1PA18.Raffi Maulana.T2

 

Nama        : Raffi Maulana

Kelas         : 1PA18

NPM         : 11522161

Link          : https://raffimaulana27.blogspot.com/

Matkul      : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen        : Bapak Kurniawan B. Prianto,S.KOM.SH.MM.

 

 

 

Kasus 1

 

Terlibat Kasus Narkoba, 23 Polisi Polda Metro Jaya Dipecat

Liputan6.com, Jakarta - Setidaknya hingga Oktober 2015, sudah ada 23 polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya diberhentikan. Pemecatan itu dilakukan karena para oknum polisi tersebut terlibat kasus narkoba.

Diresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Eko Daniyanto mengatakan, sebagian mereka ada yang terbukti mengkonsumsi narkoba.

Barang bukti yang disita antara lain ponsel, sabu, cangklong, dan ekstasi. Sementara lokasi penangkapan di perumahan, tempat parkir hotel, rumah kos, apartemen, dan ruko.

"Polda Metro Jaya dengan total 10 anggota. Polres Jakarta Pusat, Polres Jakarta Utara, dan Polres Kabupaten Tangerang masing-masing 3 anggota," papar Eko kepada Liputan6.com, Minggu (29/11/2015).

"Sisanya 2 anggota dari Polres Kota Tangerang dan 1 anggota masing-masing dari Polres Jakarta Barat dan Polres Jakarta Selatan," sambung dia.

Eko menjelaskan penindakan ini telah dilakukan secara internal, meski pihaknya juga telah melakukan upaya rehabilitasi bagi polisi yang menyalahgunakan barang haram itu.

Menurut dia, langkah ini merupakan lanjutan dari instruksi Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, pada 26 Oktober lalu yang ditandatangani Kabareskrim Polri Komjen Pol Anang Iskandar.

Hingga saat ini, lanjut Eko, Polda Metro Jaya telah merehabilitasi polisi ke Lido, Jawa Barat. Mereka sudah mendapatkan penilaian dari Tim Asesmen Terpadu (TAT), di mana Eko menjadi ketuanya.

"Dibentuk dari tingkat Polda sampai Polres. Untuk yang Polda Metro Jaya, saya sendiri Diresnarkoba jadi ketua timnya," pungkas Eko. (Rmn/Mut)

 

Komentar Yuridis :

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

a.      DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ,

Menimbang :

bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang

sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan

spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Tahun 1945, kualitas

sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal

pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan

secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;

b.     bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber

daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan

di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara

lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis

tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta

melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan

yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di

sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan

tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan

saksama;

c.      bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,

menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan

Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

dan seksama serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika

karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang

sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat,

bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

d.     bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan menggunakan

modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung

oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak

menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi

muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan

kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan

memberantas tindak pidana tersebut

e.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,

perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar

Negara Tahun 1945;

1.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun

1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3085);

2.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic

in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara

Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3673);

 

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.     Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang

ini.

2.     Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau

bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan

Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana

terlampir dalam Undang-Undang ini.

3.     Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan,

mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara

langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau

gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah

bentuk Narkotika.

4.     Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan

Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.

5.     Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan

Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.

6.     Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang

ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor

Narkotika.

7.     Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk

mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.

8.     Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk

mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.

9.     Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian

kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke

tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa

pun.

10.  Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk

badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan

kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran

sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.

11.  Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan

hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan

produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk

Narkotika.

12.  Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari

suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di

wilayah Negara yang terdapat kantor

pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.

13.  Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun

psikis.

14.  Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai

oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara

terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar

menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya

dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,

menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

15.  Penyalah

Guna adalah orang yang menggunakan

Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

16.  Rehabilitasi

Medis adalah suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu

dari ketergantungan Narkotika.

17.  Rehabilitasi

Sosial adalah suatu proses kegiatan

pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun

sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

18.  Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau

lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk

melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta

melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi,

memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi

kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu

tindak pidana Narkotika.

19.  Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap

pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan

komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat

komunikasi elektronik lainnya.

20.  Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan

oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3

(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu

tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan

suatu tindak pidana Narkotika.

Komentar Individu :

Menurut saya oknum polisi harus lebih siaga dan lebih banyak pemeriksaan kepada polisi yang lainnya agar tidak terjadi lagi kasus narkoba dan lebih diperketat lagi peraturan aparat kepolisian, dan pemerintah harus lebih tegas dalam mengambil keputusan dalam hal apapun.

 

Sumber :

(http://news.liputan6.com/read/2377718/terlibat-kasus-narkoba-23-polisi-polda-metro-jaya-dipecat)

Kasus 2

 

6 Sindiran Pedas JK untuk Kasus Setya Novanto

 

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto, menjadi sorotan utama publik. Setya Novanto diduga mengatur kongkalikong di balik layar untuk memastikan perpanjangan kontrak kerja PT Freeport Indonesia.

 

Kasus tersebut telah disidang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Namun para anggota MKD terlihat terbelah dalam menyikapi kasus ini. Ada yang mendukung pengungkapan kasus, ada pula yang mendukung agar kasus Setya Novanto tidak dilanjutkan.

