (tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002).

 

Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD NRI 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Perubahan UUD NRI 1945 yang berhasil dilakukan mencakup 21 bab, 72 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Ada enam pasal yang tidak mengalami perubahan, yaitu Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 25, Pasal 29, dan Pasal 35.

 

Dalam negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (konstitusi). Dengan demikian konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi adalah konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara. UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia memiliki kedudukan sebagai hukum tertinggi dan hukum dasar negara. Sebagai hukum tertinggi negara, UUD NRI 1945 menduduki posisi paling tinggi dalam

jenjang norma hukum di Indonesia. Sebagai hukum dasar, UUD NRI 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

 

Sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi negara, maka peraturan perundangan di bawah UUD NRI 1945, isinya bersumber dan tidak boleh bertentangan dengannya. Misal isi norma suatu pasal dalam undangundang, tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI. Dengan demikian UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara menjadi batu uji apakah isi peraturan di bawahnya bertentangan atau tidak. Undang-undang pada dasarnya adalah pelaksanaan daripada norma-norma yang terdapat dalam undang-undang dasar. Misal Pasal 31 Ayat 3 UUD NRI 1945 menyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang”.

 

Berdasar hal di atas, disusunlan undang-undang pelaksanaanya yakni Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena Secara normatif undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka jika ditemukan suatu norma dalam undangundang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dapat melahirkan persoalan konstitusionalitas undang-undang tersebut terhadap UUD NRI 1945.

Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga negara yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD NRI 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu baik dari segi formal ataupun material terhadap

UUD.

 

Uji material menyangkut pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Uji formal menyangkut pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian material.

Warga negara baik secara perseorangan atau kelompok dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

 

Salah satu contoh nyata hasil perubahan konstitusi kita yang sangat penting bagi upaya penyediaan dana pembangunan nasional yakni dalam hal pajak di mana dalam Pasal 23A berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pasal ini menegaskan perihal pentingnya pajak bagi keberlangsungan kehidupan negara-bangsa. Oleh karenanya setiap warga negara hendaknya menyadari atas kewajibannya dalam membayar pajak tersebut.

 

 


 

(Materi 6 – 7)

Harmoni Kewajiban Dan Hak Negara Dan Warganegara Dalam Demokrasi Yang Bersumbu Pada Kedaulatan Rakyat Dan Musyawarah Untuk Mufaka

 

A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Dalam tradisi budaya

Indonesia semenjak dahulu, tatkala wilayah Nusantara ini diperintah raja-raja, kita lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Konsep kewajiban selalu menjadi landasan aksiologis dalam hubungan rakyat dan penguasa. Rakyat wajib patuh kepada titah raja tanpa reserve sebagai bentuk penghambaan total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara, baik pada masa penjajahan Belanda yang demikian lama maupun masa pendudukan Jepang yang relatif singkat. Horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lambat laun terbentuklah mekanisme mengalahkan diri dalam tradisi budaya nusantara. Bahkan dalam tradisi Jawa, alasan kewajiban mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka masih asing terhadap diskursus hak.

Istilah kewajiban jauh lebih akrab dalam dinamika kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan hal ini dalam buku-buku sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara. Walaupun demikian dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik melawan petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011). Aksi-aksi perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli dalam buku Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka.

Tak hanya itu, ide tentang Ratu Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis. Perjuangan melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan kita tidak hanya berkutat pada ranah kewajiban an sich. Para pejuang kemerdekaan melawan kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan dijarah. Situasi perjuangan merebut kemerdekaan yang berpanta rei, sambung menyambung dan tanpa henti, sejak perjuangan yang bersifat kedaerahan, dilanjutkan perjuangan menggunakan organisasi modern, dan akhirnya perang kemerdekaan memungkinkan kita sekarang ini lebih paham akan budaya hak daripada kewajiban. Akibatnya tumbuhlah mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika perlu dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi ketika dituntut untuk menunaikan kewajiban malah tidak mau.

Dalam sosiologi konsep ini dikenal dengan istilah “strong sense of entitlement”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu dan bagaimanakah hubungan keduanya. Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain mana pun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban dengan demikian merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro, 1975). Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.

Menurut “teori korelasi” yang dianut oleh pengikut utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Hal ini sejalan dengan filsafat kebebasannya Mill (1996) yang menyatakan bahwa lahirnya hak Asasi Manusia dilandasi dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Hak kebebasan seseorang, menurutnya, tidak boleh dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri. Kebebasan menurut Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas atas dasar kemauan sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, namun pebuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka jika hanya menekankan pada hak dan mengabaikan kewajiban maka akan melahirkan persoalan-persoalan. Persoalan-persoalan apa sajakah yang akan muncul? Akankah hal itu merugikan solidaritas dalam masyarakat? Akankah hak menempatkan individu di atas masyarakat? Akankah hal itu kontraproduktif untuk kehidupan sosial? Akankah ia memberi angin pada individualsme? Padahal, manusia itu merupakan anggota masyarakat dan tidak boleh tercerabut dari akar sosialnya.

Hanya dalam lingkungan masyarakatlah, manusia menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dalam sejarah peradaban umat manusia inovasi hanya muncul ketika manusia berhubungan satu sama lain dalam arena sosial. Contoh, Roda pertama kali ditemukan di Mesopotamia, yakni roda pembuat tembikar di Ur pada 3500 tahun SM. Selanjutnya pemakaian roda untuk menarik kereta kuda ditemukan di selatan Polandia pada tahun 3350 SM. Roda pada awalnya hanya terbuat dari kayu cakram yang dilubangi untuk as. Sampai Celtic memperkenalkan pemakaian pelek besi di sekitar roda. Model Celtic ini digunakan sampai tahu 1870-an tanpa perubahan yang berarti sampai ditemukakannya ban angin dan ban kawat. Sampai sekarang roda digunakan secara luas mulai dari sepeda sampai turbin pesawat.

Muncul pertanyaan, apakah dengan mengakui hak-hak manusia berarti menolak masyarakat? Mengakui hak manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti masyarakat itu dengan suatu kumpulan individu tanpa hubungan satu sama lain. Yang ditolak dengan menerima hak-hak manusia adalah totaliterisme, yakni pandangan bahwa negara mempunyai kuasa absolut terhadap warganya. Paham ini sempat dianut oleh negara Fasis Jerman dibawah Hitler dan Italia dibawah Musolini, di mana negara mempunyai kuasa absolut terhadap seluruh warga negaranya, serta Jepang pada masa Teno Heika, yang menempatkan Kaisar sebagai pemilik kuasa absolut terhadap rakyatnya (Alisjahbana, 1978). Dengan demikian pengakuan hak-hak manusia menjamin agar negara tidak sampai menggilas individu-individu.

Kalah dan Menang menceritakan peristiwa-peristiwa selama Perang Dunia II, pendudukan Jepang di Indonesia serta perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Roman ini mempertentangkan jiwa humanisme dalam bentuk seorang cendekiawan Swiss dengan Roman jiwa bushido Jepang dalam bentuk seorang samurai. Bagaimana kisah selanjutnya? Berdasarkan uraian di atas, konsep apa yang perlu diusung dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia? Konsep yang perlu diusung adalah menyeimbangkan dalam menuntut hak dan menunaikan kewajiban yang melekat padanya.

Yang menjadi persoalan adalah rumusan aturan dasar dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak-hak dasar warga negara, sebagian besar tidak dibarengi dengan aturan dasar yang menuntut kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Padahal sejatinya dalam setiap hak melekat kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban menghormati hak orang lain. Coba Anda periksa naskah UUD NRI Tahun 1945, pasal-pasal mana saja yang berisi aturan dasar tentang hak dan sekaligus juga berisi aturan dasar mengenai kewajiban warga negara. Jika hubungan warga negara dengan negara itu bersifat timbal balik, carilah aturan atau pasal–pasal dalam UUD NRI 1945 yang menyebut hak-hak negara dan kewajiban negara terhadap warganya.

Sebagai contoh hak dan kewajiban warga negara yang bersifat timbal balik atau resiprokalitas adalah hak warga negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 Ayat 2, UUD 1945). Atas dasar hak ini, negara berkewajiban memberi pekerjaan dan penghidupan bagi warga negara. Untuk merealisasikan pemenuhan hak warga negara tersebut, pemerintah tiap tahun membuka lowongan pekerjaan di berbagai bidang dan memberi subsidi kepada rakyat. Guna merealisasikan kewajiban warga negara, negara mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengikat warga negara dan menjadi kewajiban warga negara untuk memenuhinya.

Salah satu contoh kewajiban warga negara terpenting saat ini adalah kewajiban membayar pajak (Pasal 23A, UUD 1945). Hal ini dikarenakan saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan. Tanpa adanya sumber pendapatan pajak yang besar maka pembiayaan pengeluaran negara akan terhambat. Pajak menyumbang sekitar 74,63 % pendapatan negara.

Jadi membayar pajak adalah contoh kewajiban warga negara yang nyata di era pembangunan seperti sekarang ini. Dengan masuknya pendapatan pajak dari warga negara maka pemerintah negara juga akan mampu memenuhi hak warga negara yakni hak mendapatkan penghidupan yang layak. Gambar resiprokal hak dan kewajiban masyarakat vs negara terlihat pada Gambar V.4 dan Gambar V.5.

 

B. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia

Pada uraian di atas Anda telah memperoleh pemahaman bahwa tradisi budaya Indonesia semenjak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Mekanismenya adalah kepatuhan tanpa reserve rakyat terhadap penguasa dalam hal ini raja atau sultan sebagai bentuk penghambaan secara total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara di mana horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Dua kekuatan inilah yang mengkonstruksi pemikiran rakyat di Nusantara untuk mengedepankan kewajiban dan dalam batas-batas tertentu melupakan pemerolehan hak, walaupun pada kenyataannya bersifat temporal karena sebagaimana terekam dalam Max Havelaar rakyat yang tertindas akhirnya memberontak menuntut hak-hak mereka. Pergerakan budaya rupanya mengikuti dinamika kehidupan sosial politik di mana tatkala hegemoni kaum kolonial mulai dipertanyakan keabsahannya maka terjadilah perlawanan kaum tertindas dimana-mana menuntut hakhaknya yang dirampas.

Sejak itulah konsep hak mulai lebih mengemuka dan menggantikan konsep kewajiban yang mulai meredup. Dewasa ini kita menyaksikan fenomena yang anomali di mana orang-orang menuntut hak dengan sangat gigih dan jika perlu dilakukan dengan kekerasan, namun pada saat tiba giliran untuk menunaikan kewajiban mereka itu tampaknya kehilangan gairah.

Dari dua keadaan yang kontras tersebut tentu saja memunculkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, lebih penting manakah kewajiban atau hak? Mana yang benar melaksanakan kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak? Atau sebaliknya menikmati hak terlebih dahulu baru menunaikan kewajiban? Atau mengharmonikan kewajban dengan hak? Bagaimana caranya mengharmonikan kewajiban dengan hak tersebut?

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia

1. Sumber Historis

Secara historis perjuangan menegakkan hak asasi manusia terjadi di dunia Barat (Eropa). Adalah John Locke, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang pertama kali merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Coba Anda pelajari lebih jauh ihwal kontribusi John Locke terhadap perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia.

Perkembangan selanjutnya ditandai adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Perancis. Anda tentu saja telah mengenal ketiga peristiwa besar tersebut. Namun agar pemahaman Anda semakin baik, simaklah ulasan singkat dari ketiga peristiwa tersebut berikut ini.

a. Magna Charta (1215)

Piagam perjanjian antara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.

b. Revolusi Amerika (1276)

Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli1776 merupakan hasil dari revolusi ini.

c. Revolusi Prancis (1789)

Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).

Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedoms). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi: a. kebebasan untuk beragama (freedom of religion),

b. kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech),

c. kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan

d. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Hak asasi manusia kini sudah diakui seluruh dunia dan bersifat universal, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia dan tidak lagi menjadi milik negara Barat. Sekarang ini, hak asasi manusia telah menjadi isu kontemporer di dunia. PBB pada tanggal 10 Desember 1948 mencanangkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Bagaimana dengan sejarah perkembangan HAM di Indonesia? Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di Indonesia dibagi dalam dua periode (Manan, 2001), yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908–1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945–sekarang).

Pada tahun 1997, Interaction Council mencanangkan suatu naskah, berjudul Universal Declaration of Human Responsibilities (Deklarasi Tanggung Jawab Manusia). Naskah ini dirumuskan oleh sejumlah tokoh dunia seperti Helmut Schmidt, Malcom Fraser, Jimmy Carter, Lee Kuan Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi yang bekerja selama sepuluh tahun sejak bulan Maret 1987. Mengapa muncul deklarasi ini? Dinyatakan bahwa deklarasi ini diadakan karena di Barat ada tradisi menjunjung tinggi kebebasan dan individualis, sedang di dunia Timur, konsep tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Konsep kewajiban berfungsi sebagai penyeimbang antara kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih terkait dengan kebebasan, sedang kewajiban terkait dengan tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan sikap moral berfungsi sebagai kendala alamiah dan sukarela terhadap kebebasan yang dimiliki orang lain.

Dalam setiap masyarakat tiada kebebasan tanpa pembatasan. Maka dari itu lebih banyak kebebasan yang kita nikmati, lebih banyak pula tanggung jawab terhadap orang lain maupun diri sendiri. Lebih banyak bakat yang kita miliki lebih besar tanggung jawab kita untuk mengembangkannya. Dihimbau agar hak atas kebebasan tidak menuju pada sikap hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan kebebasan orang lain. Dianjurkan agar orang yang memiliki hak juga berusaha aktif agar orang lain juga dapat menikmati hak itu. Dikatakan pula bahwa “kita harus melangkah dari ‘kebebasan untuk tidak peduli’ menuju ‘kebebasan untuk melibatkan diri’”.

Prinsip dasar deklarasi ini adalah tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembang rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu tumbuh. Untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah emas (Golden Rule) yang perlu diperhatikan yakni. “Berbuatlah terhadap orang lain, seperti Anda ingin mereka berbuat terhadap Anda”.

Dalam bagian Preambule naskah dikatakan bahwa terlalu mengutamakan hak secara ekslusif dapat menimbulkan konflik, perpecahan, dan pertengkaran tanpa akhir, di lain pihak mengabaikan tanggung jawab manusia dapat menjurus ke chaos (Budiardjo, 2008).

2. Sumber Sosiologis

Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai gejolak dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan, yakni munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun, dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anakanak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti. Bagaimana kita dapat memahami situasi semacam ini? Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu.

Mencoba membaca situasi pasca reformasi sekarang ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita (Wirutomo, 2001). Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya). Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (sociocultural animosity).

Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).

Ciri lain dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya). Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).

Atas dasar kenyataan demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara apa? Bagaimana pandangan Anda tentang hal tersebut? Ada satu pandangan bahwa Indonesia baru harus dibangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang mampu mengharmonikan kewajiban dan hak negara dan warga negara. Entitas negara persatuan dari bangsa multikultur seperti Indonesia hanya bisa bertahan lebih kokoh jika bediri di atas landasan pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin kesimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap warga dan elemen kebangsaan.

Tuntutan bukan hanya tentang pemenuhan hak-hak individu (individual rights) dan kelompok masyarakat (collective rights), melainkan juga kewajiban untuk mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong) dalam rangka kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bangsa secara keseluruhan (Latif, 2011). 3. Sumber Politik Sumber politik yang mendasari dinamika kewajiban dan hak negara dan warga negara Indonesia adalah proses dan hasil perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi.

Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Masih ingatkan Anda butir-butir yang menjadi tuntutan reformasi itu? Beberapa tuntutan reformasi itu adalah:

a. mengamandemen UUD NRI 1945,

b. penghapusan doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),

c. menegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),

d. melakukan desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah,

e. (otonomi daerah),

f. mewujudkan kebebasan pers,

g. mewujudkan kehidupan demokrasi.

Mari kita fokuskan perhatian pada tuntutan untuk mengamandemen UUD NRI 1945 karena amat berkaitan dengan dinamika penghormatan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Adanya tuntutan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.

Di samping itu, dalam tubuh UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran beragam, atau lebih dari satu tafsir (multitafsir) dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, berpotensi tumbuhnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan negara yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya kemerosotan kehidupan nasional. Salah satu bukti tentang hal itu adalah terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan (krisis multidimensional).

Tuntutan perubahan UUD NRI 1945 merupakan suatu terobosan yang sangat besar. Dikatakan terobosan yang sangat besar karena pada era sebelumnya tidak dikehendaki adanya perubahan tersebut. Sikap politik pemerintah yang diperkuat oleh MPR berkehendak untuk tidak mengubah UUD NRI 1945. Apabila muncul juga kehendak mengubah UUD NRI 1945, terlebih dahulu harus dilakukan referendum (meminta pendapat rakyat) dengan persyaratan yang sangat ketat. Karena persyaratannya yang sangat ketat itulah maka kecil kemungkinan untuk berhasil melakukan perubahan UUD NRI 1945.

Dalam perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NRI 1945 melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan, yakni (1) Perubahan Pertama, pada Sidang Umum MPR 1999; (2) Perubahan Kedua, pada Sidang Tahunan MPR 2000; (3) Perubahan Ketiga, pada Sidang Tahunan MPR 2001; dan (4) Perubahan Keempat, pada Sidang Tahunan MPR 2002. Dari empat kali perubahan tesebut dihasilkan berbagai aturan dasar yang baru, termasuk ihwal hak dan kewajiban asasi manusia yang diatur dalam pasal 28 A sampai dengan 28 J.

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara

Aturan dasar ihwal kewajiban dan hak negara dan warga negara setelah Perubahan UUD NRI 1945 mengalami dinamika yang luar biasa. Berikut disajikan bentuk-bentuk perubahan aturan dasar dalam UUD NRI 1945 sebelum dan sesudah Amandemen tersebut.

1. Aturan Dasar Ihwal Pendidikan dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Ketentuan mengenai hak warga negara di bidang pendidikan semula diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuannya tetap diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945, namun dengan perubahan. Perhatikanlah rumusan naskah asli dan rumusan perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 31, (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Rumusan perubahan Pasal 31, (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Perhatikanlah kedua rumusan tersebut. Apa yang mengalami perubahan dari pasal tersebut? Perubahan pasal tersebut terletak pada penggantian kata tiap-tiap menjadi setiap dan kata pengajaran menjadi pendidikan. Perubahan kata tiap-tiap menjadi setiap merupakan penyesuaian terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Adapun perubahan kata pengajaran menjadi pendidikan dimaksudkan untuk memperluas hak warga negara karena pengertian pengajaran lebih sempit dibandingkan dengan pengertian pendidikan.

Pendidikan adalah proses menanamkan nilai-nilai, sedangkan pengajaran adalah proses mengalihkan pengetahuan. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada peserta didik lebih dari sekedar pengetahuan. Aspek lainnya meliputi keterampilan, nilai dan sikap. Di samping itu, proses pendidikan juga dapat berlangsung di tiga lingkungan pendidikan, yaitu di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedang pengajaran konotasinya hanya berlangsung di sekolah (bahkan di kelas). Dengan demikian, perubahan kata pengajaran menjadi pendidikan berakibat menjadi semakin luasnya hak warga negara.

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 juga memasukkan ketentuan baru tentang upaya pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rumusannya terdapat dalam Pasal 31 Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Adanya rumusan tersebut dimaksudkan agar pemerintah berupaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan bangsa. Pencapaian bangsa di bidang iptek adalah akibat dihayatinya nilai-nilai ilmiah. Namun, nilai-nilai ilmiah yang dihasilkan tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan bangsa. Setujukah Anda dengan pernyataan tersebut? Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah budaya harus bersiap menyambut perkembangan dan kemajuan IPTEK.

Oleh karena budaya bangsa kita sebagian besar masih berdasarkan budaya etnik tradisional, sedangkan IPTEK berasal dari perkembangan budaya asing yang lebih maju, maka apabila pertumbuhan budaya bangsa kita tidak disiapkan akan dapat terjadi apa yang disebut kesenjangan budaya (cultural lag), yakni keadaan kehidupan bangsa Indonesia yang bergumul dengan budaya baru yang tidak dipahaminya.

Dapatkah Anda memberikan contoh-contoh kesenjangan budaya yang kerap kali muncul pada masyarakat kita? Mengapa hal demikian terjadi? Kesenjangan budaya sudah diprediksi oleh William F. Ogburn (seorang ahli sosiologi ternama), bahwa perubahan kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non material (sikap, perilaku, dan kebiasaan). Akibatnya akan terjadi kesenjangan budaya seperti diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, budaya bangsa dan setiap orang Indonesia harus disiapkan untuk menyongsong era atau zaman kemajuan dan kecanggihan IPTEK tersebut.

Negara juga wajib memajukan kebudayaan nasional. Semula ketentuan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945 ketentuan tersebut masih diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 namun dengan dua ayat. Perhatikanlah perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 32: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Rumusan perubahan: Pasal 32, (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menempatkan kebudayaan nasional pada derajat yang tinggi.

Kebudayaan nasional merupakan identitas bangsa dan negara yang harus dilestarikan, dikembangkan, dan diteguhkan di tengah perubahan dunia. Benarkah demikian? Mengapa? Perubahan dunia itu pada kenyataannya berlangsung sangat cepat serta dapat mengancam identitas bangsa dan negara Indonesia. Kita menyadari pula bahwa budaya kita bukan budaya yang tertutup, sehingga masih terbuka untuk dapat ditinjau kembali dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemajuan zaman. Menutup diri pada era global berarti menutup kesempatan berkembang. Sebaliknya kita juga tidak boleh hanyut terbawa arus globalisasi. Karena jika hanyut dalam arus globalisasi akan kehilangan jati diri kita.

Jadi, strategi kebudayaan nasional Indonesia yang kita pilih adalah sebagai berikut:

a. menerima sepenuhnya: unsur-unsur budaya asing yang sesuai dengan kepribadian bangsa;

b. menolak sepenuhnya: unsur-unsur budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa;

c. menerima secara selektif: unsur budaya asing yang belum jelas apakah sesuai atau bertentangan dengan kepribadian bangsa.

2. Aturan Dasar Ihwal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Bagaimana Ketentuan Mengenai Perekonomian Nasional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah, ketentuan ini diatur dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial dan terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 33 dengan 3 ayat dan Pasal 34 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945, judul bab menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 33 dengan 5 ayat dan Pasal 34 dengan 4 ayat.

Ambillah naskah UUD NRI 1945 dan bacalah dengan seksama pasal-pasal yang dimaksud tersebut. Salah satu perubahan penting untuk Pasal 33 terutama dimaksudkan untuk melengkapi aturan yang sudah diatur sebelum perubahan UUD NRI 1945, sebagai berikut:

a. Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945: menegaskan asas kekeluargaan;

b. Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945: menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara;

c. Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945: menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara.

Adapun ketentuan baru yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan tentang prinsip-prinsip perekonomian nasional yang perlu dicantumkan guna melengkapi ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945.

Mari kita bicarakan terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perekonomian nasional yang sudah ada sebelum perubahan UUD NRI 1945. Bagaimana masalah kesejahteraan rakyat diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah Pasal 34 UUD NRI 1945 ditetapkan tanpa ayat. Setelah dilakukan perubahan UUD NRI 1945 maka Pasal 34 memiliki 4 ayat. Perubahan ini didasarkan pada kebutuhan meningkatkan jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial.

Adapun ketentuan mengenai kesejahteraan sosial yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sebelumnya merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara tentang kesejahteraan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 ke dalam realita kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, perihal tujuan negara disebutkan: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,...”. Maka dalam Pasal 34 UUD NRI 1945 upaya memajukan kesejahteraan umum lebih dijabarkan lagi, ke dalam fungsi-fungsi negara untuk:

a. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat;

b. memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu;

c. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak;

d. menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dalam hal ini negara Indonesia, sebagai negara kesejahteraan, memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum yang baik.

3. Aturan Dasar Ihwal Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara

Semula ketentuan tentang pertahanan negara menggunakan konsep pembelaan terhadap negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945]. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 konsep pembelaan negara dipindahkan menjadi Pasal 27 Ayat (3) dengan sedikit perubahan redaksional. Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai hak dan kewajiban dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945] merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945. Mengapa demikian? Karena upaya membela negara mengandung pengertian yang umum. Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya? Penerapannya adalah dengan memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Bagaimana usaha pertahanan dan keamanan negara dilakukan? Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan sebagai berikut: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Dipilihnya sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman yang bagaimana yang melatarbelakangi dipilihnya Sishankamrata itu? Mari kita melakukan kilas balik sejarah (flash back) pada salah satu faktor penting suksesnya revolusi kemerdekaan tahun 1945 dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terletak pada bersatu-padunya kekuatan rakyat, kekuatan militer, dan kepolisian.

Dalam perkembangannya kemudian, bersatu-padunya kekuatan itu dirumuskan dalam sebuah sistem pertahanan dan keamanan negara yang disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dengan dasar pengalaman sejarah tersebut maka sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta tersebut dimasukkan ke dalam ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Tahukah Anda apa maksud upaya tersebut? Jawabannya adalah untuk lebih mengukuhkan keberadaan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta tersebut.

Di samping itu juga kedudukan rakyat dan TNI serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam usaha pertahanan dan keamanan negara makin dikukuhkan. Dalam hal ini kedudukan rakyat adalah sebagai kekuatan pendukung, sedang TNI dan Polri sebagai kekuatan utama. Sistem ini menjadi salah satu ciri khas sistem pertahanan dan keamanan Indonesia yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh potensi rakyat warga negara, wilayah, sumber daya nasional, secara aktif, terpadu, terarah, dan berkelanjutan.

4. Aturan Dasar Ihwal Hak dan Kewajiban Asasi Manusia

Penghormatan terhadap hak asasi manusia pasca Amandemen UUD NRI 1945 mengalami dinamika yang luar biasa. Jika sebelumnya perihal hakhak dasar warganegara yang diatur dalam UUD NRI 1945 hanya berkutat pada pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34, setelah Amandemen keempat UUD NRI 1945 aturan dasar mengenai hal tersebut diatur tersendiri di bawah judul Hak Asasi Manusia (HAM).

Di samping mengatur perihal hak asasi manusia, diatur juga ihwal kewajiban asasi manusia. Aturan dasar perihal hak asasi manusia telah diatur secara detail dalam UUD NRI Tahun 1945. Coba Anda analisis pasal-pasal tersebut di atas. Hakhak asasi apa saja yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945? Anda bandingkan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia (Universal Declaration of Human Rights). Adakah kesamaan (commonality) di antara keduanya? Adakah hal yang spesifik yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yang berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights? Dianutnya rezim HAM yang detail dalam UUD NRI Tahun 1945 menunjukan bahwa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa bersungguh-sungguh melakukan penghormatan terhadap HAM.

E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara

UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya memuat aturan dasar ihwal kewajiban dan hak negara melainkan juga kewajiban dan hak warga negara. Dengan demikian terdapat harmoni kewajiban dan hak negara di satu pihak dengan kewajiban dan hak warga negara di pihak lain. Apa esensi dan urgensi adanya harmoni kewajiban dan hak negara dan warganegara tersebut? Untuk memahami persoalan tersebut, mari kita pergunakan pendekatan kebutuhan warga negara yang meliputi kebutuhan akan agama, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat, serta pertahanan dan keamanan.

1. Agama

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Kepercayaan bangsa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa telah ada semenjak zaman prasejarah, sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar ke tanah air kita. Karena itu dalam perkembangannya, bangsa kita mudah menerima penyebaran agama-agama besar itu. Rakyat bangsa kita menganut berbagai agama berdasarkan kitab suci yang diyakininya. Undang-Undang Dasar merupakan dokumen hukum yang mewujudkan cita-cita bersama setiap rakyat Indonesia. Dalam hal ini cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan beragama juga merupakan bagian yang diatur dalam UUD. Ketentuan mengenai agama diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 29. Bacalah pasal tersebut. Mengapa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah dasar negara kita Pancasila? Mengapa hanya didasarkan pada satu sila saja? Jika tidak memahami dasar pemikirannya, maka Anda akan merasa bingung. Susunan dasar negara kita yaitu Pancasila bersifat hierarkis piramidal. Artinya, urut-urutan lima sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi dalam sifatnya yang merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.

Jadi, di antara lima sila Pancasila ada hubungan yang mengikat satu dengan yang lainnya, sehingga Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Kesatuan sila-sila Pancasila yang memiliki susunan hierarkis piramidal itu harus dimaknai bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar dari:

a. sila kemanusiaan yang adil dan beradab,

b. persatuan Indonesia,

c. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan

d. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari uraian tersebut tampak bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila Pancasila lainnya. Jadi, paham Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya Pasal 29 Ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya adalah bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa (jiwa keberagamaan) harus diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam UUD NRI 1945. Apa makna negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu? Adanya jaminan kemerdekaan memeluk agama dan beribadat selain diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) juga dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945.

Seperti telah diungkapkan pada uraian terdahulu, bahwa dalam perubahan UUD NRI 1945 dilakukan penambahan ketentuan mengenai HAM. Satu di antaranya adalah ketentuan Pasal 29 Ayat (2) mengenai kebebasan beragama dan beribadat yang dipertegas oleh Pasal 28E Ayat (1) yang salah satu substansinya mengatur hal yang sama. Hal yang perlu kita pahami adalah apa makna negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama itu?

2. Pendidikan dan Kebudayaan

Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua istilah yang satu sama lain saling berkorelasi sangat erat. Pendidikan adalah salah satu bentuk upaya pembudayaan. Melalui proses, pendidikan kebudayaan bukan saja ditransformasikan dari generasi tua ke generasi muda, melainkan dikembangkan sehingga mencapai derajat tertinggi berupa peradaban. Dalam konteks ini apa sebenarnya tujuan pendidikan nasional kita? Penjelasan tentang tujuan pendidikan nasional dapat kita temukan dalam Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945. Cari dan bacalah pasal tersebut.

Rumusan pasal ini mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa yang religius. Maknanya adalah bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, harus dilakukan dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Dari rumusan Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945 juga terdapat konsep fungsi negara, dalam hal ini pemerintah, yakni mengusahakan dan sekaligus menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Jika kita menengok fungsifungsi negara (function of the state) dalam lingkup pembangunan negara (state-building) cakupannya meliputi hal-hal berikut ini.

a. Fungsi minimal: melengkapi sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan keamanan, hukum, kesehatan, dan keadilan.

b. Fungsi madya: menangani masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan monopoli.

c. Fungsi aktivis: menetapkan kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan.

Berdasarkan klasifikasi fungsi negara tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi madya dari negara. Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi tertinggi dari negara, penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya sekedar pelaksanaan fungsi minimal negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan sangatlah penting. Pendidikan nasional merupakan perwujudan amanat UUD NRI tahun 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam UUSPN lebih lanjut dirinci bahwa penyelenggaraan sistem pendidikan nasional itu harus melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkeinginan bahwa pada tahun 2025 pendidikan nasional menghasilkan INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF (Insan Kamil/Insan Paripurna).

Kecerdasan yang kita maksud adalah kecerdasan yang komprehensif. Artinya, bukan hanya cerdas intelektualnya, melainkan juga memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial, bahkan kinestetis. Bersamaan dengan dimilikinya kecerdasan secara komprehensif, insan Indonesia juga harus kompetitif.

3. Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Rakyat

Sesuai semangat Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 asas perekonomian nasional adalah kekeluargaan. Apa makna asas kekeluargaan? Kekeluargaan merupakan asas yang dianut oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan yang salah satunya kegiatan perekonomian nasional. Asas kekeluargaan dapat diartikan sebagai kerja sama yang dilakukan lebih dari seorang dalam menyelesaikan pekerjaan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.

Hasil pekerjaan bersama memberikan manfaat yang dapat dinikmati secara adil oleh banyak orang. Tujuannya adalah agar pekerjaan dapat cepat selesai dan memberi hasil lebih baik. Penerapan asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional adalah dalam sistem ekonomi kerakyatan. Apa makna sistem ekonomi kerakyatan itu? Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi nasional yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang bertumpu pada kekuatan mayoritas rakyat. Dengan demikian sistem ini tidak dapat dipisahkan dari pengertian “sektor ekonomi rakyat”, yakni sektor ekonomi baik sektor produksi, distribusi, maupun konsumsi yang melibatkan rakyat banyak, memberikan manfaat bagi rakyat banyak, pemilikan dan penilikannya oleh rakyat banyak.

4. Pertahanan dan Keamanan

Berdasarkan aturan dasar ihwal pertahanan dan keamanan Negara Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Dengan demikian tampak bahwa komponen utama dalam Sishankamrata adalah TNI dan Polri.