 

Selain itu, penegak hukum baru aktif setelah kasus ini bergulir dan jadi buah bibir di publik. Jusuf Kalla, yang namanya dicatut, geram melihat hal tersebut. Tak ayal ia melontarkan pernyataan-pernyataan pedas.

Berikut pernyataan-pernyataan pedas JK yang terangkum dalam seminggu terakhir.

Wakil Presiden Jusuf Kalla memberi sinyal agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Ia mengatakan ada unsur korupsi dalam kasus tersebut.

 

"Melibatkan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta saham. Artinya korupsi kan?" kata JK di Surabaya, Jawa Timur, Senin, 30 November 2015.

 

Raut wajah JK menegang ketika menuturkan ada peran Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ini. Setya diduga mengatur kongkalikong di balik layar, hingga akhirnya diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

"Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dilaksanakan, diatur oleh Ketua DPR kepada pengusaha yang investasinya terbesar di Indonesia," ujar mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.

2. Golkar Jangan Jadi Penghambat

Saat kasus Setya Novanto hendak disidangkan, terjadi pergantian anggota MKD. Golkar memasukkan 3 orang barunya, yaitu Kahar Muzakir, Dadang Ruchman, dan Ridwan Bae.

 

Mereka getol menyebut laporan Menteri ESDM Sudirman Said tidak punya dasar legalitas untuk disidangkan. Atas hal itu, JK pun menegaskan agar Golkar jangan menghambat jalannya sidang etik.

 

 

"Orang bilang Golkar, saya jamin Golkar akan tetap mengatakan 'Suara Rakyat Suara Golkar'. Jadi, kalau Golkar menghentikan ini (sidang etik Setya Novanto), berhenti pakai 'Suara Rakyat, Suara Golkar," kata JK di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 1 Desember 2015.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan dirinya berpotensi menjadi skandal terbesar di Indonesia seandainya hal itu terbukti. Sebab, Ketua DPR Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus tersebut.

"Jangan lupa, kalau (pencatutan nama) ini terjadi (terbukti), inilah skandal terbesar dalam sejarah Indonesia," JK menegaskan di Surabaya, Jawa Timur, Senin, 30 November 2015.

JK mengatakan siap dipanggil dalam sidang etik yang digelar MKD. Ia bersedia memberikan penjelasan tentang hal-hal yang diketahuinya.

4. Penegak Hukum Harus Proaktif Wapres lagi-lagi menegaskan lembaga penegak hukum harus proaktif terhadap kasus itu. Apalagi kasus itu bisa saja menjadi skandal terbesar di Indonesia seandainya terbukti.

"Kalau lembaga hukum mengetahui ada masalah kemudian tidak mengusutnya, dia yang salah," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 1 Desember 2015.

Meski demikian, mantan Ketua Umum Golkar ini sadar ketika suatu kasus melibatkan anggota Dewan, ada faktor politik di belakangnya. Faktor tersebut yang mempersulit karena ada pro dan kontra. "Kalau DPR pasti ada faktor politiknya. Politiknya itu pasti ada pro dan kontra," tutur JK.

5. Yang DPR Sudah Hilang Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-10 digelar di Ruang Nusantara V, gedung DPR, Jakarta. Meski acara digelar di gedung rakyat, sang empunya rumah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto justru tak terlihat batang hidungnya.

Dari deretan kursi depan, hadir Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, dan sejumlah menteri Kabinet Kerja.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyadari hal itu lantas berkomentar saat memberikan sambutan.

 

"Saya bilang tadi ke Ketua MPR (Zulkifli Hasan), nanti yang selalu hadir tinggal perwakilan MPR dan DPD. Yang satu (DPR) sudah hilang," kata JK, Kamis, 3 Desember 2015.

 

 

Komentar Yuridis :

Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.

Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

·       Pasal 27 ayat (3) UU ITE

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

·       Pasal 310 ayat (1) KUHP

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.

Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.

·       Pasal 45 UU ITE

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.

 

 

·       Pasal 36 UU ITE

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"

Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)

·       Pasal 51 ayat (2) UU ITE

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

 

Komentar Individu :

            Menurut saya Indonesia banyak sekali kekayaan alam sehingga perusahaan asing mencoba mengambil atau merusak habis kekayaan alam Indonesia. Dan untuk pemerintah harus lebih bijaksana dalam menanggapi kasus ini, tidak selamanya Indonesia dijajah terus oleh orang asing. Pemerintah juga harus tegas dalam mengambil keputusan. Seperti kasus Freeport yang sekarang di kuasai oleh Amerika. Apakah layak buat kita ? bagi kami tidak karena kekayaan itu milik Indonesia.

 

Sumber :

http://news.liputan6.com/read/2382703/6-sindiran-pedas-jk-untuk-kasus-setya-novanto-paling-hits

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1PA18.Raffi Maulana.T1 Revisi Resume

1PA18_Raffi Maulana_T1-Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mengembangkan Kemampuan Utuh Sarjana Atau Profesional