Coba Anda jelaskan apa tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta? Adanya pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri, baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam undang-undang terkait, diharapkan akan mampu meningkatkan profesionalisme kedua lembaga yang bergerak dalam bidang pertahanan dan keamanan negara. Mengenai adanya ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedudukan dan susunan TNI dan Polri lebih lanjut diatur dengan undangundang, merupakan dasar hukum bagi DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang. Pengaturan dengan undang-undang mengenai pertahanan dan keamanan negara merupakan konsekuensi logis dari prinsip yang menempatkan urusan pertahanan dan keamanan sebagai kepentingan rakyat.

 

 


 

(Materi 8 – 9)

Hakikat, instrumentasi dan praksis demokrasi Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945

 

A. Memahami Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

1. Hakikat Demokrasi
Apa yang dimaksud dengan demokrasi? Silahkan Anda deskripsikan yang ada dipikiran Anda ketika mendengar kata demokrasi. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar ungkapan mengenai demokrasi. Dalam (Bintoro, 2006) istilah demokrasi secara sederhana sering muncul dalam ungkapan, cerita atau mitos. Misalnya, orang Minangkabau membanggakan tradisi demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan: “Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Orang Jawa, secara samar-samar menunjukkan tentang gagasan demokrasi dengan mengacu kebiasaan rakyat Jawa untuk pepe (berjemur) di muka keraton bila mereka ingin mengungkapkan persoalan hidupnya kepada Raja. Ada juga yang mencoba menjelaskan dari cerita wayang, bahwa Bima atau Werkudara memakai mahkota yang dinamai Gelung Mangkara Unggul, artinya sanggul (dandanan rambut) yang tinggi di belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang itu sebenarnya unggul atau tinggi, artinya: berkuasa.

Berdasarkan beberapa pengantar di atas, sesungguhnya secara etimologis, demokrasi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, yang terdiri atas dua kata, yaitu “ demos” dan “kratein”. Kata demos memiliki arti rakyat dan cratos memiliki makna pemerintahan. Jika kita hubungkan, maka dapat dipahami bahwa secara etimologi atau bahasa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Selain dari segi bahasa, pengertian demokrasi juga dikemukakan oleh banyak ahli. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hornby, 1995) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah “(1) country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment of
each other by citizens as equals”.
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk pada pengertian kehidupan bernegara atau bermasyarakat di mana warganegara dewasa diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih. selanjutnya pemerintahan yang dalam hal ini merupakan wakil rakyat dapat memberikan jaminan kebebasan/ kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi perlakuan yang sama. Makna demokrasi di atas sesunggyhnya senada dengan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the people”. Dalam hal ini “people” yang menjadi pusatnya.
Selanjutnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki paradigma “otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi. Sebagai suatu konsep demokrasi diterima sebagai “...seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, yang juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan” (USIS,1995).
Selanjutnya, sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995) menyimpulkan bahwa demokrasi sebagai sistem memiliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak Azasi
Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan Mufakat.”
Dalam hal lainnya, , Sanusi (2006) mencoba untuk mencoba menidentifikasi sepuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakni :
1. Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Demokrasi Dengan Kecerdasan,
3. Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat,
4. Demokrasi dengan “Rule of Law”,
5. Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara,
6. Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia,
7. Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka,
8. Demokrasi dengan Otonomi Daerah,
9. Demokrasi Dengan Kemakmuran,
10. Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.”

Bila kita amati, sesungguhnya secara esensial terdapat persamaan antara sebelas pilar demokrasi universal ala USIS (1995) dengan 9 dari 10 pilar demokrasi Indonesia ala Sanusi (2006). Namun, ada satu hal yang membedakan pilar demokrasi universal dengan pilar demokrasi Indonesia , yaitu adanya pilar demokrasi Indonesiayang menyebutkan bahwa Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan inilah justru yang menjadi ciri khas dan dasar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pilar demokrasi Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa merupakan kunci yang mendasari pilar - pilar lainnya sebagaimana diambil dalam dasar negara Indonesia sila pertama. Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa sila pertama Dasar NegaraIndonesia yaitu Ketuhanan yang Maha Esa melingkupi sila-sila lain di bawahnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaannya dengan pilar demokrasi universal lainnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Selanjutnya, perbedaan medasar demokrasi Indonesia dengan demokrasi universal juga dikemukakan oleh Maududi dan kaum muslim (Esposito dan Voll,1996) disebut “teodemokrasi”, yakni demokrasi dalam konteks kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain demokrasi universal adalah demokrasi yang bernuansa sekuler, sedangkan demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual, Carlos Alberto Torres (1998) mencoba mengemukakan pengertian demokrasi yang dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni “...the government of all citizens who enjoy the benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souverignty” menempatkan “...a foundation for the exercise of power, leaving the supreme power in the hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai “...the most genuinely popular form of government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.

Selanjutnya,, Torres (1998) juga memberikan pandangan mengenai demokrasi dari dua aspek, yakni “formal democracy” “substantive democracy” dan “Formal democracy” yang kedua aspek tersebut menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara. Dalam suatu negara demokrasi, suatu negara dapat melaksanakan pemerintahannya dengan menggunakan system parlementer ataupun presindensial. Seperti kita ambil contoh Negara Indonesia yang dalam pelaksanaan pemerintahannya menerapkan system pemerintahan presidensial.

3. Pentingnya Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Sebelum kita berbicara mengenai pentingnya pelaksanaan demokrasi sebagai suatu system politik kenegaraan modern maka muncul pertanyaan Mengapa demokrasi yang dipilih sebagai jalan bagi bentuk pemerintahan guna mencapai tujuan bernegara yakni kesejahteraan? Awalnya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, dimulai dari sejarah Yunani Kuno. Namun pengertian demokrasi saat itu belumlah seideal seperti saat ini. Demokrasi saat itu masih sebatas pemberian pemberian kebebasan berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki dewasa yang hal tersebut sangat jauh dari pengertian demokrasi yang ideal.

Selanjutnya, Demokrasi di mata para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles justru memberikan penilaian yang berbeda . mereka mengemukakan bahwa demokrasii bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17. Namun demikian, pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “ modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesqueau, dan J. J. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Demokrasi mengalami perkembangan yang makin pesat dan makin diterima di banyak negara terlebih sesudah Perang Dunia II. Suatu penelitian dari Unesco tahun 1949 menyatakan “ mungkin bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung - pendukungnya yang berpengaruh” (Budiardjo, 2008)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dibahas di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak perbedaan mengenai mengenai pemikiran demokrasi, namun sampai saat ini, sistem demokrasi khususnya dalam pelaksanaan system pemerintahan tetap diyakini dan diterima sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara modern medeklarasikan dirinya telah melaksanakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya dan sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai negara
yang “undemocracy”

4. Mengapa kehidupan demokrasi sangat penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat?
Membahas mengenai demokrasi sangat penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat maka jawabannya adalah demokrasilah yang memegang peran penting dalam masyarakat dan dalam tata aturan suatu negara... dapat dibayangkan kehidupan masyarakat anpa adanya demokrasi di suatu negara, dan segala sesuatunya di atur oleh pemerintah, maka hilanglah kesejahteraan masyarakat dan kacaulah negara tersebut. Demokrasi sangatlah penting dan di perlukan masyarakat, tidak hanya sekedar pemerintah yang memegang kendali dalam pengaturan suatu negara, perlu adanya masyarakat yang komplemen, mendukung, dan masyarakat perlu terlibat dalam pembangunan suatu negara demi terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan negara. Hal tersebut tentu sesuai dengan pengertian demokrasi secara etimologis, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh takyat, dan untuk rakyat.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan kehidupan berdemokrasi tidak ada keinginan untuk menang sendiri, saling memaksakan kehendak, menghina, melecehkan, menjatuhakan. Justru yang diperjuangkan adalah nada saling menghargai, menghormati, mengerti, menerima pendapat orang lain, lapang dada, tenggang rasa. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan kehidupan yang nyaman dan tentram.

Untuk dapat lebih memahami betapa pentingnya menerapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat melihat berbaga contoh kasus yang ada di media massa bak cetak maupun elektronik. Banyak permasalahan dalam masyarakat yang muncul disebabkan oleh kurangnya penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang hanya mencoba memperjuangkan aspirasi individu atau kelompoknya sendiri dan mengabaikan aspirasi dari kelompok lain

B. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

Terdapat tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu Bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi  dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Berdasarkan ketiga tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia tetap mempertahankan jati diri Bangsa Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa, selanjutnya sila keempat yaitu nilai permusyawaratan dan yang ketiga adalah mengadopsi nilai-nilai yang bersumber pada pada paham sosialis barat.

1. Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Istilah demokrasi yang rumuskan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia ketika merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali (Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut.

Pertama, paham kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan paham yang bersumber dari sila keempat Dasar Negara Indonesia. Meskipun paham tersebut bersumber dari sila keempat Pancasila namun, telah Nampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Seperti sejarah yang telah kita ketahui bersama bahwasanya niali-nilai yang terkandung dalam Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila merupakan jati diri yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan diraih. Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada masa itu bahwa Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber- raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Dengan demikian, raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005).

Kedua, tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyaraat desa. pemilikan bersama tanah desa ini, hasrat setiap orang untuk memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah bersama, yang selanjutnya merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada hal-hal kepentingan pribadi seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan sebagainya. Adat hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi musyawarah mufakat ini kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu.

Karena alasan pemilikan faktor produksi bersama dan tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh kekuasaan feodal, namun sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh subur sebagai adat istiadat. Hal ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan bahwa demokrasi asli Nusantara itu kuat bertahan, “liat hidupnya”, seperti terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan (Hatta, 1992). terdapat dua anasir lagi yang berasal dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara, yaitu hak dalam memberikan keberatan bersama terhadap berbagai peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk meninggalkan daerah kekuasaan raja jika sang rakyat tidak lagi berkenan untuk tingggal di daerah kekuasaan raja. Dalam melakukan protes, biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di alun-alun dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang mengekspresikan suatu bentuk demonstrasi damai. Tidak sering rakyat yang sabar melakukan itu. Namun, apabila hal itu dilakukan, pertanda menggambarkan situasi kegentingan yang memaksa penguasa untuk mempertimbangkan ulang peraturan yang dikeluarkannya. Adapun hak menyingkir, dapat dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri. Kesemua itu menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan oleh para pendiri bangsa untuk mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, bedasarkan demokrasi desa yang asli itu (Latif, 2011).

Selanjutnya Hatta menjelaska bahwa kelima anasir demokrasi asli, yaitu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dianggap sebagai sesuatu yang baik dalam lingkungan pergerakan nasional dan dijadikan sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial dan dasar pemerintahan Indonesia merdeka di masa mendatang (Hatta, 1992).

2. Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Salah satu sumber yang dijadikan pilar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa bukanlah demokrasi yang sekuler. Salah satu sumber nilai ketuhanan yang terbesar adalah nilai-nilai Islam karena tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan
kemerdekaan Bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh Islam. Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan, bersifat fatamorgana belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif, 2011). Dengan demikian dapat dipahami bahwa membuat peraturan hidup dengan secara mutlak memberikan kekuasaan penuh kepada para penguasa dalam hal ini pemerintahan merupakan suatu ketidakadilan dan bertentangan nilai agama terutama Islam. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Madjid, 1992). Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).

Sejarah nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madinah, dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa (nation). Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa “nation-state”, yaitu Negara untuk seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama “common good”. Sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda - bedakan kelompok keagamaan yang ada. Robert N. Bellah menyebutkan bahwa contoh awal nasionalisme modern mewujud dalam sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah. Robert N. Bellah mengatakan bahwa sistem yang dibangun Nabi itu adalah “a better model for modern national community building than might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas ini disebut modern karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Lebih jauh, Bellah juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (egalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi lima persen dari penduduk (Latif, 2011).

Pengaruh ajaran Islam mampu membawa pergeseran nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis berbasis kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Pergeseran ini terlihat dari perubahan sikap kejiwaan orang Melayu terhadap para penguasanya.. Sebelum kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu pantang membantah”. Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi “Raja adil, raja disembah; raja zalim, raja disanggah”. Selanjutnya, Nilai-nilai egalitarianisme Islam ini pula yang memaksa kaum pribumi untuk menolak sistem kasta yang dibawa oleh kelompok kolonial (Wertheim, 1956).

Senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa
pergeseran masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan.

3. Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik.

Model pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kota- kota lain sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).

Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi mulai bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M), setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari peradaban Islam. Tonggak penting dari era Renaissance yang mendorong kebangkitan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak 1517 hingga tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip co-existence dalam hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi kebangkitan Negara-bangsa (nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang lebih demokratis.

Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi dari koin peradaban Barat: sisi represi imperialisme- kapitalisme dan sisi humanisme-demokratis. Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan kapitalisme, yang tidak jarang bekerjasama dengan kekuatan- kekuatan feodal bumi putera, menumbuhkan sikap anti- penindasan, anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan para perintis kemerdekaan bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap represi politik- ekonomi kolonial itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan humanisme-demokratis Eropa (Latif, 2011).

Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang aktualisasinya dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Ruang publik ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern, kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung pada pendrian partai-partai politik (sejak 1920-an), dan kehadiran Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.

Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosio- demokrasi Barat, memberikan landasan persatuan dari keragaman., Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya memiliki titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum menolak individualisme. Selanjutnya perlu dipertanyakan bagaimana praktik demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang? Apa Indonesia telah menerapkan demokrasi Pancasila? Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami praktik demokrasi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya. Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empatmasa, yaitu :
1. Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai,karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer,
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil.
4. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.

C. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila

1. Kehidupan Demokratis yang Bagaimana yang Kita Kembangkan?
Demokrasi itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari masing-masing negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung ideologi masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang universal, juga memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Sebagai demokrasi yang berakar pada budaya bangsa kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UUD NRI Tahun 1945. Berikut ini diketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk Negara RI, sebagaimana diletakkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sanusi, 2006).

No.

PILAR DEMOKRASI
PANCASILA

MAKSUD ESENSINYA

1

Demokrasi berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Segala hal mengenai sistem serta
perilaku dalam menyelenggarakan
kenegaraan RI harus taat asas,
konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai
dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan
yang Maha Esa.

2

Demokrasi dengan Kecerdasan

Dalam pelaksanaan demokrasi menurut
UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan
naluri, kekuatan otot, kekuatan massa
semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu
justru lebih menuntut kecerdasan
rohaniah, kecerdasan aqliyah,
kecerdasan rasional, dan kecerdasan
emosional

3

Demokrasi yang Berkedaulatan
Rakyat

Kunci pelaksanaan demokrasi adalah
meletakkan kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah
yang memiliki/memegang kedaulatan
itu. Dalam batas-batas tertentu
kedaulatan rakyat itu dipercayakan
kepada wakil-wakil rakyat di MPR
(DPR/DPD) dan DPRD.

4

Demokrasi dengan Rule of Law.

a. Pelaksanaan kekuasaan negara RI
yang dalam hal ini diwakilkan oleh
pemerintah itu harus mengandung melindungi, serta mengembangkan
kebenaran hukum (legal truth) bukan
demokrasi ugal-ugalan, demokrasi
dagelan, atau demokrasi manipulatif.
b. Kekuasaan negara itu memberikan
keadilan hukum (legal justice) bukan
demokrasi yang terbatas pada
keadilan formal dan pura-pura.
c. Kekuasaan negara itu menjamin
kepastian hukum (legal security)
bukan demokrasi yang membiarkan
atau menciptakan perpecahan,
permusuhan, dan kerusakan

5

Demokrasi dengan Pembagian
Kekuasaan

Pelaksanaan demokrasi berdasarkan
UUD 1945 tidak hanya mengakui
kekuasaan negara RI yang tidak tak
terbatas secara hukum, tetapi juga
pelaksanaan demokrasi itu dikuatkan
dengan pembagian kekuasaan negara
dan diserahkan kepada badan-badan
negara yang bertanggung jawab. Jadi,
demokrasi menurut UUD 1945
mengenal semacam division and
separation of power, dengan sistem
check and balance

6

Demokrasi dengan Hak Asasi
Manusia

Pelaksanaan demokrasi menurut UUD
1945 mengakui hak asasi manusia yang
tujuannya bukan saja menghormati hak-
hak asasi tersebut, melainkan terlebih-
lebih untuk meningkatkan martabat dan
derajat manusia seutuhnya.

7

Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka

Pelaksanaan demokrasi menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya
sistem pengadilan yang merdeka
(independen) yang memberi peluang
seluas-luasnya kepada semua pihak
yang berkepentingan untuk mencari dan
menemukan hukum yang seadil-adilnya.
Di muka pengadilan yang merdeka,
penggugat dengan pengacaranya,
penuntut umum dan terdakwa dengan
pengacaranya mempunyai hak yang
sama untuk mengajukan konsiderans,
dalil-dalil, fakta-fakta, saksi, alat
pembuktian, dan petitumnya.

8

Demokrasi dengan Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan pembatasan
terhadap kekuasaan negara, khususnya
kekuasaan legislatif dan eksekutif di
tingkat pusat, dan lebih khusus lagi
pembatasan atas kekuasaan Presiden.
UUD 1945 secara jelas memerintahkan
dibentuknya daereah-daerah otonom
besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah
otonom I dan II. Dengan Peraturan
Pemerintah daerah-daerah otonom itu
dibangun dan disiapkan untuk mampu
mengatur dan menyelenggarakan
urusan- urusan pemerintahan sebagai
urusan rumah tangganya sendiri yang
diserahkan oleh Pemerintah Pusat
kepadanya.

9

Demokrasi dengan Kemakmuran

Demokrasi tu bukan hanya soal
kebebasan dan hak, bukan hanya soal
kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir
kedaulatan rakyat atau pembagian
kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu
bukan pula hanya soal otonomi daerah
dan keadilan hukum. Sebab bersamaan
dengan itu semua, jika dipertanyakan
“where is the beef ?”, demokrasi
menurut UUD 1945 itu ternyata
ditujukan untuk membangun negara
kemakmuran (Welvaarts Staat) oleh dan
untuk sebesar-besarnya rakyat
Indonesia.

10

Demokrasi yang Berkeadilan Sosial

Demokrasi menurut UUD 1945
menggariskan keadilan sosial di antara
berbagai kelompok, golongan, dan
lapisan masyarakat. Tidak ada
golongan, lapisan, kelompok, satuan,
atau organisasi yang menjadi anak
emas, yang diberi berbagai
keistimewaan atau hak-hak khusus.

 

Kehidupan demokrasi Paancasila Indonesia jika dilihat dari maksud esesnsinya merupakan sesuatu yang sangat ideal jika dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun di lapangan yang terjadi Das Solen dan Das Sein nya berbeda. Dalam kenyataan sering kali terjadi kesenjangan dan bahkan penyimpangan yang cukup jauh. Hal ini tentu merupakan hal yang wajar terjadi mengingat Indonesia adalah negara yang beragam, negara multikultur yang perlu strategi khusus untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut.

 

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut berkaitan dengan analisis implementasi dari kesepuluh pilar demokrasi itu dalam berbagai bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan serta ihwal tingkat keberhasilanya. Adakah kesenjangan antara yang normatif dengan praktiknya? Hasil analisis tersebut tentunya dapat dijadikan sebagai bahan berpikir awal untuk mencari solusinya.

 

2. Mengapa Kehidupan yang Demokratis Itu Penting ?
Untuk menjawab pertanyaan mengapa kehidupan yang demokratis itu penting maka perlu dilakukan kajian mendalam akan hal tersebut. Pada dasarnya, kehidupan demokratis itu penting karena melalui penerapan kehidupan yang demokratis mampu mencipatkan masyarakat suatu negara yang merasakan keadilan dari berbagai aspek kehidupan berbagsa dan bernegara. Dalam hal ini, sebuah negara baru bisa disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut rakyat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, memiliki persamaan di muka hukum, dan memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil. Mari kita uraikan makna masing-masing.

 

a. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan
Pelaksanaan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara menempatkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan sesuai aspirasi rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus menjadi pertimbangan dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman dalam
melaksanakan hidup bernegara. Sebagaimana telah diamanatkan ketika seseorang diutus untuk menjadi wakil rakyat maka para pembuat kebijakan haruslah memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai contoh ketika masyarakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.

b. Persamaan Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum yang menjadi pembatas atas kesewewenangan yang dikhawatirkan akan dilakukan oleh
pemerintah. Melalui hukum tersebut rakyat dapat melakukan pembatasan dan mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.meskipun yang menjadi kelemahannya adalah produk hukum itu sendiri bersumber besar dari pemerintah. Idealnya keadilan akan tercipta ketika produk hukum yang dibuat baik dan aparat penegak hukumnya juga baik.

c. Distribusi Pendapatan Secara Adil
Dalam pelaksanaan kehidupan negara demokrasi, semua bidang harus dijalankan secara seimbang atau tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak. Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada fakir dan miskin yang berpendapatan rendah. Akhir- akhir ini Pemerintah menjalankan program pemberian bantuan tunai langsung, hal tersebut dilakukan dalam upaya membantu langsung para fakir miskin. Pada kesempatan lain, Pemerintah terus giat membuka lapangan kerja agar masyarakat bisa memperoleh penghasilan. Dengan program-program tersebut diharapkan terjadi distribusi pendapatan yang adil di antara warga negara Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai kehidupan, karena seandainya kehidupan yang demokratis tidak terlaksana, maka asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan hak-hak asasi manusia, tidak ada persamaan di depan hukum. Jika demikian, tampaknya kita akan semakin jauh dari tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Setujukah Anda dengan pernyataan ini ?

3. Bagaimana Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara ?
Seorang wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara sultan mencuri ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu menjaga ternakmu dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu mejawab, “Saya mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur dengan aman” (Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998).

Kisah di atas menunjukkan contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu melindungi rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai, sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat- syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis.

Berikut merupakan kisah yang menginspirasi yang dapat menggambarkan bagaimana karakter seorang pemimpin.

a. Beriman dan bertaqwa
Dalam suatu kisah, ada seorang Khalifah sedang melakukan perjalanan mengamati kehidupan rakyatnya ke pelosok-pelosok kampung. Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang anak penggembala kambing
yang sedang menggembalakan kambing- kambingnya di padang rumput yang hijau. Kalifah mendekati anak itu seraya berkata, “Nak, bolehkah Bapak membeli seekor kambing gembalaanmu”, ujar Khalifah. Anak itu lalu menjawab, “tidak bisa Pak, kambing ini bukan milik saya, kambing- kambing ini milik majikan saya”, ujar anak itu. Sang Khalifah tambah penasaran, lalu beliau menegaskan akan hasratnya untuk membeli seekor kambing gembalaan anak tersebut. “Nak, kambing gembalaanmu amat banyak, maka jika hanya
seekor saja kamu jual, majikanmu tidak mungkin mengetahuinya.

Kalaupun nantinya majikanmu tahu juga ada seekor kambing miliknya yang hilang, maka katakan saja diterkam serigala”, ujar Khalifah meyakinkan anak itu. Tanpa diduga sedikit pun oleh Khalifah, anak itu
lantas menjawab, “Pak, sekalipun majikan saya tidak akan mengetahui seekor kambing miliknya telah saya jual, apakah Allah juga tidak akan mengetahui perbuatan saya itu?”, jawab anak itu sambil menatap wajah
Khalifah dengan sorot mata yang amat tajam.
Tidak kuasa menahan rasa haru, Sang Khalifah membalikkan badannya membelakangi anak tersebut sambil mengusap wajahnya yang dibasahi air mata keharuan. Khalifah amat kagum, seorang anak penggembala, yang oleh kebanyakan orang dianggap hina, ternyata menunjukkan keimanan yang amat kukuh. Lalu Sang Khalifah
membalikkan badannya dan merangkul anak itu yang masih terkaget-kaget menyaksikan kejadian tersebut. Baru setelah Khalifah itu memperkenalkan dirinya, anak gembala itu pun menyadarinya bahwa yang mendekap dirinya itu adalah Sang Penguasa Negerinya, yakni Khalifah Umar Bin Khatab.

Berdasar cerita di atas, bagaimana sebaiknya sikap seseorang yang memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin? Sikap terbaik jika memperoleh kepercayaan adalah mensyukurinya, sebab selain tidak banyak orang yang memperoleh kepercayaan seperti itu, juga pada hakikatnya merupakan nikmat dari Tuhan. Salah satu cara untuk bersyukur adalah selalu ingat akan tugas kepemimpinan yang diembannya, yakni memimpin umat mencapai tujuan dengan ridha Tuhan. Apabila ia beriman dan bertakwa maka tugas-tugas kepemimpinannya itu akan disyukuri sebagai amanah dan sebagai kewajiban mulia agar mampu dilaksanakan dengan baik.

b. Bermoral
Dalam sejarah diceritakan bahwa Sultan Agung, Mataram berhasil menjadikan dirinya sebagai kerajaan yang mampu menaklukkkan kesombongan Kompeni. Hampir seluruh tanah Jawa dapat disatukan. Kekuasaannya menjangkau ke Sumatra, yakni Palembang dan Jambi, serta ke Kalimantan, yakni Banjarmasin. Namun, setelah Sultan Agung wafat, wibawa Mataram mulai melorot. Tahun 1645 Sultan Agung meninggal dunia dan dimakamkan di Imogiri, dekat Yogyakarta. Tahun itu juga, putranya, Pangeran Aria Prabu Adi Mataram, dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sultan Amangkurat I.

Berbeda dari sifat ayahnya, Amangkurat I lebih suka hidup berfoya-foya. Kesempatan sebagai penguasa dimanfaatkan untuk meneguk kemewahan dan kesenangan. Kompeni Belanda yang dahulu dibenci
ayahandanya, malah dirangkulnya. Kompeni Belanda dengan kekuatan dan kekayaannya telah memberikan berbagai keindahan dunia berupa minuman keras dan benda-benda perhiasan yang memabukkan. Untuk mengamankan kekuasaannya, Amangkurat I menjalin perjanjian dengan Kompeni. Supaya aman ia harus membungkam orang atau para tokoh yang dianggapnya berbahaya. Adik kandungnya, Pangeran Alit, dibinasakannya. Iparnya, bupati Madura, Cakraningrat I, juga mengalami nasib yang sama. Yang lebih mengerikan adalah tindakannya sesudah selirnya yang tercantik, RatuMalang, meninggal secara mendadak.
Ia menuduh, kematian itu akibat diracun oleh salah seorang atau beberapa selir saingannya. Maka sebanyak 43 orang selir yang berusia masih muda-muda dibinasakan hanya dalam waktu sehari saja. Dan, atas tuduhan yang tidak berdasar, segenap keluarga Pangeran Pekik, nenek Adipati Anom, anaknya, juga dibinasakan sampai tidak tersisa. Tentu saja keresahan mulai merebak. Ketidakpuasan berkembang subur. Suara- suara ketidakdilan makin bermunculan. Menurut para penasihat raja, suasana seperti itu akan berbahaya jika dibiarkan merebak.

Maka harus dicari penyelesaiannya yang cepat dan tuntas. Dibisikkan kepada Amangkurat I, para ulamalah yang bertanggung jawab atas semua ketidaktenangan itu. Merekalah yang paling gigih meneriakkan tuntutan
kebenaran dan kejujuran. Jadi, para ulama yang dinilai sangat keras hati perlu dibinasakan. Terjadilah kemudian malapetaka itu. Sebanyak 6.000 orang ulama tidak berdosa dikumpulkan di lapangan, dan dibantai hanya dalam tempo satu jam. Dengan demikian, Amangkurat I merasa bebas merdeka untuk berjabat tangan dan berpelukan mesra dengan Kompeni Belanda. Tidak ada lagi yang berani menegur atau menasihatinya.
Namun, tidak semua bangsawan menyetujui tindakan sewenang-wenang itu. Masih banyak kaum ningrat yang menyatu dengan rakyat.

Tekad pun menyatu. Tekad rakyat, tekad para menak, tekad para penegak keadilan, semua menyatu, menjadi semangat perlawanan terhadap kezaliman dan kesewenang-wenangan. Bangkitlah seorang pemuda dari lingkungan istana Cakraningrat I. Ia bernama Trunojoyo, cucu Prabu Cakraningrat I dari Madura. Dengan
semangat memperjuangkan kebenaran dan melawan kelaliman, Trunojoyo mengobarkan pemberontakan, dibantu oleh Karaeng Galesong dari Makasar. Trunojoyo beserta pasukannya berjaya memasuki Mataram.
Amangkurat I melarikan diri menyusuri pantai Jawa, akhirnya meninggal dunia di Tegal Arum dalam keadaan nista dan sengsara. (Dikutip dari: 30 Kisah Teladan, 1991). Dari kisah tersebut di atas apakah Anda berpendapat bahwa Amangkurat I merupakan seorang pemimpin yang baik ? Apakah memiliki kualitas moral yang baik? Bagaimana jika seorang pemimpin, kualitas moralnya buruk? Apa yang akan terjadi? Mari kita perhatikan pengertian moral yang kita maksudkan. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Istilah lain untuk moral adalah akhlak, budi pekerti, susila. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk. Pemimpin yang bermoral berarti pemimpin yang berakhlak baik. Bagi kita yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa para pemimpin yang lalim dan tidak bermoral itu. Sejarah mencatat semua pemimpin yang zalim dan tidak bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir hayatnya memperoleh kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya meninggal di tempat pelarian dengan amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang amat “tiran” dari Prancis, mati di- gouletin (pisau pemotong hewan) oleh massa, Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum racun. Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.

 


 

(Materi 10)

Dinamika historis konstitusional, sosial politik, kultural, serta kontek kontemporer penegakan hukum yang berkeadilan.

Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang semua penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan serta kemasyarakatannya berdasarkan atas hukum, bukan didasarkan atas kekuasaan belaka. Anda sebagai calon sarjana atau profesional yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang terdidik dan warga negara yang baik perlu mengerti tentang hukum.

 

A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Penegakan Hukum yang Berkeadilan

 

Pernahkah Anda berpikir, seandainya di sebuah masyarakat atau negara tidak ada hukum? Jawaban Anda tentunya akan beragam. Mungkin ada yang menyatakan kehidupan masyarakat menjadi kacau, tidak aman, banyak tindakan kriminal, dan kondisi lain yang menunjukkan tidak tertib dan tidak teratur. Namun, mungkin juga ada di antara Anda yang menyatakan, tidak adanya hukum di masyarakat atau negara aman-aman saja, tidak ada masalah. Bagaimana pendapat Anda? Setujukah Anda dengan pendapat pertama atau yang kedua?

 

Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam bukunya Leviathan pernah mengatakan “Homo homini lupus”, artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Manusia memiliki keinginan dan nafsu yang berbeda-beda antara manusia yang satu dan yang lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia ada yang baik, ada nafsu yang tidak baik. Inilah salah satu argumen mengapa aturan hukum diperlukan. Kondisi yang kedua tampaknya bukan hal yang tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan aturan hukum. Namun, Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas ibi ius”, artinya di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Dengan kata lain, sampai saat ini hukum masih diperlukan bahkan kedudukannya semakin penting.

 

Upaya penegakan hukum di suatu negara, sangat erat kaitannya dengan tujuan negara. Anda disarankan untuk mengkaji teori tujuan negara dalam buku “Ilmu Negara Umum”. Menurut Kranenburg dan Tk.B. Sabaroedin (1975) kehidupan manusia tidak cukup hidup dengan aman, teratur dan tertib, manusia perlu sejahtera. Apabila tujuan negara hanya menjaga ketertiban maka tujuan negara itu terlalu sempit. Tujuan negara yang lebih luas adalah agar setiap manusia terjamin kesejahteraannya di samping keamanannya.

 

Dengan kata lain, negara yang memiliki kewenangan mengatur masyarakat, perlu ikut menyejahterakan masyarakat. Teori Kranenburg tentang negara hukum ini dikenal luas dengan nama teori negara kesejahteraan. Teori negara hukum dari Kranenburg ini banyak dianut oleh negara-negara modern. Bagaimana dengan Indonesia? Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum. Artinya negara yang bukan didasarkan pada kekuasaan belaka melainkan negara yang berdasarkan atas hukum, artinya semua persoalan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pemerintahan atau kenegaraan harus didasarkan atas hukum. Teori tentang tujuan negara dari Kranenburg ini mendapat sambutan dari negara-negara pada umumnya termasuk Indonesia.

 

Tujuan Negara RI dapat kita temukan pada Pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea ke-4 sebagai berikut:

... untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....

 

Dari bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 ini dapat diidentifikasi bahwa tujuan Negara Republik Indonesia pun memiliki indikator yang sama sebagaimana yang dinyatakan Kranenburg, yakni:

1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2) memajukan kesejahteraan umum

3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Bagaimana tujuan negara ini dilaksanakan atau ditegakkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

 

Perlindungan terhadap warga negara serta menjaga ketertiban masyarakat telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Anda dianjurkan untuk mengkaji Bab IX, Pasal 24, 24 A, 24 B, 24 C, dan 25 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk mengatur lebih lanjut tentang kekuasaan kehakiman, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

UUD NRI 1945 Pasal 24

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.***)

2. Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***)

3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****)

 

Dalam pertimbangannya, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bagaimana lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan?

 

Negara kita telah memiliki lembaga peradilan yang diatur dalam UUD NRI 1945 ialah Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain lembaga negara tersebut, dalam UUD NRI 1945 diatur pula ada badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. Tentang MA, KY, dan MK ini lebih lanjut diatur dalam UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Anda perhatikan apa yang dimaksud dengan ketiga lembaga peradilan tersebut.

 

UU No. 48/2009 Pasal 1 ayat (2), (3), (4)

(2) Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Apabila mengacu pada bunyi pasal 24, maka lembaga negara MA, KY, MK memiliki kewenangan dalam kekuasaan kehakiman atau sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Dikemukakan dalam pasal 24 UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

 

Dengan demikian, tiga lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Bagaimana badan-badan peradilan lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan?

Dalam teori tujuan negara, pada umumnya, ada empat fungsi negara yang dianut oleh negara -negara di dunia: (1) melaksanakan penertiban dan keamanan; (2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; (3) pertahanan; dan (4) menegakkan keadilan.

 

Pelaksanaan fungsi keempat, yakni menegakkan keadilan, fungsi negara dalam bidang peradilan dimaksudkan untuk mewujudkan adanya kepastian hukum. Fungsi ini dilaksanakan dengan berlandaskan pada hukum dan melalui badan-badan peradilan yang didirikan sebagai tempat mencari keadilan. Bagi Indonesia dalam rangka menegakkan keadilan telah ada sejumlah peraturan perundangan yang mengatur tentang lembaga pengadilan dan badan peradilan. Peraturan perundangan dalam bidang hukum pidana, kita memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Dalam bidang peradilan, kita memiliki Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu, ada juga peradilan yang sifatnya ad hoc, misalnya peradilan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Berikut ini disajikan sejumlah sumber rujukan untuk mempelajari hukum dan penegakan hukum, antara lain:

1. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. (1982). Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.

2. Kranenburg. (1975). Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramita.

3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen).

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

B. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV, terdapat enam agenda reformasi, satu di antaranya adalah penegakan hukum. Dari sebanyak tuntutan masyarakat, beberapa sudah mulai terlihat perubahan ke arah yang positif, namun beberapa hal masih tersisa. Mengenai penegakan hukum ini, hampir setiap hari, media massa baik elektronik maupun cetak menayangkan masalah pelanggaran hukum baik terkait dengan masalah penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat maupun masalah pelanggaran HAM dan KKN.

 

Pada Bab I, telah diungkapkan sejumlah permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa di antaranya yang terkait dengan masalah penegakan hukum adalah:

Perilaku warga negara khususnya oknum aparatur negara banyak yang belum baik dan terpuji (seperti masih ada praktik KKN, praktik suap, perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji);

Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial (seperti SARA, tawuran, pelanggaran HAM, etnosentris, dan lan-lain);

Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas;

Penegakan hukum yang lemah karena hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan

Pelanggaran oleh Wajib Pajak atas penegakan hukum dalam bidang perpajakan.

 

Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan dalam pikiran kita. Oleh karena itu, Anda dapat mempertanyakan secara kritis terhadap masalah-masalah tersebut.

Berikut ini adalah contoh pertanyaan yang dapat diajukan:

(1) Mengapa banyak oknum aparatur negara yang belum baik dan terpuji? Siapa aparat penegak hukum atau badan peradilan yang ada di Indonesia? Mereka masih melakukan praktik KKN yang merugikan keuangan negara yang dikumpulkan dari uang rakyat melalui pajak, praktik suap, perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji. Padahal, ketika bangsa Indonesia memasuki era reformasi masalah masalah tersebut telah menjadi perhatian dan target bersama untuk diberantas atau dihilangkan;

 

(2) Mengapa masih terjadi konflik dan kekerasan sosial yang bernuansa SARA, bahkan mereka tawuran dengan merusak aset negara yang dibiayai dari pajak, melanggar HAM, bersikap etnosentris padahal bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah, santun, dan toleran? Siapa saja yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;

 

(3) Mengapa setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad masih marak terjadi kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas? Siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;

 

(4) Mengapa penegakan hukum di Indonesia dianggap lemah sehingga muncul sebutan “bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas? Masalah yang keempat ini merupakan masalah klasik, artinya masalah ini sudah lama terjadi dalam praktik, tetapi sampai saat ini masih tetap belum dapat terselesaikan. Siapa yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum di Indonesia?;

 

(5) Mengapa masih saja terdapat warga negara yang tidak patuh akan kewajibannya sebagai Wajib Pajak? Sebagaimana kita tahu bahwa pajak adalah tulang punggung penerimaan negara, akan tetapi masih saja terdapat kasus di mana Wajib Pajak berusaha melakukan penghindaran pajak maupun rekayasa perpajakan yang bersifat melanggar hukum sebagaimana yang dilakukan PT. Asian Agri pada Tahun 2002-2005.

 

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Indonesia

Setelah Anda mempertanyakan terhadap masalah penegakan hukum, selanjutnya kita akan menggali sejumlah sumber tentang penegakan hukum di Indonesia yang meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Dengan menggali sumber-sumber masalah penegakan hukum diharapkan Anda akan dapat menjawab pertanyaan di atas seperti “Siapakah atau apakah lembaga atau badan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan?”

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Anda diharapkan telah mengerti bahwa upaya penegakan hukum dan keadilan sangat terkait erat dengan tujuan negara. Anda diharapkan telah mengenal dan memahami bahwa salah satu tujuan negara RI adalah “melindungi warga negara atau menjaga ketertiban” selain berupaya mensejahterakan masyarakat. Dalam tujuan negara sebagaimana dinyatakan di atas, secara eksplisit dinyatakan bahwa “negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia”

 

Agar negara dapat melaksanakan tugas dalam bidang ketertiban dan perlindungan warga negara, maka disusunlah peraturan-peraturan yang disebut peraturan hukum. Peraturan hukum mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, di samping mengatur hubungan manusia atau warga negara dengan negara, serta mengatur organ-organ negara dalam menjalankan pemerintahan negara.

Ada dua pembagian besar hukum. Pertama, hukum privat ialah hukum yang mengatur hubungan antarmanusia (individu) yang menyangkut "kepentingan pribadi" (misalnya masalah jual beli, sewa-menyewa, pembagian waris). Kedua, hukum publik ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan organ negara atau hubungan negara dengan perseorangan yang menyangkut kepentingan umum. Misalnya, masalah perampokan, pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan kriminal lainnya. Peraturan-peraturan hukum, baik yang bersifat publik menyangkut kepentingan umum maupun yang bersifat privat menyangkut kepentingan pribadi, harus dilaksanakan dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Apabila segala tindakan pemerintah atau aparatur berwajib menjalankan tugas sesuai dengan hukum atau dilandasi oleh hukum yang berlaku, maka negara tersebut disebut negara hukum. Jadi, negara hukum adalah negara yang setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan atas hukum yang berlaku di negara tersebut. Hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, maka hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen. Apa yang tertera dalam peraturan hukum seyogianya dapat terwujud dalam pelaksanaannya di masyarakat. Dalam hal ini, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-haknya. Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat Jerman (dalam Sudikno Mertokusumo, 1986:130), menyatakan bahwa untuk menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:

(1) Gerechtigheit, atau unsur keadilan;

(2) Zeckmaessigkeit, atau unsur kemanfaatan; dan

(3) Sicherheit, atau unsur kepastian.

 

 1) Keadilan

Keadilan merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum. Artinya bahwa dalam pelaksanaan hukum para aparat penegak hukum harus bersikap adil. Pelaksanaan hukum yang tidak adil akan mengakibatkan keresahan masyarakat, sehingga wibawa hukum dan aparatnya akan luntur di masyarakat. Apabila masyarakat tidak peduli terhadap hukum, maka ketertiban dan ketentraman masyarakat akan terancam yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas nasional.

 

2) Kemanfaatan

Selain unsur keadilan, para aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan agar proses penegakan hukum dan pengambilan keputusan memiliki manfaat bagi masyarakat. Hukum harus bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi manusia.

 

3) Kepastian hukum

Unsur ketiga dari penegakan hukum adalah kepastian hukum, artinya penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang. Adanya kepastian hukum memungkinkan seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan. Misalnya,

seseorang yang melanggar hukum akan dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya itu melalui proses pengadilan, dan apabila terbukti bersalah akan dihukum. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum sangat penting. Orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat bila tanpa kepastian hukum sehingga akhirnya akan timbul keresahan.

 

Dalam rangka menegakkan hukum, aparatur penegak hukum harus menunaikan tugas sesuai dengan tuntutannya yang ada dalam hukum material dan hukum formal. Pertama, hukum material adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan. Contohnya: untuk Hukum Pidana terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP), untuk Hukum Perdata terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER).

 

Dalam hukum material telah ditentukan aturan atau ketentuan hukuman bagi orang yang melakukan

tindakan hukum. Dalam hukum material juga dimuat tentang jenis-jenis hukuman dan ancaman hukuman terhadap tindakan melawan hukum. Kedua, hukum formal atau disebut juga hukum acara yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Contohnya: hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum acara Perdata. Melalui hukum acara inilah hukum  material dapat dijalankan atau dimanfaatkan. Tanpa adanya hukum acara, maka hukum material tidak dapat berfungsi.

 

Para aparatur penegak hukum dapat memproses siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum melalui proses pengadilan serta memberi putusan (vonis). Dengan kata lain, hukum acara berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu proses pengadilan dengan berpedoman pada peraturan hukum acara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum acara berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan hukum material. Hukum acara hanya digunakan dalam keadaan tertentu yaitu dalam hal hukum material atau kewenangan yang oleh hukum material diberikan kepada yang berhak dan perlu dipertahankan.

 

Agar masyarakat patuh dan menghormati hukum, maka aparat hukum harus menegakkan hukum dengan jujur tanpa pilih kasih dan demi Keadilan Berdasarkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, aparat penegak hukum hendaknya memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum secara intensif dan persuasif sehingga kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum semakin meningkat. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD NRI 1945, bukan hanya diperlukan pembaharuan materi hukum, tetapi yang lebih penting adalah pembinaan aparatur hukumnya sebagai pelaksana dan penegak hukum. Di negara Indonesia, pemerintah bukan hanya harus tunduk dan menjalankan hukum, tetapi juga harus aktif memberikan penyuluhan hukum kepada segenap masyarakat, agar masyarakat semakin sadar hukum. Dengan cara demikian, akan terbentuk perilaku warga negara yang menjunjung tinggi hukum serta taat pada hukum.

 

1. Lembaga Penegak hukum

Untuk menjalankan hukum sebagaimana mestinya, maka dibentuk beberapa lembaga aparat penegak hukum, yaitu antara lain: Kepolisian yang berfungsi utama sebagai lembaga penyidik; Kejaksaan yang fungsi utamanya sebagai lembaga penuntut; Kehakiman yang berfungsi sebagai

lembaga pemutus/pengadilan; dan lembaga Penasehat atau memberi bantuan hukum.

 

a. Kepolisian

Kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Dalam kaitannya dengan hukum, khususnya Hukum Acara Pidana, Kepolisian negara bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Menurut Pasal 4 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara RI.

 

Penyelidik mempunyai wewenang:

1) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak Pidana;

2) mencari keterangan dan barang bukti;

3) menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

 

Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:

a) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

b) pemeriksaan dan penyitaan surat;

c) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

d) membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

 

Setelah itu, penyelidik berwewenang membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan tersebut di atas kepada penyidik. Selain selaku penyelidik, polisi bertindak pula sebagai penyidik. Menurut Pasal 6 UU No.8/1981 yang bertindak sebagai penyidik yaitu:

1) pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;

2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

 

Penyidik, karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:

1) menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak Pidana;

2) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9) mengadakan penghentian penyidikan;

10) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

 

b. Kejaksaan

Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 dinyatakan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Jadi, Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Sedangkan yang dimaksud penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.

 

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Jaksa (penuntut umum) berwewenang antara lain untuk: a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan; b) membuat surat dakwaan; c) melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku; d) menuntut pelaku perbuatan melanggar hukum (tersangka) dengan hukuman tertentu; e) melaksanakan penetapan hakim, dan lain-lain. Yang dimaksud penetapan hakim adalah hal-hal yang telah ditetapkan baik oleh hakim tunggal maupun tidak tunggal (majelis hakim) dalam suatu putusan pengadilan. Putusan tersebut dapat berbentuk penjatuhan pidana, pembebasan dari segala tuntutan, atau pembebasan bersyarat.

 

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan atau penegakan hukum, Kejaksaan berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berdasarkan Pasal 4 UU No. 16 tahun 2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia" pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan tersebut diselenggarakan oleh:

 

1) Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.

2) Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

3) Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

 

Tugas dan wewenang Kejaksaan bukan hanya dalam bidang Pidana, tetapi juga di bidang Perdata dan Tata usaha negara, di bidang ketertiban dan kepentingan umum, serta dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Dalam Pasal 30 UU No. 16 tahun 2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia" dinyatakan bahwa di bidang pidana,

 

kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

(a) Melakukan penuntutan;

(b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

(d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

(e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

 

Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

(a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

(b) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

(c) Pengawasan peredaran barang cetakan;

(d) Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

(e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

(f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

 

c. Kehakiman

Kehakiman merupakan suatu lembaga yang diberi kekuasaan untuk mengadili. Adapun Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Menurut Pasal 1 UU Nomor 8 tahun1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut.

 

Dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan serta kebenaran, hakim diberi kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Artinya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutuskan perkara. Apabila hakim mendapat pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka cenderung keputusan hakim itu tidak adil, yang pada akhirnya akan meresahkan masyarakat dan wibawa hukum dan hakim akan pudar.

 

2. Lembaga Peradilan

Penyelesaian perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dapat dilakukan dalam berbagai badan peradilan sesuai dengan masalah dan pelakunya. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan peradilan secara bertingkat. Peradilan militer, peradilan Agama, dan peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengadili golongan/kelompok rakyat tertentu. Sedangkan peradilan umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara Perdata maupun perkara Pidana.

 

a. Peradilan Agama

Peradilan agama terbaru diatur dalam Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 sebagai perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989. Berdasar undang-undang tersebut, Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c) wakaf dan shadaqah.

 

b. Peradilan Militer

Wewenang Peradilan Militer menurut Undang-Undang Darurat No. 16/1950 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah memeriksa dan memutuskan perkara Pidana terhadap kejahatan atau pelanggaran yang diakukan oleh:

1) seorang yang pada waktu itu adalah anggota Angkatan Perang RI;

2) seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan Angkatan Perang RI;

3) seorang yang pada waktu itu ialah anggota suatu golongan yang dipersamakan atau dianggap sebagai Angkatan Perang RI oleh atau berdasarkan Undang-Undang;

4) orang yang tidak termasuk golongan tersebut di atas (1,2,3) tetapi atas Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer.

 

c. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara diatur Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 9 tahun 2004. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Peradilan Tata Usaha Negara bertugas untuk mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai tata usaha negara. Dalam peradilan Tata Usaha Negara ini yang menjadi tergugat bukan orang atau pribadi, tetapi badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya. Sedangkan pihak penggugat dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum perdata.

 

d. Peradilan Umum

Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Rakyat (pada umumnya) apabila melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan yang menurut peraturan dapat dihukum, akan diadili dalam lingkungan Peradilan Umum. Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang termasuk wewenang Peradilan umum, digunakan beberapa tingkat atau badan pengadilan yaitu:

 

1) Pengadilan Negeri

Pengadilan negeri dikenal pula dengan istilah pengadilan tingkat pertama yang wewenangnya meliputi satu daerah Tingkat II. Misalnya: Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Pengadilan Negeri Bogor, dan sebagainya. Dikatakan pengadilan tingkat pertama karena pengadilan negeri merupakan badan pengadilan yang pertama (permulaan) dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap perkara hukum harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pengadilan negeri sebelum menempuh pengadilan tingkat Banding. Untuk memperlancar proses pengadilan, di pengadilan negeri terdapat beberapa unsur yaitu: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, sekretaris, dan juru sita. Adapun Fungsi Pengadilan Negeri adalah memeriksa dan memutuskan serta menyelesaikan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk.

 

2) Pengadilan Tinggi

Putusan hakim Pengadilan Negeri yang dianggap oleh salah satu pihak belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran dapat diajukan Banding. Proses Banding tersebut ditangani oleh Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di setiap ibukota Provinsi. Dengan demikian, pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua (tingkat banding) suatu perkara perdata atau perkara Pidana, yang telah diadili/diputuskan oleh pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi hanya memeriksa atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja, kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung mendengarkan para pihak yang berperkara.

 

Daerah hukum pengadilan tinggi pada asasnya adalah meliputi satu daerah tingkat I. Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1986, tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi adalah:

a) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Pidana dan Perdata di tingkat banding;

b) mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

 

Pengadilan Tinggi mempunyai susunan sebagai berikut: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Sedangkan pembentukan Pengadilan Tinggi dilakukan melalui Undang-Undang.

 

3) Pengadilan Tingkat Kasasi

Apabila putusan hakim Pengadilan Tinggi dianggap belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran oleh salah satu pihak, maka pihak yang bersangkutan dapat meminta kasasi kepada Mahkamah Agung. Pengadilan tingkat Kasasi dikenal pula dengan sebutan pengadilan Mahkamah Agung. Di negara kita, Mahkamah Agung merupakan Badan Pengadilan yang tertinggi, dengan berkedudukan di Ibu kota negara RI. Oleh karena itu, daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.

 

Pemeriksaan tingkat kasasi hanya dapat diajukan jika permohonan terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Sedangkan permohonan kasasi itu sendiri hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

 

Kewajiban pengadilan Mahkamah Agung terutama adalah melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala pengadilan lainnya di seluruh Indonesia, dan menjaga agar hukum dilaksanakan dan ditegakkan dengan sepatutnya. Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***)

 

Untuk mengatur lebih lanjut pasal tentang kekuasaan kehakiman, sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitannya dengan masalah pengadilan, dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:

a) permohonan kasasi;

b) sengketa tentang kewenangan mengadili;

c) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

Dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan. Oleh karena itu, hakim atau pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Untuk itu, hakim diperbolehkan untuk menemukan atau membentuk hukum melalui penafsiran hukum dengan tetap memperhatikan perasaan keadilan dan kebenaran.

 

4) Penasehat Hukum

Penasehat hukum merupakan istilah yang ditujukan kepada pihak atau orang yang memberikan bantuan hukum. Yang dimaksud Penasehat hukum menurut KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang hukum. Diperbolehkannya menggunakan penasehat hukum bagi tertuduh/terdakwa merupakan realisasi dari salah satu asas yang berlaku dalam Hakum Acara Pidana, yang menyatakan bahwa "Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan

pembelaan atas dirinya.

 

Persoalan yang dihadapi sekarang adalah sejak kapan seorang tertuduh/terdakwa mendapat bantuan hukum? Berdasarkan Pasal 69 KUHAP ditegaskan bahwa "Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang". Penasehat hukum tersebut berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. Hak lain yang dimiliki penasehat hukum sehubungan dengan pembelaan terhadap kliennya (tersangka) adalah mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.

 

Dalam melaksanakan bantuan hukum, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh semua pihak, yaitu:

a) penegak hukum yang memeriksa tersangka/terdakwa wajib memberi kesempatan kepada terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum;

b) bantuan hukum tersebut merupakan usaha untuk membela diri;

c) tersangka/terdakwa berhak dan bebas untuk memilih sendiri penasehat hukumnya.

 

Penasehat hukum ada yang berdiri sendiri dan ada pula yang berhimpun dalam organisasi seperti: Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan sebagainya.

 

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Penegakan Hukum yang Berkeadilan Indonesia.

Setelah Anda menelusuri sejumlah peraturan perundangan tentang lembaga negara dan badan lain yang terkait dengan penegakan hukum di Indonesia, apakah tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini? Dapatkah Anda mengemukakan contoh dinamika kehidupan yang sekaligus menjadi tantangan terkait dengan masalah penegakan hukum di Indonesia? Coba Anda perhatikan sejumlah kasus dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti yang pernah kita lihat pada subbab di atas sebagai berikut.

 Masih banyak perilaku warga negara khususnya oknum aparatur negara yang belum baik dan terpuji, terbukti masih ada praktik KKN, praktik suap, perilaku premanisme, dan perlaku lain yang tidak terpuji.

 Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial yang bermuatan SARA, tawuran, pelanggaran HAM, dan sikap etnosentris.

 Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas.

 

Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai subyek hukum baik yang bersifat perorangan maupun kelompok masyarakat yang belum baik dan terpuji atau melakukan pelanggaran hukum menunjukkan bahwa hukum masih perlu ditegakkan. Persoalannya, penegakan hukum di Indonesia dipandang masih lemah. Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum. Rasa keadilan masyarakat pun belum sesuai dengan harapan. Sebagian masyarakat bahkan merasakan bahwa aparat penegak hukum sering memberlakukan hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus bahkan telah menjadi suatu yang dibenarkan atau kebiasaan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi revolusi hukum. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah menghadapi persoalan penegakan hukum di tengah maraknya pelanggaran hukum di segala strata kehidupan masyarakat. Di era globalisasi yang penuh dengan iklim materialisme, banyak tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Mereka harus memiliki sikap baja, akhlak mulia, dan karakter yang kuat dalam menjalankan tugas.

 

Dalam hal ini, aparatur penegak hukum harus kuat dan siap menghadapi berbagai cobaan, ujian, godaan yang dapat berakibat jatuhnya wibawa sebagai penegak hukum. Penegak hukum harus tahan terhadap upaya oknum masyarakat atau pejabat lain yang akan mencoba menyuap, misalnya. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan upaya preventif dalam mendidik warga negara termasuk melakukan pembinaan kepada semua aparatur negara secara terus menerus. Apabila hal ini telah dilakukan, maka ketika ada warga negara yang mencoba melakukan pelanggaran hukum pihak aparatur penegak hukum harus bekerja secara profesional dan berkomitmen menegakkan hukum.

 

E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Penegakan Hukum yang Berkeadilan Indonesia

Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi seandainya di sebuah bangsa tidak ada peraturan hukum? Atau mungkin peraturan hukum sudah ada, namun apa yang akan terjadi apabila di negara-bangsa tersebut tidak ada upaya penegakan hukum? Benarkah penegakan hukum itu penting dan diperlukan? Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa sudah sejak lama Cicero menyatakan Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Bahkan, apabila kita kaji kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Anda pasti akan menemukan betapa banyak aturanaturan yang dinyatakan dalam setiap ayat kitab suci tersebut. Namun, tampaknya ada peraturan hukum saja tidak cukup. Tahap yang lebih Bagaimana pendapat Anda setelah menyimak kasus di atas? Setujukah Anda dengan tindakan pihak pengadilan terhadap perbuatan siswa SMK? Bagaimana dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? Apakah perbuatan siswa SMK dapat dibenarkan dalam sistem hukum di Indonesia?

 

Dari fakta tersebut sangat jelas bahwa keberadaan hukum dan upaya penegakannya sangat penting. Ketiadaan penegakan hukum, terlebih tidak adanya aturan hukum akan mengakibatkan kehidupan masyarakat “kacau” (chaos). Negara-Bangsa Indonesia sebagai negara modern dan menganut

sistem demokrasi konstitusional, telah memiliki sejumlah peraturan perundangan, lembaga-lembaga hukum, badan-badan lainnya, dan aparatur penegak hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan secara terus menerus.

 

Penting adalah penegakan dan kepastian hukum. Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan hukum demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat. Apa yang tertera dalam peraturan hukum (pasal-pasal hukum material) seyogianya dapat terwujud dalam proses pelaksanaan/penegakan hukum di masyarakat. Dengan kata lain, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak dan kewajibannya.


 

(Materi 11-12)

Wawasan Nusantara sebagai konsepsi dan pandangan kolektif kebangsaan Indonesia dalam konteks pergaulan dunia

 

Wawasan nusantara merupakan wawasan nasional (national outlook) bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat disingkatwasantara. Wawasan nasional merupakan cara pandang bangsa terhadap diri dan lingkungan tempat hidup bangsa yang bersangkutan. Cara bangsa memandang diri dan lingkungannya tersebut sangat mempengaruhi keberlangsungan dan keberhasilan bangsa itu menuju tujuannya. Bagi bangsa Indonesia,wawasan nusantara telah menjadi cara pandang sekaligus konsepsi berbangsa dan bernegara. Ia menjadi landasan visional bangsa Indonesia. Konsepsi wawasan nusantara , sejak dicetusakan melalui deklarasi djuanda tahun 1957 sampai sekarangmengalami dinamika yang terus tubuh dalam praktek kebidupan bangsa.

 

A. Konsep dan Urgensi Wawasan Nusantara

Sebelumnya dikatakan bahwa wawasan nusantara merupakan wawasan nasional bangsa Indonesia. Namun, demikian timbul pertanyaan apa arti wawasan nusantara dan apa pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawasan Nusantara bisa kita bedakan dalam dua pengertian, yakni pengertian etimologis dan pengertian terminologi. Secara etimologi, kata wawasan nusantara berasal dari dua kata wawasan dan nusantara. Wawasan dari kata wawas (bahasa jawa) yang artinya pandangan.sementara kata “nusantara” merupakan gabungan kata nusa yang artinya pulau atau kepulauan. sedangkan dalam bahasa latin kata lusa berasal dari katanaesos yang dapat berarti semenanjung, bahkan suatu bangsa.

 

Kata kedua yaitu “antara” memiliki padanan dalam bahasa latin, in dan terra yang berarti antara atau dalam suatu kelompok. “antara” juga mempunyai makna yang sama dengan kata inter dalam bahasa inggris yang berarti antar (antara) dan relasi. Sedangkan dalam bahsa sanskerta. Kata “antara” dapat diartikan sebagai laut  Ada pendapat lain yang menyatakan nusa berarti pulau. Dan antaranya berarti dilapit atau berada ditengah-tengah. Nusantara beraeti gugusan pulau yangdilapit atau berada ditengah-tengah antara benua dan dua samudra (pasha, 2008) tersebut dikemukakan. Pengertian terminologis umumnya adalah pengertian istilah menurut para ahli atau tokoh dan lembaga yang mengkaji konsep tersebut. Pada uraian sebelumnya , anda telah mengakaji konsep wawasan nusantara secara termonologis.

 

B.  Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Wawasan Nusantara

Ada sumber historis (sejarah), sosiologis, dan politis terkait dengan munculnya konsep wawasan Nusantara. Simber-sumber itu melatar belakangi berkembangnya wawasan nusantara.

 

1. Latar belakang Lahirnya konsepsi wawasan nusantara

Bermula dari perdana menteri Ir. H. Djuanda kartawidjaja yang pada tanggal 13 desember 1957 mengeluarkan deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai deklarasi Djuanda isi deklarasi tersebut sebagai berikut: Isi pokok deklarasi ini adalah bahwa lebar laut territorial Indonesia 12 mil yang dihitung dari garis yang mengubungkan pulau terluar Indonesia. Dengan garis tutorial yang baru iini wilayah Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah. Swbwlum keluarnya deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia didasarkan pada territorial zee en maritime kringen ordinantie 1939 (TZMKO 1939) atau dikenal dengan nama ordonasi 1939, sebuah peraturan buatan pemerintah hindia-belanda. Isi oedonasi tersebut pada intinya adalah penentuan lebar laut 3 mil dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Guna memperkuat kedaulatan atas wilayah negara tersebut dibentuklah undang-undang sebagai penjabarannya. Setelah keluarnya deklarasi Djuanda 1957 dibentuklah undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Tidak hanya melalui peraturan perundang-undang nasional, bangsa Indonesia juga memperjuangkan konsepsi wawasan nusantara berdasar deklarasi Djuanda ini ke forum international agar dapat pengakuan bangsa lain atau masyarakat internasional.

 

2. Latar belakang sosiologis wawasan nusantara

 

Berdasar sejarah, wawasan nusantara bermula dari wawasan kewilayahan. Ingat deklarasi Djuanda 1957 sebagai perubahan atas ordonasi 1939 berintikan mewujudkan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, tidak lagi terpisah-pisah.sebagai konsepsi kewilayahan, bangsa Indonesia mengusahakan dan memandang wilayah sebagai satu kesatuan. Namun seiring tuntunan perkembangan , konseepsi wawasan nusantara mencakup pandangan akan satu kesatuan politik, ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan, termasuk persatuan sebagai satu bangsa. Sebagaimana dalam urusan GBHN 1998 dikatakan wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti lainnya konsep wawasan nusantara juga dilator belakangi oleh kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Hal diatas, keadaan sosiologis masyarakat Indonesia dan juga keberlangsungan penjanjahan yang memecah belah bangsa, telah melatarbelakangi tumbuhnya semangan dan tekad-tekad orang wilayah dinusantara ini untuk bersatu dalam satu nasionalitas, satu kebangsaan yakni bangsa Indonesia.

 

3. Latar belakang politis wawasan nusantara

Selanjutnya secara politis , ada kepentingan nasional bagaimana agar wilayah yang utuh dan bangsa yang bersatu ini dapat dikembangkan, dilestarikan, dan dipertahankan secara terus menerus. Kepentingan nasional itu merupakan turunan lanjut dari cita-cita nasional, tujuan nasional, maupun visi nasional. Cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea II adalah untuk mewujudkan negara Indonesia, yang merdeka, bersaatu berdaulat, adil dan makmur sedangkan tujuan nasional Indonesia sebagaimana tentang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

C. Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia

Dengan adanya konsepsi Wawasan Nusantara wilayah Indonesia menjadi sangat luas dengan beragam isi flora, fauna, serta penduduk yang mendiami wilayah itu. Namun demikian, konsepsi wawasan nusantara juga mengajak seluruh warga negara untuk memandang keluasan wilayah dan keragaman yang ada di dalamnya sebagai satu kesatuan. Kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan dalam kehidupan bernegara merupakan satu kesatuan. Luas wilayah Indonesia tentu memberikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengelolanya. Hal ini dikarenalan luas wilayah memunculkan potensi ancaman dan sebaliknya memiliki potensi keunggulan dan kemanfaatan. Wawasan nusantara telah menjadi landasan visiponal bagi bangsa Indonesia guna memperkokoh kesatuan wilayah dan persatuan bangsa akan terus meneruis dilakukan.

 

Hal ini dikarenakan visi tersebut dihadapkan pada dinamika kehidupan yang selalu berkembang dan tantangan yang berbedavsesuai dengan perubahan zaman.Dinamika yang berkembang itu misalnya, jika pada masalalu penguasaan wilayah dilakukan dengan pendudukan militer maka sekarang ini lebih ditekankan pada upaya perlindungan pelestarian diwilayah tersebut. Tantangan yang berubah, misalnya adanya perubahandari kejahatan konvensional menjadi kejahatan didunia maya.

 

D. Esensi dan Urgensi konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, esensi atau hakikat dari  wawasan nusantara adalah “kesatuan wilayah dan persatuan bangsa” Indonesia. Mengapa perlu kesatuan wilayah? Mengapa perlu persatuan bangsa? Sebelumnya Anda telah mengkaji bahwa sejarah munculnya wawasan nusantara adalah kebutuhan akan kesatuan atau keutuhan wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu harus merupakan satu kesatuan, tidak lagi terpisah-pisah oleh adanya lautan bebas. Sebelumnya kita ketahui bahwa wilayah Indonesia itu terpecah-pecah sebagai akibat dari aturan hukum kolonial Belanda yakni Ordonansi 1939. Baru setelah adanya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, wilayah Indonesia barulah merupakan satu kesatuan, di mana laut tidak lagi merupakan pemisah tetapi sebagai penghubung.

 

Wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki keunikan antara lain:

1.      Bercirikan negara kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah 17.508 pulau.

2.      Luas wilayah 5.192 juta km2 dengan perincian daratan seluas 2.027 juta km2 dan laut seluas 3.166 juta km2. Negara kita terdiri 2/3 lautan / perairan

3.      Jarak utara selatan 1.888 km dan jarak timur barat 5.110 km

4.      Terletak diantara dua benua dan dua samudra (posisi silang)

5.      Terletak pada garis katulistiwa f. Berada pada iklim tropis dengan dua musim

6.      Menjadi pertemuan dua jalur pegunungan yaitu Mediterania dan Sirkum Pasifik

7.      Berada pada 60 LU- 110 LS dan 950 BT  – 1410 BT

8.      Wilayah yang subur dan habittable (dapat dihuni)  

9.      Kaya akan flora, fauna, dan sumber daya alam

 

Wawasan nusantara yang pada awalnya sebagai konsepsi kewilayahan berkembang menjadi konsepsi kebangsaan. Artinya wawasan nusantara tidak hanya berpandangan keutuhan wilayah, tetapi juga persatuan bangsa. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen. Heterogenitas bangsa ditandai dengan keragaman suku, agama, ras, dan kebudayaan. Bangsa yang heterogen dan beragam ini juga harus mampu bersatu.

 

Bangsa Indonesia sebagai kesatuan juga memiliki keunikan yakni:

1. Memiliki keragaman suku, yakni sekitar 1.128 suku bangsa (Data BPS, 2010)

2. Memiliki jumlah penduduk besar, sekitar 242 juta (Bank Dunia, 2011)

3. Memiliki keragaman ras

4. Memiliki keragaman agama

5. Memiliki keragaman kebudayaan, sebagai konsekuensi dari keragaman suku bangsa

 

Konsep Wawasan Nusantara menciptakan pandangan bahwa Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah merupakan satu kesatuan politik, sosialbudaya, ekonomi serta pertahanan dan keamanan. Atau dengan kata lain perwujudan wawasan nusantara sebagai satu kesatuan politik, sosialbudaya, ekonomi dan pertahanan dan keamanan. Pandangan demikian penting sebagai landasan visional bangsa Indonesia terutama dalam melaksanakan pembangunan.

 

1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik

 Memiliki makna:

1) Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.

2) Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluasluasnya.

3) Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.

4) Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa

5) Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

6) Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

7) Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.

 

2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi

Memiliki makna:

1) Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.

2) Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.

3) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya

Memiliki makna:

1) Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa.

2) Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai – nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.

 

4. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan keamanan

Memiliki makna:

1) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

2) Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.

 

 

 

 

 

 


 

(Materi 13)

Ketahanan Nasional dan Bela Negara bagi Indonesia dalam membangun komitmen kolektif kebangsaan

 

1. Latar Belakang Masalah

Indonesia dapat berdiri sampai saat ini karena negara ini dilatarbelakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Bagaimanapun juga Indonesia banyak diincar oleh bangsa lain karena kekayaan yang ada di daratan maupun lautan Indonesia yang sangatlah berlimpah. Sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak bangsa atau negara karena potensi yang besar dilihat dari wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak (Sutoyo, 2011). Sebelum merdeka, setelah merdeka dan sampai saat ini Indonesia masih kian dikejar-kejar oleh bangsa lain yang ingin menguasai alam maupun sumber daya manusia di Indonesia. Bagaimanapun juga, Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuannya, tetap berusaha untuk mempertahankan bangsa kita dari ancaman-ancaman tersebut.

 

Dibutuhkan ketahanan nasional yang dapat menjamin serta memperkuat kemampuan bangsa yang bersangkutan dalam mempertahankan kesatuannya, menghadapi ancaman yang datang maupun mengupayakan sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan kita dapat belajar untuk siap menghadapi ketahanan nasional dengan cara membangun komitmen kolektif yang kuat dan seluruh komponen bangsa untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menganalisis urgensi dan tantangan ketahanan nasional bagi komponen bangsa.

 

A. KONSEP KETAHANAN NASIONAL

Gagasan pokok dari ajaran Ketahanan Nasional adalah bahwa suatu bangsa atau negara hanya akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya apabila negara atau bangsa itu memiliki ketahanan nasional. Istilah Ketahanan Nasional memang memiliki pengertian dan cakupan yang luas. Suradinata (2005 : 47) mengemukakan pengertian Ketahanan Nasional suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia.

 

Hakekat konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang serasi dan selaras dalam aspek hidup dan kehidupan nasional.Ketahanan Nasional atau disingkat Tannas menurut salah seorang ahli ketahanan nasional, GPH S. Suryomataraman (1980), definisi ketahanan nasional berbeda-beda karena penyusun definisi melihatnya dari sudut yang berbeda pula. Menurutnya, ketahanan nasional memiliki lebih dari satu wajah, dengan perkataan lain ketahanan nasional berwajah ganda, yakni ketahanan nasional sebagai konsepsi, ketahanan nasional sebagai kondisi dan ketahanan nasional sebagai strategi (Himpunan Lemhanas, 1980). Berdasarkan pendapat di atas, terdapat tiga pengertian ketahanan nasional atau disebut sebagai wajah ketahanan nasional, yakni: Ketahanan nasional sebagai konsepsi atau doktrin, Ketahanan nasional sebagai kondisi, Ketahanan nasional sebagai strategi,cara atau pendekatan

 

B. ALASAN MENGAPA DIPERLUKAN KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA

Dalam lingkup kecil, ketahanan nasional pada aspek-aspek tertentu juga turut menentukan kelangsungan hidup sebuah bangsa. Pada tahun 1997-1998, ketahanan ekonomi Indonesia tidak kuat lagi dalam menghadapi ancaman krisis moneter, yang berlanjut pada krisis politik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketahanan nasional memiliki banyak dimensi atau aspek, serta adanya ketahanan nasional berlapis.

 

C. SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIK TENTANG KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA

1. Sumber Historis

Secara historis, gagasan tentang ketahanan nasional bermula pada awal tahun 1960-an di kalangan militer angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama SESKOAD (Sunardi, 1997). Masa itu sedang meluasnya pengaruh komunisme yang berasal dari Uni Sovyet dan Cina. Pengaruh komunisme menjalar sampai kawasan Indo Cina sehingga satu per satu kawasan Indo Cina menjadi negara komunis seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja. Tahun 1960-an terjadi gerakan komunis di Philipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan gerakan komunis Indonesia mengadakan pemberontakan pada 30 September 1965 namun akhirnya dapat diatasi. Bidang sosial budaya mencakup; pendidikan, kesehatan, agama, kebudayaan, teknologi dan lain-lain, namun yang menonjol disini adalah faktor teknologi dan kebudayaan, karena perubahan dibidang ini berjalan sangat cepat akibat pengaruh dari dalam maupun dari luar negeri. Pengaruh dari luar negeri paling banyak menimbulkan perubahan.

 

Untuk itu bangsa Indonesia perlu mawas diri dan waspada, karena kemungkinannya pihak luar sengaja menyebar pengaruhnya dengan tujun untuk melakukan intervensi maupun infiltirasi yang berakibat pada terjadinya disharmoni dan distabilisasi kehidupan nasional dibidang sosialbudaya.Persoalan yang sangat mendesak untuk kita pecahkan dalam upaya mewujudkan ketahanan nasional dibidang sosial budaya antara lain adalah : bagaimana mengarahkan perubahan sosial budaya itu ke arah integrasi sosial budaya, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia tanpa memandang status sosial budaya, suku bangsa, etnik dan agama atau kepercayaan terhadap TYME.

 

Pemerintah Indonesia harus menyadari eksistensi masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, dan ancaman potensial yang mempengaruhi ketahanan nasional dibidang sosial budaya bahkan integrasi nasional adalah ;

konflik horizontal yang dipicu oleh sentiment sosial-ekonomi, suku, agama, serta bangkitnya etnisitas (kesukubangsaan) yang berakibatpada upaya pemisahan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Rifdan, 2002. Ketahanan Nasional tetap relevan sebagai kekuatan penangkalan dalam suasana sekarang maupun nanti, sebab ancaman setelah berakhirnya perang dingin lebih banyak bergeser kearah nonfisik, antara lain; budaya dan kebangsaan (Sudradjat, 1996: 12).

 

Inti ketahanan Indonesia pada dasarnya berada pada tataran “mentalitas” bangsa Indonesia sendiri dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menghendaki kompetisi di segala bidang. Hal ini tetap penting agar kita benar-benar memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh. Ketahanan nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai “musuh bersama”. (Armawi, 2012:90).Konsep ketahanan juga tidak hanya ketahanan nasional tetapi sebagai konsepsi yang berlapis, atau Ketahanan Berlapis yakni ketahanan individu, ketahanan keluarga, ketahanan daerah, ketahanan regional dan ketahanan nasional (Basrie, 2002)

 

1. Sumber Politik

Sejarah keberhasilan bangsa Indonesia menangkal ancaman komunis tersebut menginspirasi para petinggi negara (khususnya para petinggi militer) untuk merumuskan sebuah konsep yang dapat menjawab, mengapa bangsa Indonesia tetap mampu bertahan menghadapi serbuan ideologi komunis, padahal negara-negara lain banyak yang berguguran? Jawaban yang dimunculkan adalah karena bangsa Indonesia memiliki ketahanan nasional khususnya pada aspek ideologi. Belajar dari pengalaman tersebut, dimulailah pemikiran tentang perlunya ketahanan sebagai sebuah bangsa. Pengembangan atas pemikiran awal di atas semakin kuat setelah berakhirnya gerakan Gerakan 30 September/PKI. Pada tahun 1968, pemikiran di lingkungan SSKAD tersebut dilanjutkan oleh Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) dengan dimunculkan istilah kekuatan bangsa.

 

Pemikiran Lemhanas tahun 1968 ini selanjutnya mendapatkan kemajuan konseptual berupa ditemukannya unsur-unsur dari tata kehidupan nasional yang berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial dan militer. Pada tahun 1969 lahirlah istilah Ketahanan Nasional yang intinya adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa untuk menghadapi segala ancaman. Kesadaran akan spektrum ancaman ini lalu diperluas pada tahun 1972 menjadi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG). Akhirnya pada tahun 1972 dimunculkan konsepsi ketahanan nasional yang telah diperbaharui. Pada tahun 1973 secara resmi konsep ketahanan nasional dimasukkan ke dalam GBHN yakni Tap MPR No IV/MPR/1978.

 

Berdasar perkembangan tersebut kita mengenal tiga perkembangan konsepsi ketahanan nasional yakni ketahanan nasional konsepsi 1968, ketahanan nasional konsepsi 1969, dan ketahanan nasional konsepsi 1972. Menurut konsepsi 1968 dan 1969, ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan, sedang berdasarkan konsepsi 1972, ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamik yang berisi keuletan dan ketangguhan. Jika dua konsepsi sebelumnya mengenal IPOLEKSOM (ideologi, politik, ekonomi, sosial, militer) sebagai Panca Gatra, konsepsi 1972 memperluas dengan ketahanan nasional berdasar asas Asta Gatra (delapan gatra). Konsepsi terakhir ini merupakan penyempurnaan sebelumnya (Haryomataraman dalam Panitia Lemhanas, 1980).

 

Perkembangan selanjutnya rumusan ketahanan nasional masuk dalam GBHN sebagai hasil ketetapan MPR yakni dimulai pada GBHN 1973, GBHN 1978, GBHN 1983, GBHN 1988, GBHN 1993 sampai terakhir GBHN 1998. Rumusan GBHN 1998 sebagaimana telah dinyatakan di atas merupakan rumusan terakhir, sebab sekarang ini GBHN tidak lagi digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan. Sekarang ini sebagai pengganti Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden terpilih. Misalnya dokumen RPJMN 2010-2014 tertuang dalam Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010. Pada dokumen tersebut tidak lagi ditemukan rumusan tentang ketahanan nasional bahkan juga tidak lagi secara eksplisit termuat istilah ketahanan nasional. Namun demikian, jika kita telusuri naskah RPJMN 2010-2014 masih dapat kita temukan kata-kata yang terkait dengan ketahanan nasional, misal istilah ketahanan pangan.

 

D. DINAMIKA DAN TANTANGAN KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA

PENGALAMAN SEJARAH BANGSA INDONESIA TELAH MEMBUKTIKAN PADA KITA PADA, KONSEP KETAHANAN NASIONAL KITA TERBUKTI MAMPU MENANGKAL BERBAGAI

BENTUK ANCAMAN SEHINGGA TIDAK BERUJUNG PADA KEHANCURAN BANGSA ATAU BERAKHIRNYA NKRI . SETIDAKNYA INI TERBUKTI PADA SAAT BANGSA INDONESIA

MENGHADAPAI ANCAMAN KOMUNISME TAHUN 1965 DAN YANG LEBIH AKTUAL MENGHADAPI KRISIS EKONOMI DAN POLITIK PADA TAHUN 1997-1998. SAMPAI SAAT INI KITA MASIH KUAT BERTAHAN DALAM WUJUD NKRI . BANDINGKAN DENGAN PENGALAMAN YUGOSLAVIA KETIKA MENGHADAPI ANCAMAN PERPECAHAN TAHUN 1990-AN. LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL (LEMHANNAS) DALAM KAJIANNYA MENEMUKAN FAKTA BAHWA KETAHANAN NASIONAL INDONESIA TIDAK TANGGUH ALIAS RAPUH. KESIMPULAN ITU DIAMBIL BERDASARKAN PENGKAJIAN PENGUKURAN KETAHANAN NASIONAL DARI 33 PROVINSI YANG ADA DI INDONESIA DENGAN 847 INDIKATOR.

 

E. ESENSI DAN URGENSI KETAHANAN NASIONAL DAN BELANEGARA

Sudah dikemukakan s ebelumnya, terdapat tiga cara pandang dalam melihat ketahanan. Ketiganya menghasilkan tiga wajah ketahanan nasional yakni ketahanan nasional sebagai konsepsi, ketahanan nasional sebagai kondisi, dan ketahanan nasional sebagai konsepsi atau doktrin.Ketiganya bisa saling berkaitan karena diikat oleh pemikiran bahwa kehidupan nasional ini dipengaruhi oleh delapan gatra sebagai unsurnya atau dikenal dengan nama “Ketahanan Nasional berlandaskan ajaran Asta Gatra.” Konsepsi ini selanjutnya digunakan sebagai strategi, cara atau pendekatan di dalam mengupayakan ketahanan nasional Indonesia.

 

Kedelapan gatra ini juga digunakna sebagai tolok ukur dalam menilai ketahanan nasional Indonesia sebagai kondisi. Esensi dari ketahanan nasional pada hakikatnya adalah kemampuan yang dimiliki bangsa dan negara dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang dewasa ini spektrumnya semakin luas dan kompleks.Hal yang menjadikan ketahanan nasional sebagai konsepsi khas bangsa Indonesia adalah pemikiran tentang delapan unsur kekuatan bangsa yang dinamakan Asta Gatra. Pemikiran tentang Asta Gatra dikembangkan oleh Lemhanas. Bahwa kekuatan nasional Indonesia dipengaruhi oleh delapan unsur, Unsur-unsur ketahanan nasional model Indonesia terdiri atas delapan unsur yang dinamakan Asta Gatra (delapan gatra), yang terdiri dari Tri Gatra (tiga gatra) alamiah dan Panca Gatra (lima gatra) sosial. Unsur atau gatra dalam ketahanan nasional Indonesia tersebut, sebagai berikut;

 

·         Tiga aspek kehidupan alamiah (tri gatra) yaitu:

1) Gatra letak dan kedudukan geografi,

2) Gatra keadaan dan kekayaan alam,

3) Gatra keadaan dan kemampuan penduduk.

 

·         Lima aspek kehidupan sosial (panca gatra) yaitu:

1) Gatra ideologi

2) Gatra politik

3) Gatra ekonomi

4) Gatra sosial budaya (sosbud)

5) Gatra pertahanan dan keamanan (hankam)

 

Model Asta Gatra

merupakan perangkat hubungan bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung di atas bumi ini dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan menggunakan kemampuannya. Model ini merupakan hasil pengkajian Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Adapun penjelasan dari masing-masing gatra terdiri dari tiga unsur alamiah (tri gatra) dan lima unsur sosial (panca gatra). Terdapat hubungan antara ketahanan nasional dengan pembelaan negara atau bela negara. Bela negara merupakan perwujudan warga negara dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Keikutsertaan warga negara dalam upaya menghadapi atau menanggulagi ancaman hakekat ketahanan nasional, dilakukan dalam wujud upaya bela negara.Terdapat dua bentuk bela Negara yaitu bela Negara secara fisik dan non-fisik.

 

Bela negara secara fisik pengertiannya lebih sempit daripada bela negara secara nonfisik. Bela Negara Secara Fisik Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara fisik dapat dilakukan dengan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Pelatihan Dasar Kemiliteran. Sekarang ini pelatihan dasar kemiliteran diselenggarakan melalui program Rakyat Terlatih (Ratih), meskipun konsep Rakyat Terlatih (Ratih) adalah amanat dari Undang-undang No. 20 Tahun 1982. Rakyat Terlatih (Ratih) terdiri dari berbagai unsur, seperti Resimen Mahasiswa (Menwa), Perlawanan Rakyat (Wanra), Pertahanan Sipil (Hansip), Mitra Babinsa, dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer, dan lain-lain. Rakyat Terlatih mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat, Keamanan Rakyat, dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut pertama umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

 

Sementara fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih merupakan unsur bantuan tempur. Bila keadaan ekonomi dan keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa bela negara tidak selalu harus berarti “memanggul senjata menghadapi musuh” atau bela negara yang militerisitik. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan dan pengabdian sesuai dengan profesi. Pendidikan kewarganegaraan diberikan dengan maksud menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan kewarganegaraan dapat dilaksanakan melalui jalur formal (sekolah dan perguruan tinggi) dan jalur nonformal (sosial kemasyarakatan).

 

Berdasar hal itu maka keterlibatan warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa, dan dalam segala situasi, misalnya dengan cara:

1. Mengikuti pendidikan kewarganegaraan baik melalui jalur formal dan nonformal.

2. Melaksanakan kehidupan berdemokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dalam memecahkan masalah bersama.

3. Pengabdian yang tulus kepada lingkungan sekitar dengan menanam, memelihara, dan melestarikan.

4. Berkarya nyata untuk kemanusiaan demi memajukan bangsa dan negara.

5. Berperan aktif dalam ikut menanggulangi ancaman terutama ancaman nirmiliter, misal menjadi sukarelawan bencana banjir.

6. Mengikuti kegiatan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh-pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia.

7. Membayar pajak dan retribusi yang berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara untuk melaksanakan pembangunan.

 

 


 

(Materi 14)

Prinsip Anti Korupsi, Upaya Pemberantasan dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi, Peraturan Perundangan Anti Korupsi di Indonesia

 

Korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi - yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu penindakan dan pencegahan - tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa - sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan - diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya antikorupsi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan antikorupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif, mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari.

Di muka telah dijelaskan pengertian korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi, dampak korupsi serta prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang perlu dikembangkan untuk mencegah seseorang melakukan korupsi atau perbuatan-perbuatan koruptif. Dalam bab ini, akan diuraikan upaya pemberantasan korupsi. Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Merupakan sebuah realita bahwa kita sudah memiliki berbagai perangkat
hukum untuk memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan. Kita memiliki lembaga serta aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan peraturan tersebut baik kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kita bahkan memiliki sebuah lembaga independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kesemuanya dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi. Namun apa yang terjadi? Korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. Sedihnya lagi, dalam realita ternyata lembaga dan aparat yang telah ditunjuk tersebut dalam beberapa kasus justru ikut menumbuhsuburkan korupsi yang terjadi di Indonesia.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bekal pendidikan (termasuk Pendidikan Agama) memegang peranan yang sangat penting untuk mencegah korupsi. Benarkah demikian? Yang cukup mengejutkan, negara-negara yang tingkat korupsinya cenderung tinggi, justru adalah negara-negara yang masyarakatnya dapat dikatakan cukup taat beragama. Ada yang mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi, sistem dan lembaga pemerintahan serta lembaga-lembaga negara harus direformasi. Reformasi ini meliputi reformasi terhadap sistem, kelembagaan maupun pejabat publiknya. Ruang untuk korupi harus diperkecil. Transparansi dan akuntabilitas serta akses untuk mempertanyakan apa yang dilakukan pejabat publik harus ditingkatkan. Penting pula untuk membentuk lembaga independen yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga ini harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya kepada rakyat. Ruang gerak serta kebebasan menyatakan pendapat untuk masyarakat sipil (civil society) harus ditingkatkan, termasuk di dalamnya mengembangkan pers yang bebas dan independen. Pada bagian atau bab ini, akan dipaparkan berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dapat dan telah dipraktekkan di berbagai negara. Ada beberapa bahan menarik yang dapat didiskusikan dan digali bersama untuk melihat upaya yang dapat kita lakukan untuk memberantas korupsi.

1. Upaya Pemberantasan Korupsi

 

A. Konsep Pemberantasan Korupsi

Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi memang akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat. Sebelum melangkah lebih jauh membahas upaya pemberantasan korupsi, berikut pernyataan yang dapat didiskusikan mengenai strategi atau upaya pemberantasan korupsi (Fijnaut dan Huberts : 2002):

It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of the actors involved (and the environment they operate in). There is no single concept and program of good governance for all countries and organizations, there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to seek their own solutions.

Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat mapun organisasi harus mencari

cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya. Di muka telah dipaparkan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi.

 

B. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana

 

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :

1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);

3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment / mass media) (atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan dll : tambahan dari penulis).

 

Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi; tambahan dari penulis). Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal’. Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.

Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :

• dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi);

• dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi;

• sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan;

• penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana;

• hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;

• sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional;

• efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan oleh para ahli.

 

Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat mengenai pemidanaan sehubungan dengan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan pemberantasan korupsi pada khususnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat memperlihatkan bahwa hukum pidana dan pemidanaan bukanlah ‘obat yang manjur’ atau ‘panacea’ atau ‘bukan segala-galanya’ untuk menanggulangi kejahatan. Dengan demikian, ia hanya dapat dipandang sebagai salah satu cara saja untuk memberantas korupsi.

 

Menurut Rubin pemidanaan (apakah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan tidak berhubungan dengan perubahan di dalam hukum atau kecenderungan dalam putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

 

Menurut Wolf Middendorf sulit melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari general deterrence (pencegahan umum dengan menggunakan hukum pidana), karena mekanisme pencegahan (deterrence) yang manjur tidak dapat diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang melakukan kejahatan dan mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya UU atau pidana yang dijatuhkan. Sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan, yang sama efektifnya dengan ketakutan orang pada pidana.

 

Selanjutnya Wolf Middendorf menyatakan bahwa tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan lamanya pidana. Karl. O. Christiansen menyatakan bahwa pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur dan S.R. Brody menyatakan bahwa 5 (lima) dari 9 (sembilan) penelitian yang diamatinya menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani oleh seseorang di dalam penjara tampaknya tidak berpengaruh pada adanya

reconviction atau penghukuman kembali (Nawawi Arief : 1998). Berbagai pendapat di atas dapat memberi pelajaran bahwa kita tidak dapat hanya mengandalkan hukum (pidana) saja dalam memberantas korupsi. Padahal beberapa kalangan mengatakan bahwa cara untuk memberantas korupsi yang paling ampuh adalah

dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku korupsi. Kepada pelaku yang terbukti telah melakukan korupsi memang tetap harus dihukum (diberi pidana), namun berbagai upaya lain harus tetap terus dikembangkan baik untuk mencegah korupsi maupun untuk menghukum pelakunya.

 

Mungkin pendapat-pendapat di atas mengecilkan hati kita. Kita bertanya-tanya adakah gunanya berbagai macam peraturan perundang-undangan, lembaga serta sistem yang dibangun untuk menghukum pelaku korupsi bila hasilnya tidak ada. Jawabannya adalah: jangan hanya mengandalkan satu cara, satu sarana atau satu strategi saja yakni dengan menggunakan sarana penal, karena ia tidak akan mempan dan tidak dapat bekerja secara

efektif. Belum lagi kalau kita lihat bahwa ternyata lembaga serta aparat yang seharusnya memberantas korupsi justru ikut bermain dan menjadi aktor yang ikut menumbuhsuburkan praktek korupsi.

 

C.Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi

Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC : 2004) .

 

1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi

a. Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia dengan nama Justitieombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman --yang kemudian berkembang pula di negara lain--antara lain

menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan pegawainya. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat

serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah maupun lembaga

hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian

serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien

dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di Hongkong dibentuk lembaga anti korupsi yang bernama

Independent Commission against Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA). Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi.

Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

b. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi.

 

c. Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini sama sekali ‘tidak punya gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.

 

d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.

 

e. Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.

 

f. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD yang terbukti melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di Indonesia. Untuk itu kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada saat Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya integritas. Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Salah-salah kebijakan tersebut justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak bukan bagi kepentingan rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak mengeluarkan sebuah kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, masyarakat sipil (civil society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut mengawal pembuatan kebijakan tersebut.

 

2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik

a. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain misalnya anggota keluarga.

 

b. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini.

 

c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem

yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota militer juga perlu dikembangkan.

 

d. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu kinerja

pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus disertai dengan berbagai pra-kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi korupsi, karena salah-salah hal ini justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi bonus diantara para pegawai negeri.

 

3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang

mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.

 

b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian yang sangat penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.

 

Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa (baik cetak maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi. Spanduk dan poster yang berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’ dipasang di kantor-kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi. Di beberapa

negara termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah dan perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan secara nasional. Transparency International juga mengeluarkan toolkit mengenai pendidikan anti

korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang mahasiswa pelajari saat ini adalah salah satu cara supaya mahasiswa dapat mengetahui selukbeluk korupsi dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran akan bahaya korupsi. Di beberapa sekolah didirikan ‘Kantin Kejujuran’ yang bertujuan untuk melatih

kejujuran siswa.

 

c. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Mekanisme tersebut harus dipermudah atau disederhanakan misalnya via telepon, surat atau telex. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.

 

d. Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.

 

e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Menurut Pope media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi,

media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi Time menyatakan bahwa ‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh sekalipun dapat dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak diawasi oleh

pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang melawan korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko bahwa perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh pers (Pope: 2003). Namun media juga memiliki titik lemah.

 

Hal ini terjadi apabila media tersebut dimiliki oleh pemerintah. Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun

televisi dan radio terbesar dalam suatu negara. Kita ambil contoh saja TVRI dan RRI. Karena milik pemerintah, tentu saja independensinya tidak dapat terlalu diandalkan. Salah satu titik lemah lagi dari media adalah pekerjaan jurnalisme yang berbahaya. Penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap jurnalis atau wartawan menjadi hal yang biasa (Pope : 2003). Segala macam cara akan digunakan oleh mereka (terutama yang memiliki uang dan kekuasaan) yang tidak ingin namanya tercoreng karena pemberitaan di media. Selain itu banyak pula negara yang berupaya untuk melakukan penyensoran terhadap informasi yang akan diberitakan oleh media atau bahkan pencabutan ijin usaha sebuah media.

 

f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau internasional juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti-Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Simak saja apa yang telah dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), salah satu LSM lokal yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini menjadi salah satu garda terdepan yang mengawasi segala macam perbuatan pemerintah dan perilaku anggota parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti pekerjaan jurnalisme yang berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap aktivis LSM sangat sering terjadi.

 

g. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang pada tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones atau kamera video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television) atau data interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana banyak digunakan telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik. Namun di beberapa negara, penggunaan electronic surveillance harus disetujui terlebih dahulu oleh masyarakat, karena masyarakat tidak ingin pemerintah ‘memata-matai’ segenap aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan. Tindakan memata-matai atau‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis dianggap melanggar hak asasi terutama hak akan privacy. Dalam beberapa kasus, negara yang otoriter justru akan menggunakan data yang terekam dalam electronic surveillance untuk melakukan intimidasi terhadap rakyatnya.

 

4. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum

yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan

electronic surveillance juga perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur. Pasalpasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen atau dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau code of conduct yang ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan).

 

5. Monitoring dan Evaluasi

Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau program yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya.

Pengalaman negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya maupun program pemberantasan korupsi di negara kita. Namun mengingat ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang dapat digunakan, kita tetap harus mencari cara kita sendiri untuk menemukan solusi memberantas korupsi.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

https://www.studocu.com/en-us/document/universitas-jenderal-soedirman/ilmu-dan-teknologi-pangan-akreditasi-b/bagaimana-hakikat-pendidikan-kewarganegaraan-dalam-mengembangkan-kemampuan-utuh-sarjana-atau-profesional/31073853?origin=home-recent-1

http://dwisetiyoko.blogspot.com/2018/12/makalah-pendidikan-kewarganegaraan_4.html

https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3784/3260

http://sukesti.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/82733/1_Buku_PKWN_I+%281%29.pdf

https://www.academia.edu/38273133/BAB_1_Hakikat_Pendidikan_Kewarganegaraan_dalam_Mengembangkan_Kemampuan_Utuh_Sarjana_atau_Profesional_pdf

https://bone.go.id/2019/10/20/pengertian-bela-negara/

https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3784/3260

https://www.kompasiana.com/putriwavidzdamayanti/5e651c20097f3629681c3553/mengapa-harus-ada-identitas-nasional-dalam-suatu-negara

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/20bb958d430cc7d21ef6c2b58d14da41.pdf

http://nikmahajah.blogspot.co.id/2013/11/proses-berbangsa-dan-bernegara.html (diakses pada jumat, 30 september 2022)

“Makalah Identitas Nasional” http://putrimedan-sitiativa.blogspot.co.id/ (diakses pada jumat, 30 september 2022)

“Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa Indonesia” https://lathevha.wordpress.com/2016/05/03/kewarganegaraan-identitas-nasional-sebagai-karakter-bangsa-indonesia/ (diakses pada jumat, 30 september 2022)

“Pengertia, Unsur, Faktor dan Sifat Identitas Nasional” http://mangihot.blogspot.co.id/2017/02/pengertian-faktor-unsur-unsur-dan-sifat.html (diakses pada jumat, 30 september 2022)

“ Sumber Historis, Sosiologis, Politik Tentang Identitas Nasional Indonesia” https://www.studocu.com/id/document/universitas-pelita-bangsa/perpajakan/sumber-historis-sosiologis-politik-tentang-identitas-nasional-indonesia/25281573 (diakses pada minggu, 02 Oktober 2022)

https://www.kemhan.go.id/wp-content/uploads/2017/12/wiraindoedsusrevisi.pdf

https://www.studocu.com/id/document/universitas-jember/pendidikan-kewarganegaraan/konsep-dan-urgensi-konstitusi-dalam-kehidupan-berbangsa/26668598

https://lmsspada.kemdikbud.go.id/pluginfile.php/541815/mod_resource/content/1/MATERI%20PENDAMPING%20DEMOKRASI%20INDONESIA%20%28HUSNUL%20FATIHAH%2C%20M.Pd%20DAN%20PUSPA%20DIANTI%2C%20M.Pd.-dikonversi.pdf

 

https://www.academia.edu/38005122/WAWASAN_NUSANTARA_SEBAGAI_KONSEPSI_DAN_PANDANGAN_KOLEKTIF_KEBANGSAAN_INDONESIA_DALAM_KONTEKS_PERGAULAN_DUNIA_Disusun_oleh

 

https://www.coursehero.com/u/file/137349895/MAKALAH-URGENSI-DAN-TANTANGAN-KETAHANAN-NASIONAL-DAN-BELA-NEGARA-BAGI-INDONESIA-DALAM-MEMBANGUN-KOMI/?justUnlocked=1

 

http://akperrsdustira.ac.id/wp-content/uploads/2017/07/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-Perguruan-Tinggi-2017-bagian-2-.pdf

 

http://akperrsdustira.ac.id/wp-content/uploads/2017/07/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-Perguruan-Tinggi-2017-bagian-2-.pdf

 

 

 

 

 


 

Referensi

 

·         Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

·         a b Budi susilo Soepandji, Bangga Indonesia menjadi komponen cadangan Tanah air, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010. hal. 34-35

·         Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945

·         Bela Negara Mu, Ditjen Pothan Dephan RI

·         “Menteri Pertahanan buka program bela negara”, BBC Indonesia, Jakarta, 22 Oktober 2015. Retrieved on 24 Februari 2016.

·         S, Sucipto. “Tangkal Radikalisme, Kemenhan Luncurkan Website Bela Negara”, Sindonews, Jakarta, 23 Februari 2016. Retrieved on 24 Februari 2016.

·         Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pedoman pembinaan kesadaran bela negara.

·         5_Buku_PKWN_V.Pdf  “BAB V BAGAIMANA HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM DEMOKRASI YANG BERSUMBU PADA KEDAULATAN RAKYAT DAN MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT?”

·         Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Citienship in a Global World. Roman and Litlefield Publisher.
Dahl, RA. 1992. On Democracy. New Heaven: Yale University Press.
Hatta, M. 1992. Demokrasi Kita. Jakarta: Idayu Press
Hornby, A.S. 1995. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
Oxford: Oxford University Press
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia
Malaka, T. 2005. Merdeka 100%. Tanggerang: Marjn Kiri

Madjid, N. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina
Tjokroamidjojo, Bintoro. 2006. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen
Pembangunan. Jakarta: UI Press
Sanusi, Achmad. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan Menghadapi Perubahan
dan Gejolak Sosial. Bandung : CICED
Soekarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera
Revolusi
Torres, Carlos Alberto. 1998. Democracy, Education, and Multiculturalism:
Dilemmas of
Wertheim, WF. 1995. Indonesian Society in Transition. Te Hague: Van Hoeve

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1PA18_Raffi Maulana_T1-Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mengembangkan Kemampuan Utuh Sarjana Atau Profesional